Without Words

Without Words

aeund_

0

1 minggu sebelum perjanjian.

 “Kami akan membereskan semua orang yang mengganggu anda,”

 “Tidak perlu, aku bisa membereskan mereka sendiri,”

 “Nona akan mendapatkan apapun yang nona inginkan,”

 “Tidak perlu repot, aku bisa mendapatkannya sendiri,” memasukkan beberapa pakaian ke mesin pencuci, kenapa lama-lama aku ingin menonjok laki-laki ini, “aku harap anda segera pergi dari tempat ini atau saya akan berteriak dan orang akan mengira anda adalah laki-laki cabul yang menggoda perempuan yang sedang fokus mencuci baju.”

Laki-laki itu bukannya takut malah tersenyum, ah… aku benci caranya tersenyum.

 “Hubungi saya kapan saja jika anda berubah pikiran, nomer saya ada di kartu nama yang tadi anda terima,”

 “ah… tertinggal di meja café,” sahutku santai.

 “ini..” laki-laki itu menyodorkan kartunya lagi.

Aku meraihnya, lantas memasukkannya kedalam tempat sampah di sampingku, “ah.. tanganku licin,”

 “ini,” dia menyodorkan lagi.

Aku mengambilnya lagi lantas dengan terang-terangan membuangnya di tempat sampah, “Angin..”

 “ini..” lelaki itu mengambil lagi dari sakunya. 

Jangan-jangan di dalam sakunya juga ada pintu kemana saja. Baru kali ini aku bertemu lelaki bebal dan seperti kucing biru Dorameong -You know what I mean kan-.

 “Aku akan terus membuangnya,” sahutku singkat dan duduk di sebelah tempat sampah, tempat paling tepat untuk menegaskan tindakanku.

Dia tersenyum ke arahku dan dengan santainya mengetuk koper hitam yang tegak berdiri di samping kanan kakinya, “tenang, saya punya banyak,”

Tenang katanya...

Bagaimana aku bisa tenang!

Aku seperti dikejar-kejar mesin pencetak kartu nama yang super keras kepala.

Para lelaki ini sudah mengikutiku sejak 2 hari yang lalu, lebih tepatnya ketika aku membuat sedikit keributan di sebuah café dipinggiran kota. Sedikit keributan yang membuatku menghajar 5 orang lelaki 2 wanita, memecahkan setengah lusin gelas, mematahkan 2 kursi. Ah, lalu tanpa sengaja mencopotkan pintu café tapi aku sudah membetulkannya -walau sedikit miring. Untuk perkara pintu itu sebenarnya tidak murni kesalahanku, andai saja wanita ulat bulu itu tidak bersandar di sana mungkin pintu itu tidak akan ambruk.

Lalu paman pemilik café itu memintaku ganti rugi, padahal jelas sekali bukan aku yang memulai perkelahian konyol itu. Jangan berfikir hanya karena mereka bertujuh babak belur dan aku tidak lecet sedikitpun lalu aku yang dianggap bersalah dan biang onar. Pemilik café dan tujuh orang yang babak belur mengancam akan melaporkanku ke kantor polisi dan maaf saja, aku tidak perduli.

Mungkin para paman polisi akan memarahiku seperti biasa dan menghukumku membersihkan fasilitas umum –jika aku beruntung minimal satu bulan. Andai kalian tahu, membersihkan terminal itu jauh lebih melelahkan apalagi jika kau harus membersihkan bekas permen karet. Ah, aku rasa aku tidak perlu menjelaskan hal ini lebih rinci demi kesehatan imajenasi kalian.

Tapi masalahnya adalah uang ganti rugi kerusakan. Paman café itu pasti tetap menyuruhku membayar walau dia sudah menyeretku ke kantor polisi. Dia menuntutku membayar 750.000 Won. Padahal jika ditotal pun aku rasa kerugiannya tidak sampai sebanyak itu. Pintu kaca itu tidak pecah, hanya lepas dari engselnya. Saat itu terlitas dipikiranku, ‘apa aku pecahkan saja sekalian?

