Wanita Tanpa Khayangan

Wanita Tanpa Khayangan

gio_milahy

0

“Kau tahu kenapa orang di masa lalu menyebut penyihir seperti aku ini wanita tanpa kayangan? Karena aku adalah wanita yang tidak akan bisa ke surga firdaus yang indah itu. Aku adalah mahluk abadi. Aku tidak akan bisa bertemu kayangan sampai aku melepaskan keabadianku. Melepaskan keabadian artinya melepaskan khodratku sebagai penyihir. Hidup biasa selayaknya manusia biasa. Melepaskan kehidupan yang sudah ratusan tahun lamanya dilalui. Dan begitu aku melepaskannya, aku tidak akan bisa mendapatkannya lagi. Jadi itu adalah keputusan yang merubah hidupku.”

1
Rabu, 13 Oktober 2021.

Terkadang ada orang yang merayakan ulangtahun dengan mengadakan pesta besar-besaran. Ada juga yang mengadakan syukuran. Ada juga yang tidak merayakannya. Tetapi, bagi mereka semua, ulangtahun adalah momen spesial. Juga untuk Emilia yang saat ini sedang berulangtahun. Dia ingin mengundang seseorang di hari lahirnya ini. Untuk merayakannya bersama.

“Darah sudah kuberikan!”
Cress….
Suara ayam yang disembelih.
“Wahai iblis kemalasan, Belphegor! Aku memanggilmu!”

Sebuah portal pentagram berwarna hitam muncul di atas lantai kamar apartemen Emilia. Dia melihatnya dan merasakan energi sihir yang sangat kuat. Lampu ruang tengah mulai berkedip tidak karuan sementara dari portal itu angin dingin nan kencang membuat rambutnya yang panjang itu tergerai.

“Siapa manusia rendahan yang sudah memanggilku?!” teriak mahluk yang mulai muncul. “Berani-beraninya kau memanggilku di saat aku sedang beristirahat!”

Sebuah mahluk menyeramkan muncul. Mahluk itu berwarna merah darah dengan tanduk menyembul keluar dari kepalanya yang botak. Janggut putih menutupi mulutnya sampai ke dadanya. Matanya memerah menatap Emilia lurus dan alisnya yang hitam tebal itu nampak seperti penuh amarah.

“Kau! Berani-beraninya kau memanggil—”

“Iya-iya,” ucap Emilia santai. “Kau sudah sepenuhnya masuk ke sini bukan? Tutup portalnya kalau begitu. Aku mau memasukan ayamnya ke kulkas lagi.”

“Eh?”

“Lama tidak berjumpa Belphegor,” kata Emilia melemparkan lap ke wajah mahluk menyeramkan itu. “Tolong bersihin darah yang ada di bawah dong. Kalau sudah kering, darahnya susah banget dibersihin.”

“Ah… ternyata itu kau Emilia,” komentar Belphegor sambil berjongkok membersihkan noda darah di lantai. “Ah iya, aku sudah sepenuhnya berpindah kesini. Aku matikan portalnya.”

Portal itu mati dan seketika itu juga lampu berhenti berkedip dan angin kencnag diudara selesai. Emilia memasukan ayam mentah yang bulunya sudah aku cabuti itu ke lemari pendingin karena itu adalah persediaan makannya untuk tiga hari kedepan.

“Kopi atau teh?” tanya Emilia.
“Apa?”

“Kau mau kopi atau teh buat minumnya?” tanya Emilia berbalik. “Ugh… kenapa setiap kau muncul selalu tidak memakai baju. Satan setidaknya memakai cawat, dan Bellzebub memakai selendang menutupi tubuhnya. Jangan kacaukan ulangtahunku dengan tubuh jelekmu.”

Mendengarnya Belphegor menghela nafas, “Kau ini ya… aku tahu sekarang ini aku sedang banyak senggangnya. Tetapi setidaknya jangan panggil aku buat menemani ulangtahunmu. Panggil Alice atau gurumu si Athena itu.”

