Who am I

Who am I

tutyas

0

Kembali aku mendengar suara yang nyaris seperti bisikan dari arah ujung kelas. Ada empat orang teman sekelasku yang sedang membicarakan sesuatu dengan nada pelan sekali dan tampak sesekali diantara mereka melirikku. Aku menghela napas kemudian duduk diam di bangkuku, meletakkan tas dan memandang lurus kearah papan tulis putih yang ada di hadapanku. Aku tahu mereka sedang membicarakanku, karenanya aku memilih diam di tempatku tidak ikut bergabung dengan mereka.Tiga bulan kulalui selalu seperti ini, kehadiranku di sekolah ini seperti hal yang sangat istimewa untuk mereka. Padahal aku sendiri tidak menganggapku diriku istimewa, aku sama seperti mereka. Seorang siswa sekolah yang sedang menempuh pendidikan. Aku juga bukan anak seorang berpangkat atau pejabat. Lantas apakah yang membuat mereka suka sekali memperhatikanku? 


Aku tahu tahu ciri fisikku memang berbeda dengan mereka. Mungkin itu yang membuat mereka tertarik untuk memperhatikan dan menggunjingkanku. Aku memang bermata sipit, berkulit putih, hidungku mancung dan postur tubuhku lebih tinggi dari mereka tetapi memangnya kenapa? toh aku juga orang Indonesia asli. Ayah dan ibuku mempunyai nama Indonesia yang medok dengan suku Jawanya. Haryono dan Aminah. Kalau mereka mengira aku keturunan Tionghoa dari mananya coba. Ayah dan Ibuku orang Jawa asli, tidak mungkin kan aku orang Cina, ada-ada saja.


Tidak pernah aku bertanya kepada ayah atau ibu tentang ciri fisikku yang berbeda dengan mereka. Aku menganggapnya sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Aku tidak mempermasalahkannya, yang penting aku mempunyai akta lahir yang jelas tertera nama ayah dan ibu sebagai kedua orang tuaku.


"Dilara..."


"Iya."


Aku menyambut kedatangan Ruri dengan senyuman, Ruri adalah teman yang duduk di deretan sebelah kanan bangkuku. Selama ini Ruri lah yang kunilai paling baik kepadaku. Dia anak penjaga sekolah tempat kami menimba ilmu bersama. Aku mengenal Ruri sejak awal masuk sekolah karena Ruri yang lebih dahulu memperkenalkan diri padaku dan aku merasa cocok dengannya. Penampilan Ruri sederhana dan yang lebih penting dia tidak pernah kepo dengan kehidupanku.

Kemudian kami mengobrol seputar pelajaran yang kami terima tempo hari dan tugas sekolah lainnya sampai bel masuk berbunyi.


"Dilara, aku ingin mengatakan sesuatu padamu tapi kamu tidak boleh tersinggung atau marah padaku ya."


Aku menatap Ruri dengan serius. Baru kali ini dia meminta izin terlebih dahulu padaku untuk membicarakan suatu hal. Angin sepoi membawa suasana yang nyaman untuk menikmati waktu istirahat di bawah pohon rindang yang terletak di sisi kelas.

Ku teguk air mineral yang sengaja kubawa tadi. 


"Bicara saja, Ruri. Mengapa kau begitu serius padaku?"


"Aku takut kau marah dan tak mau berteman denganku lagi. Tau sendiri teman disini selektif sekali memilih teman, semua suka gengsi. Aku sudah beruntung punya teman seperti kamu yang tidak sombong dan baik padaku."


"Aku juga senang berteman denganmu, Ruri. Semoga kita bisa selalu berteman dengan baik. Ayo sekarang sampaikan apa yang ingin kau bicarakan tadi, sepuluh menit lagi kita masuk kelas. Cepatlah Ruri."


"Baiklah...."


Sepertinya Ruri merasa yang akan disampaikan adalah sesuatu yang akan menimbulkan keburukan pada jalinan pertemanan kami. Dengan agak terbebani akhirnya Ruri pun bicara.


