"Guys, how do I look?"
Aku tersenyum lebar sembari mengibaskan rambut. Akhirnya, aku bisa pamer rambut baru. Rambut hitam panjangku sekarang lebih kelihatan mencolok dengan ombre hijau sage. Bagian ujungnya sengaja aku minta dibuat curly agar rambutku terlihat lebih bervolume.
"What've you done with your hair, Gisella?" Alifia memelotot. Dia bahkan nyaris membiarkan bayi satu tahun di pangkuannya terjungkal saking sibuknya terkejut.
"Cantik. Warnanya cocok di kamu," timpal Galih.
Yes! Aku bersorak bangga di dalam hati. Seenggaknya, ada satu orang yang mendukung penampilan baruku. Memang sih, selama ini aku selalu tampil monoton dengan rambut hitam panjang sepunggung. Paling pendek aku potong sedikit di bawah bahu. Aku nggak pernah kepikiran atau tertarik mengubah warna hitam alami rambutku.
But, yeah ... here I am! Dua jam gabut menunggu giliran di salon, membuatku spontan memutuskan mewarnai rambut. Lantas kenapa harus hijau sage? Nggak ada alasan khusus, selain warna itu terlihat menggemaskan di mataku.
"You look so gorgeous, Beb!" Lolita mengacungkan dua jempol memuji penampilanku. "Tapi apa nggak masalah lo ketemuan dengan penampilan kayak gitu?"
Glabelaku mengerut membentuk lipatan-lipatan halus. "Lah, memang penampilan gue kenapa?"
"Enggak kenapa-napa. Cuma mungkin ... buat ketemuan pertama kali sama cowok, berlebihan nggak, sih? Apalagi cowok yang mau diajak ketemuan itu teman laki lo kan, Fi?" Lolita mencolek lengan Alifia yang kebetulan duduk di sebelahnya. "Yang ganteng, kalem, nggak suka neko-neko, dan suaranya yang adem itu, kan? Siapa sih, namanya. Haris ya, kalau nggak salah?"
Alifia yang sejak tadi cengo perlahan mulai bisa mengendalikan diri. Dia mengembuskan napas sebelum menarikku duduk. Kemudian dia mengisi penuh paru-parunya dengan tarikan napas panjang. Biasanya, kalau sudah begini dia akan memulai ceramah.
"Gigi, dengerin gue baik-baik ya, Nak, ya!" Alifia mengangsurkan bayi di pangkuannya kepada Lolita. Dia lantas menatapku serius. Tangannya bergerak menangkup punggung tanganku. "Udah berapa lama lo kenalan sama Haris?"
Aku bergumam sebentar, mengingat-ingat berapa lama aku dekat dengan Haris. Walau selama ini pendekatan kami sebatas lewat chat, telepon, atau balas-balasan komentar di sosial media, kami terbilang cukup intens mengobrolkan banyak hal. Topik apa pun yang aku angkat, Haris selalu bisa mengimbangi. Pun sebaliknya.
Nggak ada istilah mati gaya ketika salah satu dari kami mulai ngobrol. Semua waktu yang aku habiskan dengannya terasa menyenangkan. Padahal kami belum lama kenal, tetapi kami sudah seperti teman lama. Belum pernah tatap muka langsung pula. Kalau sekadar video call sih, lumayan sering meskipun cuma buat setor muka dan kasih kabar sedang lagi di mana.
"Satu bulan ada kayaknya, ya."
"Oke, sebulan. Menurut lo, gimana first impression dia ke lo waktu kalian pertama kali kenal?"
Aku melirik Lolita dan Galih bergantian, mencoba mencari tahu tujuan Alifia menggelar interogasi dadakan. Sayangnya, Lolita malah sibuk menggoda bayi yang menarik-narik renda bajunya, sedangkan Galih cuma menipiskan bibir seraya mengedikkan bahu ringan.
"Ya enggak gimana-gimana. Dia cuma ada bilang, gue mirip kakak perempuannya. Makanya, dia nggak keberatan dan betah ngobrol lama sama gue."
"Cuma itu?"
Aku menggigit bibir bawah gugup. "Dia juga pernah muji gue cantik, sih. Padahal waktu itu gue pas banget bangun tidur, eh dia video call."
Alifia nggak bertanya lagi. Dia melepaskan tanganku, lalu mengambil ponselnya di atas meja. Selama beberapa saat, dia sibuk men-scroll galeri. Entah apa yang sedang dia cari.
"Nih, lo lihat!" Alifia menyodorkan ponselnya padaku. Di layar terpampang sebuah foto keluarga di mana ada Haris di dalamnya.
Aku menatap foto itu baik-baik. Selama ini Haris jarang membahas soal keluarganya. Hanya sekali waktu dia bilang aku mirip kakaknya. Setelah itu, nggak pernah lagi. Ini bahkan pertama kali aku lihat keluarganya dalam formasi lengkap. Pasalnya, nggak ada satu pun foto keluarga di sosial medianya. Cuma foto dia sendirian dan paling mentok pemandangan alam ketika dia jalan-jalan.
Ada pria dan wanita paruh baya yang kutebak sebagai orang tuanya. Haris berdiri di belakang ibunya, sementara di samping kanan berdiri seorang wanita dengan potongan rambut pendek di bawah telinga.
"Terus kenapa?" tanyaku bingung. Masalahnya, aku masih belum mengerti apa yang sedang Alifia coba sampaikan.
"Lo lihat kan, keluarga Haris pada berseragam semua? At least, kalau lo mau punya kesan baik di mata Haris, please ... jangan aneh-aneh sama penampilan lo, Gisella! Lo kayak nggak tahu julidnya netizen Indonesia saja sih, setiap ngelihat cewek ngewarnain rambut."
