Wendy and The Weddings

Wendy and The Weddings

dhamalashobita

0

Kalau penampilan yang baik harus mengorbankan kenyamanan, rasanya aku rela memiliki penampilan jelek ketimbang harus menahan pegal dan kaki lecet hanya untuk mengenakan sepatu dengan hak setinggi tujuh sentimeter selama tiga jam. Masalahnya, nih, meskipun aku mengeluh tentang sepatu sekarang, tidak akan ada yang peduli. Aku memandang ke sekeliling, perempuan-perempuan di sekelilingku bahkan tampak leluasa berjalan mondar-mandir dengan hak nyaris sepuluh sentimeter. Sementara aku, duduk di sudut ballroom sambil melepas sepatuku sejenak. Tidak peduli lagi pada Sera yang sejak tadi sibuk menarik teman-temannya untuk dikenalkan padaku.

“Ini ngapain duduk di sini, sih? Gue mau kenalin teman-teman gue, kalau lo duduk di pojokan begini gimana aura lo mau keliatan, Wen!” Benar saja. Baru menemukanku di pojokan saja Sera langsung menyerangku dengan protesnya.

“Coba tolong kasihani kaki gue bisa nggak?” Aku melirik Sera dan kakiku bergantian, berharap dia sadar kalau aku bukan bersembunyi di pojokan tanpa alasan. “Gue mau ganti sneakers aja boleh nggak, sih?”

“Udah cantik cantik Yor bikin attire guide buat pakai kebaya sama jarik, lo malah mau pakai sneakers?”

“Masa gue harus tahan terus? Ini tuh sakit banget tahu nggak, Ser,” rengekku pelan.

“Ya lo pikir aja, ini kebaya lo udah cantik banget. Gue pernah bilang belum kalau warna sage green ini cocok banget sama lo. Kita udah kembaran cakep-cakep gini, nih, terus lo ganti sneakers? Kan jadi nggak anggun lagi. Hari ini kan ceritanya lagi cosplay jadi cah ayu dulu. Minimal sampai foto bareng lah baru lo boleh ganti sneakers.”

Padahal niatnya mau mengeluh, tapi malah aku yang kena omel.

Sebenarnya, kalau saja minggu ini adalah minggu normal untukku, aku tidak masalah menahan tiga jam dengan heels tujuh sentimeter itu, tetapi jadwal pertunjukan tariku membuatku seharian harus mengenakan sepatu hak tinggi. Jangan salahkan aku jika sekarang kakiku pegal setengah mati. Aku juga tidak mungkin menyalahkan resepsi pernikahan Yor yang menggunakan hidangan prasmanan dan standing party. Padahal tadi aku juga sudah berdiri terus sepanjang acara tea pai di rumah Yor.

“Jangan protes terus, sebentar lagi tuh acaranya selesai. Tadi Yor pesan ke gue kalau lo nggak boleh pulang duluan. Harus ikut acara tangkap buket dan tunggu sampai tamu-tamu pulang. Biar puas foto-fotonya.” Sera menepuk pundakku pelan dan tersenyum.

Aku melirik ke arah kaki Sera, mendapati dia mengenakan mules yang haknya paling-paling hanya dua sentimeter. Kalau aku punya tinggi badan mencapai seratus tujuh puluh sentimeter, sudah pasti aku bisa menghindari sepatu hak tinggi ini. Aku mendengus pelan. Sera sudah berjalan mendekati pelaminan ketika suara MC terdengar memanggil semua tamu undangan yang masih berstatus lajang.

“Ya, saya ingin memanggil tamu undangan semua, teman-teman atau saudara dari Yoreisa dan juga Davi, yang tentunya masih berstatus lajang, ya. Kita mau coba peruntungan lewat acara tangkap-menangkap buket bunga, nih.”

Semua orang maju dengan antusias ke depan pelaminan. Dari kejauhan, aku dapat melihat Sera membisikkan sesuatu pada Yor, kemudian dua orang itu melambai ke arahku. Sera terlihat paling santai, mau berhasil atau tidak dia menangkap buket, sebentar lagi dia juga akan menyusul Yor. Berbeda denganku yang terlalu sering menangkap buket bunga, tapi tidak juga mendapat tanda-tanda menyusul para mempelai wanita itu.

Setengah hati, aku berjalan menuju pelaminan, tidak tega juga melihat Yor yang dengan sangat antusias memanggilku dari sana. Sera langsung menarikku ke sayap kiri, seolah sudah tahu ke arah mana Yor akan melemparkan buket bunga di tangannya.

