Subuh baru saja berlalu. Seperti pagi kemarin yang telah pergi, Pru tak pernah berharap akan dapat kejutan. Apalagi ini hari Minggu. Waktunya bagi Pru untuk menikmati hari bersama secangkir kopi yang telah dia siapkan sendiri.
Masih terlalu dini untuk lari melaksanakan aktivitas rutin lari pagi. Jadi, Pru memilih duduk di beranda rumah menunggu kopinya siap diminum. Kopi tanpa gula yang selalu dia buat dengan penuh cinta. Ya, mencintai diri sendiri telah menjadi keharusan bagi Pru. Tak perlu berharap orang lain mencintai kita sesuai dengan yang kita harapkan.
Sebuah motor melintas kencang. Lalu, praaaaangggggg...
Suara itu mampu membuat Pru terlonjak dari duduknya. Kaca jendela yang terletak tepat di samping Pru pecah berkeping-keping. Untung saja tidak ada pecahan kaca yang mengenai Pru.
Selama tiga detik Pru bergeming memandang jendela rumahnya. Jantungnya masih berdegup tidak karuan akibat rasa terkejut. Tak lama, mata Pru menatap sebuah benda putih berbentuk bulat tergeletak di bawah jendela.
Pru memungutnya. Rupanya benda ini yang menyebabkan kaca jendelanya pecah. Batu sebesar kepalan tangan terbungkus kertas putih. Pru kembali menatap jalan. Berharap masih ada jejak orang yang melemparkan batu tersebut. Namun nihil. Sekeliling rumah Pru yang masih remang-remang tidak menunjukkan adanya aktivitas orang.
Dengan tubuh yang masih gemetar dan lutut yang terasa lemas, Pru melangkah masuk ke dalam rumah. Dadanya masih bergemuruh akibat rasa terkejut yang baru saja menimpanya. Pru duduk di kursi ruang tamu menenangkan hatinya. Perlahan Pru membuka gulungan kertas yang menjadi pembungkus batu di genggamannya.
Enyahlah jika kamu ingin selamat. Kamu punya waktu 72 jam.
Kali ini Pru benar-benar ketakutan. Tubuhnya tiba-tiba saja lunglai. Seluruh tulang terasa lepas dari tempatnya. Siapa yang mengancamnya? Kenapa dia harus enyah? Kemana dia akan pergi? Ada apa dibalik semua ini? Otak Pru sudah tak mampu lagi mencerna semuanya.
Hanya selang beberapa menit, Pru mendengar suara telepon selularnya berdering. Dengan kaki yang masih terasa lemas Pru berjalan menuju kamar. Ada nama mamanya muncul di layar gawai.
“Halo, Ma.”
Kamu di mana? Datuk meninggal jam tiga pagi tadi. Maaf mama tidak bisa datang. Semoga kamu bisa kuat.
“Mama dapat kabar dari mana? Kok nggak ada yang ngabarin aku?” Pru terduduk di kasurnya.
Tadi satu jam yang lalu Mama ditelepon Ibu Narti. Dia konfirmasi apakah mama mau memesan bunga untuk eyang atau tidak.
“Apa aku harus datang?”
Sebaiknya datang. Tapi tidak usah memberitahu keluarga di sana. Kamu cari Ibu Narti dulu sebelum ke rumah Datuk.
Ibu Narti yang dikatakan mamanya itu adalah satu-satunya sahabat dekat mamanya yang masih tinggal tinggal di Kedamaian. Ibu Narti juga yang selalu ada untuk mama setelah kepergian papa lima tahun lalu bertepatan dengan Pru yang baru saja menyelesaikan SMA nya.
“Kamu harus pergi sejauh mungkin dari sini dan memulai hidup baru kamu. Bawa semua harta yang bisa kamu bawa untuk bekal hidup kamu bersama Pru. Urusan rumah yang di sini, biar aku yang membelinya.” Itulah kalimat terakhir yang Pru dengar dari bibir Bapak Fauzan, suami Ibu Narti.
Setelah itu, Pru mengikuti mamanya pindah ke Lombok. Entah apa yang ada di benak mamanya hingga memutuskan pindah ke tempat di mana tidak ada satu orang pun yang mereka kenal. Mamanya membuka toko kue kecil-kecilan. Uang hasil penjualan perhiasan ditambah asuransi atas meninggalnya papa dipakai untuk modal usaha oleh maama.
Setahun Pru tinggal di Lombok membantu mamanya di toko kue. Setelah itu, Pru disuruh untuk melanjutkan kuliah. Pru memilih Yogya. Mengingat bagaimana mamanya berjuang, Pru tidak membuang-buang waktu. Saat ini kuliahnya sudah rampung. Tinggal menunggu wisuda dua bulan lagi. Meski mamanya selalu mengirimkan uang dalam jumlah yang lebih dari cukup, Pru tetap ingin mandiri. Disela waktu luangnya, Pru memilih bekerja menjadi guru privat.
Pru tidak mengatakan apapun kepada mamanya perihal kertas yang baru saja dia terima. Meski masih dilanda ketakutan yang tiba-tiba saja terasa mencekam, Pru berharap semoga ancaman itu hanya perbuatan orang iseng.
Setelah memutus telepon dari mamanya, Pru segera menyiapkan keberangkatan ke Bandar Lampung. Pesawat menjadi pilihan Pru agar bisa segera tiba di sana. Tak lupa dia juga memberikan kabar kepada Badri.
...
“Halo, Abang udah denger kabar belum kalau Datuk meninggal?”
...
“Ya sudah, aku berangkat pesawat sore, Bang.”
...
“Iya. Abang hati-hati ya.”