“Athena sedang ada rapat dengan editornya, sementara Alice… yah, aku sendiri tidak tahu dia sedang apa. Mungkin sedang menggoda laki-laki muda di klub malam.”
“Kalau begitu kenapa tidak mencari laki-laki aja.”
Mendengarnya Emilia menembakkan listrik ke Belphegor, “Jangan bahas soal percintaan atau laki-laki ke hadapanku.”
Belphegor meringis kesakitan memegangi pahanya yang tersetrum, “Kau yang pertama kali membahasnya. Lagipula, aku dengar kau bekerja di kantor manusia bukan? Kenapa kau malah mengundang iblis sepertiku?”
“Pertama,” Emilia mengangkat jarinya, “Aku ini adalah manusia, aku hanya seorang penyihir, aku bukan iblis sepertimu. Kedua, aku malas untuk bergaul dekat dengan karyawan yang lain. Tidak ada yang dekat sampai aku mau mengajak mereka merayakan ulangtahunku. Ketiga, pakai jubah mandi yang ada di pintu itu cepat.”
“Kau ini,” Belphegor berjalan menuju pintu untuk mengambil jubahnya. “Dengar ya, kau ini sudah berusia lima ratus tahun, seharusnya kau sudah bisa berbicara dengan orang lain. Jangan malas untuk berkomunikasi dan bergaul.”
Emilia duduk di sofa dan mencibir, “Iblis kemalasan malah memintaku untuk malas.”
“Karena aku malas selalu diajak untuk menghadiri pesta ulangtahunmu. Setiap tahun, kau selalu memanggilku untuk menemanimu menikmati pesta ulangtahunmu.”
Belphegor sudah memakai pakaiannya kemudian duduk di kursi. Dia melihat kue ulangtahun yang sudah disiapkan oleh Emilia di meja. Matanya yang merah memantulkan cahaya dari api lilin yang dinyalakan dengan sihir.
“Jaman sudah berubah ya,” komentar Belphegor. “Dulu kau menyalakan api untuk sesuatu yang lebih penting. Menjadi penghangat keluarga yang kedinginan, atau membantu petugas kerajaan menerangi jalanan.”
“Jaman memang sudah berubah. Kau sendiri bagaimana Belphegor? Masih ada orang yang menyembahmu?”
“Yang percaya denganku sangat sedikit. Jangankan menyembah, saat ini yang takut denganku sangat sedikit. Bahkan, banyak yang mulai memujaku. Banyak penggambaran yang aneh soalku.”
“Begitu ya. Jadi? Kopi atau teh?”
“Wine ada? Rasanya pesta ulangtahun tanpa wine itu sangat tidak mengenakan. Kurang pas istilahnya.”
“Nanti saja kalau wine. Aku ingin yang santai dulu. Jadi?”
“Kopi saja,” hela nafas Belphegor. “Jadi? Seperti biasa?”
“Ya,” senyum Emilia. “Seperti biasa kawan iblis kemalasanku.”
2
Baphomet meminum kopinya dan menghirup aroma wanginya. Dia lalu menatap Emilia yang ada di hadapannya sedang memotong kue dengan adil. Wajahnya menunjukan kedewasaan. Dan kacamatanya tidak bisa menyembunyikan matanya yang dulunya pernah bercahaya.
“Kenapa?” tanya Emilia memotong kuenya. “Apa kau mulai terkena pesonaku? Sebagai penyihir ini, aku punya selera yang tinggi.”
“Baumu itu tidak kusukai,” komentar Bephemot santai. “Kau ini jauh dari kata muda, perawan, dan suci. Tidak akan ada iblis yang mau mengambilmu apalagi menjadikanmu selir.”
“Hmph,” dengus kesal Emilia dan langsung memakan kuenya sekali gigit. “Bagianmu tidak jadi kukasih, Baphomet. Kau ini masih sama seperti Asmodeus. Masih bertindak sexist. Dengar, Kartini berjuang supaya wanita tidak dilihat dari bagian luarnya saja. Sekarang jaman emansipasi wanita.”
“Aku ini iblis!” ucap Baphomet membela diri. “Mana mengerti aku dengan emansipasi wanita gitu.”
“Ya… coba belajar?”
Emilia mengangkat kedua bahunya menandakan kalau dia ingin mengubah topik pembicaraan itu. Iblis kemalasan itu akhirnya menyerah dan memilih menghela nafas sambil melihat wanita itu memakan kue yang seharusnya jadi jatahnya.
“Usiamu berapa sekarang?” tanya Baphomet. “Empat ratus ada?”
“Lima ratus,” jawab Emilia enteng. “Usiaku hari ini lima ratus tahun. Tepat lima ratus tahun. Empat ratus tahun itu adalah ketika aku sedang membawamu ke dunia ini. Satan dan Bellzebub ikut nimbrung juga kan.”
“Ternyata usiamu sudah setua itu.”
“Hei, Athena usianya sudah tujuh ratus tahun ya. Aku ini usianya kalau dimanusiakan masih di awal duapuluh tahunan lah.”
“Kau yakin?” Bephemot bangun dan berbaring di lantai. “Hah… kopi buatanmu itu seperti biasa selalu membuatku merasa mengantuk. Kau memakai apa sih?”
“Aku rasa bukan kopinya yang membuatmu begitu. Tetapi lebih ke pendingin ruangan yang ada di sini. Suhu dingin bisa membuat orang malas bukan? Dan kau adalah biangnya kemalasan.”
