Welcome Back Home

Welcome Back Home

kalaembun

0

Dengan kepala tertunduk menatap secangkir kopi yang telah disajikan di mejanya sejak 5 menit yang lalu, Elena akhirnya berbicara, “Aku mau pindah rumah, Sa.”

Hening sesaat membuat suara mesin penggiling kopi di café yang saat itu sedang sepi pelanggan terdengar lebih jelas. Elena melirik ekspresi Lissa sekilas, terihat jelas wajahnya yang berusaha menutupi keterkejutannya dengan keputusan Elena yang tiba-tiba.

Saat sedang meeting 30 menit yang lalu tiba-tiba Elena menghubunginya. Memintanya bertemu setelah tiga hari belakangan ini menghilang dan tak bisa dihubungi. Rasanya Lissa seolah memenangkan lotre. Tanpa peduli apa yang dipresentasikan dalam meeting tadi, ia berlari mengambil tasnya dan keluar menuju letak dimana mobilnya terparkir.

Sekarang setelah akhirnya Lissa berhadapan dengan pelaku yang membuatnya serasa hidup dalam neraka selama 3 hari terakhir, orang itu justru menghempas rasa gembiranya seketika.

“Aku mau mulai semuanya dari awal.” Lanjut Elena lagi berusaha menjelaskan alasannya. Sedang Lissa kini mulai menatapnya dan masih terdiam, merasa semakin tidak bisa berkata-kata. Satu sisi ia mendukung keputusan Elena, mengingat semua hal yang telah dilalui sepupunya itu, membuat ia berpikir mungkin dirinya pun akan melakukan hal yang sama. Tapi di sisi lainnya ia khawatir melepas Elena pergi sendirian.

“Kamu sudah dapat rumah?” tanya Lissa akhirnya. Elena mengangguk cepat.

“Aku dapat yang murah dan cantik.” Lissa pun mengangguk mengerti.

“Pekerjaan mu, bagaimana?” perlahan, Elena menggeleng.

“Aku ingin berhenti bekerja dulu.”

“Lalu, apa yang kau lakukan disana?”

“Mencari suasana baru dan melakukan hal yang belum pernah ku lakukan.”

Mendengar dua kata itu terlontar dari mulut orang yang sebelumnya bahkan tak ada niatan untuk melanjutkan hidup, membuat Lissa tak percaya. Ia baru saja hendak menyuarakan keberatannya, hingga kedua matanya bertemu dengan milik Elena. Seketika hal-hal yang ingin keluar dari mulutnya lenyap.

Ada yang berbeda. Tidak seperti tiga hari lalu, kedua mata Elena kini terlihat lebih hidup. Ia pun baru menyadari kalau sejak tadi Elena terus menjawabnya dengan senyuman. Tiba-tiba ia merasa seluruh tubuhnya meleleh dan merasakan genangan air mulai mengisi kelopak bawah matanya.

Elena menyadari itu. Ia pun terkekeh juga meneteskan air mata.

“I am fine, Sa.” Ucapnya sambil menyeka air mata. “I am survived.” Sedetik kemudian pecah lah tangis Lissa.

Lissa sudah mempersiapkan skenario terburuk. Ia pikir ia kan kehilangan Elena. Ia pikir Elena akan melepasnya. Tapi ternyata Elena kembali. Kembali dengan hidupnya dan masa depannya. Lissa tak bisa lebih bahagia lagi dari ini.

“Dasar gila! Setidaknya kasih tahu aku kemana kamu pergi. Bisa-bisanya hilang selama tiga hari dengan kondisi begitu! Kamu sengaja mau bikin aku mati muda ya?!” racau Lissa ditengah tangisnya. Sedang Elena beranjak dari kursinya dan menghampiri Lissa.

“Aku gak akan kabur lagi, Sa. Aku janji.” Peluk Elena sambil menepuk lembut punggung Lissa yang bergetar. Sedang pikirannya kini memutar adegan tiga hari lalu saat ia merasa hidupnya telah berakhir.

Saat itu Elena sangat terpukul dengan kepergian Ayahnya. Baginya ayah adalah dunianya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki saat itu. Padahal saat kepergian kakak kembarnya, orang yang bersamanya di dalam rahim, separuh jiwanya, ia tidak seterpuruk ini. Tidak juga saat kepergian Ibunya. Atau mungkin karena yang terakhir makanya lebih berat?

Dua hari setelah pemakaman ayahnya, Elena terus mengurung diri, tidak berbicara apa pun dan tidak melakukan apa pun. Di hari ketiga, entah apa yang ada dipikirannya saat itu, tiba-tiba ia menyadari dirinya tengah berada di dalam gerbong kereta api yang entah kemana tujuannya. Sepanjang perjalanan ia hanya diam menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Ia bahkan tak menyadari berapa lama perjalanannya waktu itu dan bagaimana kondisi kereta api saat itu. Hingga pemandangan berwarna biru akhirnya menyadarkan lamunan panjangnya. Dan saat itu lah kereta sampai di tujuan terakhirnya, seolah menyuruhnya turun menghampiri pemandangan biru di sore hari.

Begitu Elena berhasil menjejakan kakinya, semerta-merta angin laut menyibak rambutnya, membuat setiap helai rambutnya menari-nari di udara. Langit oranye dan deburan ombak menyambutnya dengan riuh dan suka cita. Udara hangat, semilir angin sepai-sepoi ditambah aroma khas laut rasanya menyegarkan paru-parunya yang sesak. Tanpa sadar Elena terus berjalan menghampiri pantai yang berada tepat di depan stasiun ia berdiri.

