Sore tersenyum dengan mewujudkan terang cahaya matahari. Untuk ukuran jam lima sore hari itu sungguh menampakkan keceriaannya. Halaman rumah itu tidak terlalu luas, dan juga tidak terlalu sempit. Ada beberapa mobil terparkir di sana.Bukan keluaran baru, tapi terlihat beberapa yang necis untuk ukuran mobil. Beberapa orang sedang menyiapkan makanan dalam kardus.
Beberapa justru sibuk mengobrol membuang waktu di ruang tengah. Ada juga beberapa tamu kenalan dari keluarga di rumah itu yang datang. Dalam semua keriuahan itu, seorang wanita diam termenung dalam kamarnya. Sendiri. Dia sedang menonton drama korea dalam ponselnya. Wajahnya terlihat kuyu, matanya mungkin sudah tidak sembab. Wanita itu hanya menangis sesekali dan kemudian lebih banyak diam tidak bertemu siapapun.
“Jelita, bisa buka pintu.” Sebuah suara dari luar memanggil namanya. Tapi dia tetap tidak bergeming dari rebahnya di tempat tidurnya itu. Wanita itu sungguh terlihat enggan untuk beranjak seolah apapun di luar kamarnya tidak lebih menarik dari drama korea yang sedang dia tonton. Permintaan itu juga tidak terdengar berulang meski sudah beberapa kali Jelita melewatkan permintaan seperti itu hari ini.
Setelah pulang dari pemakaman, rasanya perempuan itu merasa dirinya tuntas bertemu orang-orang di luar sana. Mungkin adik laki-lakinya akan lebih tegar daripada dia untuk bertemu dengan orang-orang lainnya. Wanita itu kemudian memiringkan tubuhnya sedikit. Mau tidak mau dia menarik nafas panjang untuk meluapkan kelegaannya. Wanita itu sepertinya sedang berusaha memberikan semangat kepada dirinya sendiri.
“Setidaknya buka pintu. Masih saja seperti anak kecil. Tidak tahu situasi?” Sebuah suara dari luar terdengar menyakitkan bagi wanita itu. Dia berusaha tidak mendengarkannya. Masih berusaha diam tidak bergerak karena tidak ingin menimbulkan suara. Jelita bahkan tidur di kasur yang jauh dari pintu di kamar itu. Dia benar-benar tidak mau bertemu dengan siapapun saat ini.
“Mba, gak pantes rasanya kalau seperti ini. Kamu kan harusnya wakil untuk menerima tamu dan kenalan.” Sebuah suara kembali terdengar dan wanita itu masih diam di dalam kamar. Kali ini dia menatap langit-langit kamarnya sambil menahan amarah, bulir air matanya menetes perlahan meleleh di pipinya. Tidak ada isak yang terdengar karena dia berusaha menahannya sendiri. Selama ini Jelita menjadi sosok yang keras kepala dengan pendiriannya. Bahkan dia mengabaikan pernikahannya sendiri. Jelita tahu dia salah, tapi dia benar-benar menyiapkan diri untuk setiap kalimat menyakitkan untuk dirinya sendiri. Sudah sejak lama, dan wanita itu semakin merasa tidak ada yang bisa memahami dirinya meski itu juga sosok laki-laki yang menurut agama seharunya menjadi imamnya itu. Bagi Jelita, keluarga adalah segalanya. Dan ketika setelah menikah bapaknya kemudian terserang stroke ringan dan kesulitan menggunakan bagian tubuhnya sebelah kanan, Jelita memutuskan tetap tinggal di rumah. Meski adiknya juga pindah dengan keluarga kecilnya kembali bersama dengan orang tuanya. Jelita menentang sebuah aturan dalam pemahaman agama yang sering banyak orang perbincangkan. Perempuan itu harus mengikuti suaminya ketika sudah menikah. Jika surga yang menjadi tujuannya. Jelita sebenarnya siap berdebat jika suaminya mengemukakan hal seperti itu. Masalahnya, suaminya tidak sedalam itu dalam hal agama. Hanya diam dan selalu diam ketika Jelita membalikkan semua omongan yang suaminya katakan. Bukan karena Jelita tidak pernah tahu ilmu agama, atau bukan juga karena dia ingin membantah