"Pulang sekolah kemarin ternyata ada yang mengikutimu, teman sekelas kita. Katanya rumahmu mewah sekali, pagarnya tinggi dan di jaga satpam. Berarti kamu anak orang kaya Dilara, mengapa kamu malah berteman denganku yang cuma anak penjaga sekolah?"


Aku tidak menyangka sejauh itu rasa penasaran teman sekolahku sampai ada yang mengikuti perjalanan pulangku kemarin.


"Pantas kau selalu diantar jemput mobil mewah, pasti kau juga punya sopir pribadi." Lanjut Ruri.


Aku menggeleng. Mencoba tersenyum untuk menetralkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang.


"Tidak, Ruri. Aku bukan anak orang kaya."


"Sebentar lagi pasti banyak yang mendekatimu dan ingin berteman denganmu, kau pasti akan melupakan aku. Kau akan lebih nyaman berteman dengan yang sederajat denganmu, bukan?"


"Kita lihat saja nanti. Aku akan tetap berteman dengan mu karena kau teman terbaikku. Mereka sudah salah menilaiku, aku bukan anak dari orang kaya yang seperti mereka pikirkan."


"Tapi Dilara...."


"Sudahlah, kau dengar bel masuk bukan? ayo kita kembali belajar."


Dengan terpaksa Ruri mengikuti langkahku meninggalkan tempat duduk dan melangkah menuju ruang kelas kami.


Jam terakhir membuatku sulit berkonsentrasi karena apa yang disampaikan Ruri tadi. Sungguh tak kuduga diantara mereka sampai ada yang meluangkan waktu untuk membuntutiku demi mengetahui alamat rumahku. Mengapa aku tidak menyadarinya kemarin, tentu saja tidak. Aku sudah cukup lelah dengan pelajaran di sekolah dan sesampainya di rumah aku harus membantu pekerjaan ibu. Aku tidak sempat memperhatikan apa-apa dari dalam mobil karena biasanya aku sudah ketiduran atau sibuk mengerjakan tugas sekolah. Lagi pula aku tidak menyangka kalau ada yang sampai membuntutiku hanya karena rasa penasaran.


Bel tanda pelajaran selesai sudah terdengar, kami pun bersiap untuk pulang. 

Seperti biasanya, aku berjalan beriringan dengan Ruri sampai depan pintu gerbang. Ruri akan menunggu Ayahnya untuk bisa pulang bersama, berboncengan mengendarai sepeda motor butut yang kata Ruri itulah kendaraan satu-satunya milik keluarganya. Jadi, Ruri harus menunggu ayahnya yang juga menunggu semua siswa dan guru pulang untuk kemudian mengunci pintu gerbang sekolah. Dari kejauhan tampak mobil ayah, aku bersiap menuju ke pinggir jalan.


"Awas ada yang ngikuti kamu lagi, Dilara."


"Biar saja kalau mereka mau."


Kami berdua terkekeh.


Ayah sudah menghentikan mobil dan aku pun masuk ke dalam. Kulambaikan tangan pada Ruri yang duduk di luar pagar, dia pun melambaikan tangan untukku.

Dan yang duduk di bangku sopir dan sedang mengendarai mobil adalah ayahku, bukan sopir pribadiku seperti yang di gosipkan teman- temanku. Ayah memang selalu mengantar dan menjemputku sekolah.  


Mobil berhenti di halaman rumah, aku turun dan berjalan kearah samping rumah kemudian lurus ke belakang dengan jarak yang cukup jauh. Sebuah bangunan kecil berukuran enam kali delapan meter itulah tempat tinggalku, bersama ayah dan ibuku. Bukan rumah megah yang ada di depan tadi.

Rumah tempat tinggalku juga merupakan bagian dari rumah mewah yang ada di bagian depan atau di sebut juga rumah utama, semua bangunan yang ada adalah milik Pak Tanuwijaya.


Pak Tanuwijaya adalah keturunan Tionghoa yang sudah sejak lama menjadi warga negara Indonesia, semua keluarganya memakai nama Indonesia. Ayahku adalah sopir pribadinya yang katanya sudah bekerja pada keluarga ini sejak masih lajang. Ibuku juga bekerja pada keluarga ini dengan jabatan asisten rumah tangga yang katanya juga dari ibu masih gadis.