Yang jelas, aku harus segera menyelesaikan persoalan itu secepatnya. Karena aku harus segera mengantarkan paket sebelum jam tiga subuh. Atau aku akan mendapat denda dari kantor jasa pengiriman tempatku bekerja. Jangankan membayar sewa apartemen, uangku habis untuk membayar denda bahkan sebelum aku menerima gaji.

Perdebatan dengan pemilik café akhirnya berhenti setelah muncul dua laki-laki asing memakai setelan celana hitam dengan atasan kaos polo putih yang tanpa banyak omong, membayar semua kerugian. Mereka bahkan tidak memperdulikan keberadaanku saat itu, aku hanya berdiri mematung di sebelah pintu yang sedikit miring. Namun sepertinya paman pemilik café mendapatkan nominal yang sesuai dengan harapannya, karena paman itu tidak berhenti tertawa bahkan dia sempat meraih tanganku dan memberikan salam padaku. 

Andai saja saat itu dia terlalu bahagia hingga benar-benar memelukku, aku berjanji akan mematahkan pintunya lagi.

Ketujuh pembuat onar juga entah sejak kapan sudah menghilang dari lokasi hingga menyisakan aku dan dua orang asing berbaju polo putih yang sangat amat mencurigakan. Saat itu aku berfikir, untung saja mereka bertujuh sudah pergi sehingga aku tidak perlu berdebat lagi. Aku fikir mungkin aku akan mencoba membayar uang ganti rugi dengan cara mencicil kepada dua orang asing itu. Namun, aku sedikit menyesal kenapa aku tidak segera kabur juga saat itu.

Bukannya mereka meminta bunga atau membuat aku harus membayar 5 kali lipat, namun mereka menolak ketika aku berusaha mengembalikan uang. Aku tidak tahu bagaimana reaksi orang lain jika berada di posisiku, namun aku bukan orang yang dengan mudah menerima uang dengan cuma-cuma. Aku bukan orang naif, aku materialistis tingkat akut karena hidup yang aku jalani menuntutku melakukan itu. Yang membuatku semakin aneh, mereka tidak akan mempermasalahkan soal uang asal aku ikut bersama mereka saat itu.

Masuk ke dalam mobil bersama para lelaki yang bahkan aku tidak kenal. Itu ide gila.

Namun gara-gara itu, salah satu dari lelaki asing tersebut menempel padaku selama dua hari ini. Lelaki pencetak kartu nama yang mengikutiku bahkan sampai ke tempat loundry coin. Dia jauh lebih menyusahkan daripada permen karet.

 “Jika aku mengambilnya, kau akan pergi?”

 “Tentu saja,”

Aku mengambil kartunya, “Sudah,”

 “Dua hari lagi saya akan menemui anda,”

Seketika aku melempar kartu nama itu ke dalam tempat sampah.

 “Maaf sebelumnya jika saya salah dan tidak sopan, kami tahu anda berkerja di minimarket, café, toko buku dan mungkin beberapa tempat lainnya yang kami tidak tahu. Bukankah akan meringankan beban anda jika anda mau berkerja sama dengan kami. Kami akan memberikan uang sebanyak apapun yang anda minta. Bukankah anda ingin menjadi seorang sarjana,”

 “Kalian memata-matai kehidupanku? bukankah itu tindakan kriminal,” aku menatap tepat ke arah matanya. Jujur saja, aku lumayan emosi.

 “Tentu saja tidak, kami tidak berani melakukannya. Saya hanya kebetulan melihat anda di tempat-tempat itu dan pemilik minimarket tanpa sadar sedikit menceritakan tentang anda”

 “Kau kira aku akan percaya,”

 “Maafkan saya,” Lelaki itu membungkukkan badannya.