laki-laki yang menikahinya dengan cara taaruf itu. Jelita sebenarnya mengerti dan bisa memahami semua aturan atau ilmu agama seperti itu, tapi ketika kondisinya berbeda dan suaminya tidak menunjukkan sebuah pemahaman, Jelita jadi mudah naik darah. Perempuan memang ditakdirkan untuk menjadi penurut. Ketika belum berumah tangga, dia harus menurut pada kedua orang tuanya. Dan ketika sudah berumah tangga, ilmu agama mengharuskan seorang perempuan untuk menuruti suami. Sulitnya jadi perempuan, dulu atau sekarang sama saja. Jaman seperti ini, di era wanita seharusnya sudah bisa berkeinginan tetap saja ada paham-paham yang menuntut posisi wanita harus dibawah laki-laki. Wanita tidak bisa masak dan beberes seperti sebuah aib, tidak bisa memuaskan dan membahagiakan ego suami. Jelita jengah dengan apapun yang ada diluar pintu kamarnya saat itu. Dia hanya ingin merasakan kesendirian dalam ketenangan sebuah kehilangan yang sebenarnya mungkin melegakan. Entah seperti apa dia kedepannya nanti, mungkin dia tidak akan punya siapa-siapa lagi setelah ini. Tidak ada seseorang yang akan berada di sisinya, semua orang akan meninggalkannya sendiri tanpa apapun. Dan Jelita sudah sangat siap untuk semuanya itu.
Gak baik di kamar terus Mah, buka pintunya. Saya juga pengin masuk.
Sebuah pop up pesan membuat Jelita masih tak bergeming dari posisinya. Tidak pun tergerak hatinya. Suaminya juga sama saja bagi Jelita. Tidak pernah membuatnya nyaman, jadi untuk menjadikannya teman bicara, semuanya tidak semudah kelihatannya. Pembicaraan yang tidak bisa cair sama sekali dari awal pernikahan, dan ego yang masih lebih tinggi bahkan dari Jelita. Wanita ini salah langkah karena mengira seseorang dengan usia yang lebih matang maka akan lebih dewasa dan mudah memahami dirinya. Atau sebenarnya wanita itu hanya berserah ketika menerima pinangan dari laki-laki itu. Jelita berharap ini adalah takdir baik dan dia akan berjalan perlahan. Tidak perlu harus cepat-cepat, lagipula sulit jika harus menunggu kecenderungan hadir dalam hati wanita itu. Jelita tahu dia tidak mudah jatuh cinta, atau kadang lebih mudah jatuh cinta daripada orang lain. Mau tidak mau, dia biasa menyukai seseorang yang memikirkan bahkana apa yang akan dia makan untuk tubuhnya. Jelita juga sebenarnya demikian. Bukan masalah bentuk fisik atau bagaimana, bukan juga latar belakang yang mungkin menyulitkan. Hanya saja Jelita awalnya menganggap Rahmat yang kini menjadi suaminya adalah sosok yang lebih dewasa dan akan memahami. Tapi ternyata tidak begitu. Sebagai anak terakhir dengan usia lima tahun diatas Jelita dia justru tidak memiliki banyak pengalaman hidup. Mungkin karena dia terlalu cuek dengan kehidupan. Contoh nyata baginya hanya tentang kakak-kakaknya yang dia lihat sekilas. Sedangkan Jelita, kehidupan pernikahan orang-orang yang ada didekatnya terlihat sangat jelas di depan matanya. Orang banyak menganggap pasangan Jelita adalah seseorang yang mapan, tapi penghasilan yang diberikan pada Jelita perbulannya hanya lima ratus ribu. Jelita juga harus menghadapi kebiasaan buruk yang memberatkan hatinya. Tubuh gempal yang kemudian menjadi sumber ketidaknyamanan bagi Jelita. Suami yang tidak menyukai olahraga seperti dirinya. Suami yang suka minum minuman manis dibandingkan minum air putih. Hal-hal yang sungguh tidak Jelita sukai untuk dijadikan kebiasaan ada pada kebiasaan suami. Atau pada saat itu Jelita memang sudah banyak kecewa melihat sikap asli suaminya itu. Sudah jadi kebiasaan bagi Jelita ketika dekat dengan laki-laki dia