Hari sudah menjelang senja saat Pru menginjakkan kaki di Bandara Radin Intan. Matanya awas mencari keberadaan Badri dan Ibu Narti. Agak samar karena terhalang ramainya orang yang sedang menjemput.
Pandangannya berhenti kepada perempuan paruh baya yang memakai kerudung hijau. Sejenak Pru memandang lekat. Meyakinkan dirinya kalau itu memang Ibu Narti. Pru menghampirinya. Mereka pun berpelukan. Ibu Narti mengusap lembut punggung Pru.
Ibu Narti memeluk pinggang Pru. Mengajaknya menuju mobil yang diparkir tidak jauh dari pintu masuk.
“Kamu sudah besar. Ibu pangling banget.”
“Abang di mana?” Pru mencari keberadaan Badri.
“Abangmu nggak bisa ikut. Ada yang harus dia urus sama Bapak.”
Andai tidak duduk di belakang kemudi, mungkin Ibu Narti sudah mencubit pipi Pru seperti yang sering dilakukannya dulu.
Mereka tiba di kediaman Datuk. Proses pemakaman sudah selesai. Pihak keluarga merasa tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Ya, keberadaan Pru sebagai cucu seolah lenyap begitu saja bersamaan dengan meninggalnya Papa Pru bertahun lalu.
Pru tahu diri. Sejak dulu dia memang tidak pernah menjadi bagian dari keluarga besar papanya. Pernikahan kedua orangtuanya sangat ditentang oleh Nyai dan keluarga besar mereka. Mamanya bukan siapa-siapa. Hanya seorang perempuan muda biasa yang sudah tidak memiliki orang tua. Hidup menumpang diasuh oleh paman dan bibinya. Tentu bukan pasangan sepadan untuk papanya yang merupakan salah satu keluarga terpandang di Lampung. Apalagi papanya adalah anak laki-laki pertama yang memiliki kedudukan sangat tinggi dalam adat mereka.
Kematian papanya mengukuhkan predikat mamanya sebagai perempuan pembawa sial. Begitulah, lima tahun lalu secara terang-terangan mamanya terusir dari keluarga besar papanya. Pru dan mamanya beruntung, sertifikat rumah yang mereka tempati dulu sudah atas nama mamanya. Sehingga tidak ada kesulitan ketika Bapak Fauzan dan Ibu Narti menolong mereka dengan membeli rumah tersebut.
Rumah Datuk terasa sangat sepi bagi Pru. Padahal begitu banyak orang yang datang mengucapkan belasungkawa. Pru mengekor di belakang Ibu Narti. Dia memakai masker agar tidak dikenali. Orang-orang menganggap dia kerabat Ibu Narti.
Tidak sampai lima belas menit, Pru dan Ibu Narti berpamitan. Meski mereka terikat pertalian darah, Pru merasa sangat asing berada di tengah keluarga itu. Tidak banyak kenangan yang bisa Pru gali dari memorinya. Bahkan Pru sangat kesulitan ketika harus mengingat tentang Datuk.
“Pru, ibu haus. Tolong bukakan minuman untuk Ibu.” Pru membuka minuman yang sedang dipegangnya lalu memberikannya kepada Ibu Narti.
Tak lama, Ibu Narti menepikan mobilnya, mengeluh pusing lalu tidak sadarkan diri. Pru terkesiap melihat kondisi Ibu Narti yang tiba-tiba saja pingsan.
“Bu, bangun Bu. Ibu, ayo bangun.” Pru menggoyang-goyangkan tubuh yang masih duduk di sampingnya itu. Ketika Ibu Narti masih saja tidak bergerak, sigap Pru keluar dan memindahkan Ibu Narti ke kursi belakang. Wajah Ibu Narti sudah seputih kapas. Pru mengambil alih kemudi. Mencari rumah sakit terdekat di map.
“Bagaimana, dok?” Pru dilanda kecemasan melihat Ibu Narti tiba-tiba saja pingsan.
“Mohon maaf, nyawa Bu Narti tidak dapat diselamatkan. Sepertinya ada makanan atau minuman beracun yang tadi dikonsumsi Ibu Narti. Kami masih menunggu hasil laboratorium. Coba diingat lagi apa saja yang tadi beliau makan atau minum.” Dokter berkata tenang, tapi Pru merasa seperti tersengat aliran listrik tegangan tinggi.
Pru terkulai lemas di kursi tunggu. Ingatannya melayang kepada minuman yang tadi dia berikan ke Ibu Narti. Pru baru menyadari, minuman itu diberikan keadanya oleh seseorang di rumah Datuk. Pru pun menghubungkannya dengan ancaman yang tadi pagi dia terima.
Nanti kamu jangan jauh-jauh dari Ibu ya. Biar mereka berpikir kalau kamu anak Ibu. Kamu harus hati-hati karena sepertinya kamu sedang dalam bahaya. Ucapan Ibu Narti di tengah perjalanan menuju rumah Datuk yang tadi hanya dianggap angin lalu oleh Pru kini mampu membuat dirinya menggigil ketakutan.
Bahkan, Ibu Narti sempat mengatakan kalau sebenarnya Pru bisa merubah keadaan dan membuat gempar keluarga besar itu.
Warisan. Ya, kini Pru menduga semuanya tentang warisan. Sebagai orang yang sangat dekat dengan kedua orangtuanya, Ibu Narti mengetahui pasti bagaimana sistem warisan di keluarga Datuk. Harta keluarga itu akan diturunkan kepada anak pertama. Papanya Pru sudah meninggal, jadi harta itu tetap dipegang Datuk. Namun, bagaimanapun Pru masih hidup. Dialah cucu pertama dalam keluarga besar itu. Pru akhirnya menyadari kenapa keberadaannya dianggap ancaman.
***