Sudah berapa lama ya? Rasanya sangat lama. Kalau diingat-ingat terakhir ia merasakan aroma laut seperti ini sepertinya saat ia masih berusia sembilan tahun lalu, sebelum ia dan keluarga akhirnya pindah ke Ibukota. Setelah itu berpikir untuk kembali ke kota kecil ini saja rasanya tidak pernah. Aneh sekali, sekarang ia justru tiba-tiba sudah disini. Kota kecil di pinggir pantai yang sudah lama ia lupakan.

Atau mungkin karena kota kecil ini menyimpan kenangan masa kecilnya? Mungkin tempat ini tersimpan jauh dibawah alam sadarnya?

Sebelum kakinya benar-benar menyentuh pasir pantai, Elena terdiam memandangi laut yang terhampar luas. Biasanya pantai di sore hari pasti akan ramai pengunjung, karena itu waktu yang tepat untuk menikmati pantai. Entah bermain pasir, voly atau mungkin sekedar duduk memandangi matahari tenggelam. Tapi hari itu, entah kenapa pantai terlalu sepi. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Apa orang-orang disekitar sini sudah bosan dengan pemandangan semacam ini?

Cukup lama ia terdiam disana, mungkin sekitar lima menitan sampai akhirnya ia memutuskan melepas flat shoes coklatnya dan mulai melangkah merasakan pasir pantai berwarna putih yang hangat.

Seketika pasir pantai itu menyeruak masuk ke sela-sela jemari kakinya. Rasa geli di setiap permukaan telapak kakinya sedikit membuatnya tersenyum. Perlahan ia terus melangkah mendekati air. Dan begitu air laut menyentuh kulitnya, ia bisa merasakan perasaan lega yang menenangkan. Seolah air pantai telah menyantap habis semua rasa gelisah dan ketakutan yang sejak tadi menyelimutinya.

Elena pun memejamkan mata juga merentangkan kedua tangannya. Membiarkan air membasahi bagian bawah pakaiannya. Membiarkan angin memasuki setiap sela tubuhnya. Ia membiarkan dirinya terhipnotis oleh laut dan semua elemennya.

Tak lama kemudian, Elena mulai terisak. Tidak biasanya Elena begitu. Untuk ukuran orang yang tertimpa musibah bertubi-tubi Elena termasuk yang paling handal mengontrol emosinya. Ia jarang menangis. Hampir tidak pernah sepertinya. Bahkan di hari meninggal kakak kembar, ibu dan ayahnya ia sama sekali tak menangis. Entah bagaimana ia menahannya, tapi hari ini rasanya seolah hal-hal yang terpendam di dalam dirinya terpancing keluar.

“Kenapa semuanya pergi ….” Ucapnya lirih

“Kenapa … KENAPA SEMUANYA PERGI?!” teriaknya dengan seluruh kekuatannya. “Kenapa hanya aku yang disini?”

“KENAPA HANYA AKU YANG TERTINGGAL DISINI?” kali ini tangisnya pecah. Baru kali ini Elena akhirnya menghancurkan seluruh dinding pertahanannya. “Apa salah ku sampai kalian kompak tinggalin aku sendiri?”

Kini ia menjatuhkan tubuh hingga kedua lututnya menyentuh dasar pantai dan membiarkan ombak-ombak kecil meraih membasahi bagian pinggangnya. Layaknya sebuah film, pikirannya mulai memutar satu-satu adegan kepergian anggota keluarganya. Dimulai dari pemakaman kakak kembarnya yang saat itu masih berusia sembilan tahun, ibunya yang memilih menabrakkan diri ditengah jalan raya tepat dihadapannya, hingga ayahnya yang terbaring lemas dengan semua alat yang menancap di tubuhnya. Semua adegan itu berputar memenuhi isi kepalanya. Menyisahkan bayangan dirinya, berdiri sendirian menatapi 3 kuburan yang berjejer dihadapannya.

“Tidak bisa kah kalian membawa ku juga?” isak Elena. Lalu bagaikan flashback, film itu memutar adegan sebelum kematian menghampiri keluarganya. Adegan keluarga kecil bahagia yang tengah menggelar piknik di atas hamparan rumput hijau di bawah rindangnya pepohonan yang disinari cerahnya matahari. Ayah, ibu, kakak dan dirinya tertawa bahagia menyantap bekal roti sandwich isi keju dan ham yang lezat. Namun, tiba-tiba bagai terhempas angin kencang, dalam sekejap keluarga bahagia itu kini hancur, hilang, menyisahkan dirinya terkurung di dalam kabut hitam yang menyesakkan dada.

“Tolong bawa aku juga, aku tidak mau sendiri.”

Tiba-tiba Elena merasa dadanya berat. Sesuatu seperti tengah menekan dadanya dengan kencang hingga membuatnya sesak. Semakin lama, tekanan di dadanya semakin kuat. Sedang tenggorokkannya terasa kebas. Elena mulai kehabisan napas. Apa ini adalah jawaban atas pertanyaannya selama ini? Apa tuhan akhirnya membawanya untuk bertemu keluarganya? Meski saat ini ia merasa tersiksa, entah kenapa ia sedikit merasa lega memikirkan itu.

Namun, sedetik kemudian sebuah angin segar terasa memasuki mulutnya, menjalar ke tenggorokkan hingga memenuhi paru-parunya. Entah kenapa ia jadi merasa kembung dan mual. Lalu tiba-tiba ia memuntahkan seluruh isi perutnya.

Dan seketika kedua matanya terbuka, samar-samar ia menangkap sekerumunan orang tengah menatapnya dari atas.

***