"Nggak apa-apa juga kali, Fi. Kalau itu cowok beneran serius suka sama Gisella, dia pasti nggak bakal nilai dari penampilan luar saja." Galih menimpali ucapan Alifia sebelum aku sempat menyanggah.
"Iya, Fi. Lagian ini gue ke salon mahal lho. Gue juga nggak pilih warna yang pasaran."
"Mau lo ngewarnain rambut di salon mahal pun mereka nggak bakal peduli, Gi. Di mata masyarakat, cewek ngewarnain rambut itu dicap cewek nggak bener. Gitu maksud lo kan, Fi?" terang Lolita, menjadi penengah.
"Exactly!" Alifia menjentikkan jari di udara.
Aku mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Aku mulai menyesali keputusan spontanku beberapa jam lalu. Sekarang semua sudah telanjur. Kembali ke salon pun nggak mungkin keburu.
"Terus gimana, dong?" keluhku putus asa. "Kan nggak mungkin gue mendadak pake kerudung. Mana baju gue model sabrina begini lagi."
Lolita menyemburkan tawa, nggak ada sungkan-sungkannya melihat teman lagi kesusahan. Saking kerasnya tertawa, bayi dalam dekapannya sampai menangis ketakutan. Terang Alifia sebagai ibu si bayi langsung mengambil alih. Nggak lupa dia memberi omelan sewot khas ibu-ibu yang nggak terima anaknya dibuat nangis.
"Minum dulu, Gi. Baru kok itu. Belum aku minum." Galih menggeser segelas lemon tea ke depanku.
Aku menerimanya ragu. "Lo gimana?"
Galih menyunggingkan senyum dan berkata, "Gampanglah. Aku tinggal minta lagi sama anak-anak atau ambil sendiri di belakang."
Seketika aku menepuk jidat sembari mengangguk-angguk. "Oh, iya. Benar juga. Lupa gue kalau lo yang punya kafe," tuturku geli.
"Memangnya lo janji ketemuan jam berapa sih, Gi?" Alifia baru menyudahi omelannya pada Lolita. Dia memotong dan menyuap red velvet di piringnya.
"Jam satu. Gigi kan sudah share di grup. Lo nggak baca, ya?"
Memilih nggak menggubris tuduhan Lolita, Alifia berkata, "Sejam lagi, dong. Ya sudah, sih. Anggap saja ini ujian pertama buat Haris. Let's see what he will think of you."
"Bener tuh! Setuju banget gue. Lagian kalau nggak jodoh, masih ada Galih ini yang nemenin lo jomlo. Ya nggak, Gal?" celetuk Lolita.
Galih yang tengah mengunyah salted egg croissant pun tersedak hingga terbatuk-batuk. Refleks, dia meraih lemon tea milikku yang tersisa separuh. Setelah batuknya reda, Galih melipat tangan di atas meja.
"Ladies, can we talk about why we met here? I remember that last night Lolita wanted to give us a good news. So, what's the good news?"
Ah, benar juga! Thanks to Galih karena sudah repot-repot mengingatkan. Asyik membahas soal rambut baruku, kami sampai lupa soal Lolita yang mengajak bertemu. Aku dan Alifia saling melirik sebelum kompak melayangkan tanya pada Lolita lewat tatapan mata.
Lolita menyunggingkan senyum lebar. Matanya berbinar seolah-olah merefleksikan kebahagiaan dari kabar baik yang akan dia sampaikan. Setelah sekian detik membuat kami penasaran, dia pun memekik tertahan. "Guys, gue hamil!"
Aku, Alifia, dan Galih terdiam. Kami mengerjap selama beberapa saat. Aku sendiri baru tersadar dari keterpakuan kala melihat Alifia menjadi orang pertama yang memeluk Lolita tanpa berkata-kata.
"Selamat, Li! Gue nggak tahu mau ngomong apa saking senangnya dengar lo hamil," ucapku seraya beringsut ke sisi kiri Lolia dan ikut memeluknya.
"Finally, I'm glad to hear that, Lolita. Congrats." Nggak bisa ikut berpelukan, Galih cuma menatap kami bertiga terharu.
Gimana nggak terharu coba! Dalam circle pertemananku yang sangat terbatas, aku cuma punya empat sahabat. Lolita adalah orang yang pertama menikah. Kemudian disusul Alifia dua tahun lalu. Terakhir, Liam yang bulan Maret kemarin baru melepaskan masa lajang dengan menyunting gadis Melayu asal Malaysia.
Nggak seperti Alifia yang sudah punya buntut satu, Lolita harus menunggu selama tujuh tahun. Penantian yang cukup panjang untuk menjadi seorang ibu. Kami selaku sahabat benar-benar menjadi saksi bagaimana usaha Lolita agar bisa cepat mengandung.
Dulu aku berpikir, menikah hanyalah sebatas tuntutan untuk meneruskan keturunan. Aku sempat dongkol dan marah pada mereka yang selalu bertanya, "Kapan nikah?" Terlebih pekerjaanku nggak bisa lepas dari hajatan orang nikah. Pertanyaan serupa sudah tentu sering menyambangi telinga hingga nyaris membuatku muak.
Namun, pemikiranku perlahan berubah ketika melihat satu per satu sahabatku menikah. Apalagi mereka mulai menemukan arti bahagia dalam ikatan pernikahan. Tentu aku juga mau. Dua puluh tujuh tahun rasanya sudah cukup dan siap untuk menyandang status baru.
Hal itulah yang membawaku menerima tawaran Alifia untuk berkenalan dengan teman suaminya di kepolisian. Siapa lagi kalau bukan Haris Yosep, pria yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di grup.