Buket yang dipegang Yor berbentuk bulat, didominasi dengan bunga daisy, bunga kesukaan Yor. Aku berdiri di tempat, sementara Sera berdiri agak di depanku, di tepian. Harusnya, jika buketnya dilempar Yor ke arah kami, Sera lah yang dapat dengan mudah meraihnya. Sudah kubilang sebelumnya, tinggi badan Sera adalah privilesenya. Pembawa acara menjelaskan bahwa akan ada hadiah juga untuk siapa pun yang berhasil menangkap buketnya. Lagi-lagi, aku tidak tertarik. Aku dan Sera adalah dua orang yang memberi ide hadiahnya, voucher staycation di sebuah hotel bintang empat di Bandung. Meskipun terdengar lumayan, tetapi rasanya mustahil bisa kugunakan dalam waktu dekat di tengah kesibukan kantorku yang padat.

“Satu!” Semua orang mulai ikut berhitung bersama si pembawa acara.

“Dua!”

Aku mau tak mau membalikkan badanku menghadap Yor dan suaminya yang kini sudah bersiap melempar buket ke belakang. Ya, yang penting aku sudah menyetorkan wajahku sebagai presensi, jadi Yor tahu aku ikut serta. Perkara aku akan berusaha meraih buketnya atau tidak, Yor juga tidak akan tahu.

“Tiga!”

Buket di tangan Yor kini melambung ke sayap kiri, membentuk busur. Benar saja, mereka sudah merencanakannya, melempar ke sayap kiri, tempat di mana Sera dan aku berdiri. Perlahan-lahan, buket itu semakin mendekat ke arahku. Terlalu tinggi, aku tidak sanggup lagi kalau harus melompat dengan sepatu sialan yang kugunakan ini. Bisa-bisa setelah menangkap buketnya aku malah terjatuh dan membuat diriku sendiri jadi bahan tertawaan para tamu undangan malam itu.

Namun, entah karena inisiatif dari mana, aku mengulurkan tanganku ke udara. Tepat di saat yang sama, Sera mengulurkan tangan, menepis buket bunga itu hingga melewatiku. Sial. Mengapa Sera harus mengulurkan tangannya juga, sih? Terlebih tenaga Sera terlalu besar sampai buketnya melewatiku. Aku membalikkan tubuh, mataku tidak lepas dari buket bunga itu. Aku melihatnya jatuh di genggaman seseorang. Orang itu jelas lebih tinggi dari Sera dan tepat berada di belakangku.

“Aduh, kelewat!” Aku mendengar Sera berseru. Samar, tapi aku tahu Sera menyesal karena rencananya membantuku mendapat buket baru saja gagal.

Suara-suara di sekelilingku bersahutan. Mereka bertepuk tangan untuk laki-laki di depanku. Semua melakukannya kecuali aku. Mataku terpaku, bukan lagi pada buket bunga Yor, tetapi pada wajah si penangkap buket. Berapa tahun sejak terakhir kali aku bertemu dengan orang itu? Dua belas tahun?

“Gila, ternyata Abram yang dapat!” seru Sera.

Iya, namanya Abram. Aku bukan lupa, hanya saja terlalu kaget untuk dapat mengingatnya. Waktu Sera menepuk lengah Abram dan menyelamatinya, aku tersenyum kikuk, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Nyusul dong sebentar lagi, Bram,” komentar Sera yang disambut tawa kecil dari Abram.

“Tadi harusnya Wendy yang dapat, kalau aja lo nggak pukul buketnya terlalu jauh.”

Sudah terlambat. Lebih baik nggak dapat buket sama sekali ketimbang aku harus dapat buket tapi cuma jadi pajangan di rumah doang.

“Nggak apa-apa, Wendy nggak perlu buket lagi, Bram. Nanti gue suruh Yor injak kakinya. Yor! Sini!”

Hanya Sera satu-satunya orang yang berani memanggil pengantin turun dari pelaminan. Eh, ralat. Sera tidak hanya memanggil Yor, dia meminta izin pada suami dan keluarga Yor untuk menarik Yor turun dari pelaminan.

“Lama nggak ketemu, kamu gimana kabarnya, Wen?” tanya Abram pelan.

“Aku—”

“Nah, sini injak kaki Wendy dulu, Yor! Biar dia cepat nyusul juga.”

Aku tertawa pelan. Entah harus berterima kasih atau malah kesal karena Sera memotong percakapanku dan Abram. Ketika Sera sibuk menyuruh Yor menginjak kakiku, Abram tersenyum dan menepi, menghilang di antara kerumunan tamu undangan.

I’ve never expected something like this to happen anyway.