Aku berdiri, “asal tahu saja,” tatapanku masih tertuju padanya, “sekarang aku fikir memukul anda mungkin adalah pilihan yang benar,”

 “Anda berhak melakukannya, saya tidak akan menghindar,” dia masih membungkuk, “Tuan kami tidak memperbolehkan kami pulang jika hari ini tidak mendapatkan jawaban dari anda nona,”

Benar-benar seperti permen karet yang menempel di rambut, merepotkan, menyebalkan dan alot.

Aku menghela nafas panjang dan alih-alih memukulnya, aku kembali duduk, “Aku tahu anda sudah menyebutkan nama anda ketika pertama bertemu, namun sepertinya aku lupa, nama anda siapa?” aku berusaha sedikit sopan.

 “Nona dapat memanggil saya Haru,”

 “Oke Haru, pertama jangan panggil aku nona,” aku menaikkan kedua kakiku di kursi, bersila, “kedua, aku berusaha mengerti posisimu yang ditekan bosmu,” aku memberi jeda, “ketiga, anda menawarkan sejumlah uang jika aku ikut dengan anda, bukankan itu terlihat seperti penculikan,” Aku tahu dari sekian banyak penjahat, mereka akan sangat buang-buang waktu dan tenaga jika memilih untuk menculikku. Tidak dapat menghasilkan uang karena tidak ada orang yang akan repot-repot menebusku.

 “Kami berkerja diperusahan legal, jika kami benar-benar jahat, anda bisa membawa kami ke kantor polisi sekarang,” dia masih posisi berdiri didepanku, “maaf mungkin pemilihan kata saya salah ketika pertama kali berjumpa dengan anda, harusnya saya memilih kata lain selain ‘masuk ke mobil dan ikut kami’ mungkin harusnya saya berkata, ‘kami menawarkan kerjasama yang mungkin bisa menguntungkan anda jadi kami memohon anda untuk datang ke kantor kami,’ bagaimana?”

Walaupun masih aneh dan bertele-tele, tapi ini jauh lebih baik untuk didengar.

Jujur saja, saat ini aku sedikit tertarik dengan tawarannya. Setidaknya aku penasaran kenapa mereka sangat menginginkanku. Padahal banyak sekali orang yang berusaha menjauh dari kehidupanku. Dan ucapannya tentang memberikan apapun yang aku mau itu sepertinya benar-benar memberikan apapun yang aku mau.

Haru benar, harusnya aku bahagia. Bukankah selama ini aku pontang-panting mencari uang dan jika benar, mungkin saja aku bisa membiayai kuliahku. Benar… Harusnya aku bahagia jika ini dilihat dari apa yang dia tawarkan, tapi di pikir dari segimanapun, ini aneh. Penawaran yang tinggi tentu memiliki resiko yang jauh lebih tinggi.

 “Kalian agen Pinjol?”

 “Pin.. pinjol?” satu alisnya terangkat.

 “Pinjaman Online,” aku mendapatkat istilah ini dari beberapa surat asing di minimarket.

Dia tertawa, bisakah dia melakukan apa saja asal jangan tertawa seperti itu. Tawanya membuat bulu tanganku berdiri.

 “Bukan nona,”

 “Kalian mafia?”

 “Tentu saja bukan.” Lelaki itu masih tersenyum, “Ini” dia kembali menyodorkan kartu nama.

Aku dengan enggan menerimanya.

 “Saya harap anda meluangkan waktu untuk membacanya sebelum kartu itu terkena angin dan jatuh ke tempat sampah LAGI,”

Lelaki ini menyindirku tapi aku tidak perduli.

 “Tanpa aku harus ikut ke tempat anda, sebenarnya apa yang anda inginkan?”

Dia mengambil kursi dan duduk dua meter didepanku.

“Mudah,”sahutnya santai sambil tersenyum, “menikah dengan tuan muda saya.”

 “Sinting..!” Seruku singkat.