merasakan ketidaknyamanan artinya dia memang harus lebih berhati-hati, atau lebih baik mundur. Namun, bagaimanapun Jelita waktu itu benar merasa terhimpit. Di himpit dengan ilmu agama tentang laki-laki yang baik dan wajib diterima lamarannya. Selama tidak melakukan kekerasan, dan hal-hal yang menentang agama maka Jelita dianggap memiliki keharusan untuk menerima lamaran dan akhirnya pinangan laki-laki itu. Sebelum menikah Jelita banyak sekali menangis dan marah. Jauh tidak tenang dan tidak merasakan nyaman. Wanita itu hanya senang memilih baju pengantin dan make up yang akan dia gunakan, tidak lebih dari itu. Tidak ada hal menyenangkan lain. Bahkan Jelita pernah berniat membatalkan pernikahannya kala itu. Rahmat tidak memikirkan apapun untuk persiapan pernikahan. Tidak uang, dan tidak juga urun pemikiran. Semua dilakukan sendiri oleh Jelita, perempuan itu mewujudkan pernikahan impiannya dengan orang lain. Seseorang yang dia pikirkan saat itu adalah orang lain. Orang lain yang sebenarnya selalu ada di dalam hati Jelita, orang yag tidak pernah pergi dari hati wanita itu. Jika banyak yang bilang mungkin seseorang hanya menghabiskan satu cinta pada satu orang. Maka bagi Jelita mungkin orang ini adalah hal seperti itu. Orang yang selalu membersamai perasaan Jelita, orang yang membuat Jelita cukup dicintai meski tidak untuk seluruh hidupnya. Meski itu mungkin hanya sebuah moment dan tidak berlangsung selamanya. Dan Jelita, saat ini merindukan orang itu. Merindukan peluknya, merindukan hadirnya untuk lelah karena hari-hari yang kemarin. Bagi Jelita, pelukan orang itu saat ini sangat berharga. Dan dia tidak mungkin mendapatkannya untuk ketenangan yang dia rindukan. Setidaknya, ingatannnya perihal laki-laki itu membuatnya tenang sejenak. Jelita selalu berniat untuk berkhianat tapi justru sebenarnya dia yang dikhianati. Mungkin hatinya sudah terlalu keras, dia bahkan dengan santai membiarkan semuanya itu terus terjadi. Berkali-kali menawarkan perpisahan juga kepada suaminya. Jelita tahu jika hatinya keras, dan suaminya tidak akan bisa membuatnya melunak. Suaminya juga terlalu keras dengan keinginannya tak jauh dari Jelita. Meski kata orang jodoh itu mungkin punya sifat yang mirip. Tapi sama-sama keras kepala bukan hal yang menjadi keunggulan bagi pasangan. Meski tidak pernah bertengkar hebat semua masalah cenderung menumpuk dan tidak membuat Jelita nyaman. Orang akan cenderung menyalahkan pihak perempuan ketika ada masalah dalam sebuah hubungan apalagi suami istri. Jelita terlalu lelah hari itu, meski tidak dihadapan semua orang tapi dia lelah menahan sedih dan menangis sedikit. Matanya lelah karena harus terjaga tadi malam dan kamarnya yang tanpa cahaya darimanapun sore itu membuatnya sedikit mengantuk. Ada sedikit harap dari wanita itu tentang tidak bangun lagi untuk mengurangi rasa sakit dan tertekan dia tentang hidup mendatangnya. Dia merasa sendiri dan tidak punya siapapun, dia benar-benar sendiri dalam gelap.
“Mungkin seharusnya aku saja yang pergi, tidak ada yang akan kehilangan dan menangis. Tidak ada yang akan bersedih. Semua akan normal bahkan. Tidak ada lagi omongan tidak enak yang akan aku dengar, tidak ada lagi sikap-sikap menyebalkan yang akan terlihat oleh mata. Bahkan aku bisa menunggu sambil menghapuskan dosa-dosaku sendiri. Aku tidak akan kesepian, dengan hukuman setiap hari untuk membersihkan diriku yang memang penuh dosa. Jadi kenapa tidak aku? Kenapa itu Bapak?” Jelita memejamkan matanya setelah semua kalimat panjang itu mengutuk dirinya sendiri.