“Padahal aku ini dulu adalah iblis yang ditakuti. Mereka mengorbankan manusia untuk memanggilku. Mereka yang memohon dengan hormat akan kuberikan hadiah, mereka yang tidak memberikan hormat akan kuberikan penyakit. Wabah kolera, cacar… tidak terhitung pandemi yang sudah kulakukan.”
“Nyatanya kau bisa dengan mudah kupanggil.”
“Mudah?” tawa Baphomet. “Kau terlalu banyak mengeluarkan energi sihir sampai-sampai kawan-kawanku yang lain datang dari neraka.”
“Itu sewaktu aku masih di bawah pelatihan Athena. Dua ratuh tahun kemudian aku bisa memanggil kalian bersembilan sesuai kehendakku. Dan seratus tahun yang lalu sewaktu perang dunia aku mulai menghajar kalian karena berbuat ulah.”
“Bukan salahku manusia saling membenci sampai berperang. Dua kali kalian berperang tetapi selalu saja bilang, ‘ini godaan iblis’. Padahal aku ini sedang ada di neraka.”
Emilia tertawa mendengar keluhan Baphomet, “Aku rasa itulah kami. Pada Adamani… keturunan Adam.”
“Lucifer akan marah besar kalau mendengar nama itu,” tawa Baphomet. “Hei, Emilia. Aku bisa memejamkan mataku sejenak? Aku merasa malas sekarang. Kalau winenya sudah dingin atau mau kau sajikan, bangunkan aku.”
“Dasar iblis pemalas.”
Emilia menyalakan televisi dan membiarkan Baphomet tertidur di lantainya. Iblis itu tertidur dengan lelapnya tanpa ada rasa peduli di dunia ini. Emilia melihat keluar karena mendengar sebuah hujan dan benar saja dari jendelanya butir-butir hujan mulai terlihat.
Acara televisi masih menayangkan acara talk show karena jam masih menunjukan pukul sepuluh malam. Emilia meminum kopinya sambil menikmati ketenangan ini.
“Hah…,” hela nafas Emilia. “Iya-iya aku sajikan wine.”
Wanita itu bangun dan berjalan menuju kulkasnya. Saat ini kamar apartemennya ini sudah dia tinggali selama lebih dari sepuluh tahun. Tentunya sudah dia bayar lunas dan semua perabotan yang ada di dalamnya tidak ada yang dia cicil. Semuanya sudah dia miliki dari keringatnya sendiri.
Apartemen dengan dua buah kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang makan serta ruang tamu yang dipartisi oleh dinding kayu kecil agar asap masakan tidak masuk ke sini. Pendingin ruangan ada dua, satu di ruang tengah, satunya lagi di kamar.
Emilia mengambil botol wine yang ada di kulkasnya serta dua buah gelas. Tidak lupa juga dia mengambil sebuah potongan roti kemudian membawanya ke meja.
Sambil menyiapkan wine dan membagi rotinya sama rata, dia menyalakan lilin sekali lagi dan meniupnya. Setelah melihat asap dari lilin mulai menghilang, Emilia mengucapkan syukurnya karena sudah diberi keberkahan dalam kehidupan ini. Dan setelah itu diapun duduk sambil memperhatikan Baphomet.
Sebuah cairan hitam keluar dari bayangan tangan Emilia kemudian cairan itu berubah menjadi seperti tangan dan memukul wajah Baphomet sampai dia melompat terkejut.
“Uwah,” teriak Baphomet terkejut. “Emilia! Sudah kubilang jangan bangunkan aku dengan kekerasan.”
Emilia mengerutkan dahinya, “Kekerasan apanya? Kan aku menggunakan ilmu sihir. Masuknya bukan kekerasan, kan? Kekuatan sihir kamu saja yang sudah melemah, makanya kamu tidak—”
Duar…
Suara petir terdengar kencang.
“Waaa!” Bephemot melompat karena kaget. “Astaga! Aku tidak sadar kalau sekarang sedang ada hujan. Sudah kubilang jangan memanggil hujan, Emilia.”
“Aku tidak memanggil badai,” bela Emilia. “Memang kadang aku memanggil hujan tiba-tiba. Tetapi nggak sekarang. Aku tahu kalau ini bukan ulah aku. Emang sekarang lagi musim penghujan aja.”
“Oh… baiklah.”
Bephemot melihat wine dan rotinya. Mereka kemudian saling berbicara sambil menikmati kudapan mereka. Obrolan absurd mengenai masa lalu mereka kemudian terus berlanjut. Kehidupan Emilia yang panjang membuat dia memiliki banyak hal yang dia bicarakan. Semuanya adalah sesuatu yang tidak dipahami oleh Bephemot.
“Kau tidak paham lagi ya?” tanya Emilia. “Jadi orang-orang baru di kerjaan mulai memberikan aku julukan nenek sihir karena semenjak hari pertama aku kerja penampilan aku tidak berubah. Kurang ajar sekali, padahal setiap malam dan pagi aku melakukan perawatan kulit. Dua juta aku habiskan bulan kemarin untuk perawatan diri. Dan mereka bilang aku begini karena kemampuan sihir.”
“Bukankah itu benar?”
“Bepe,” ucap Emilia yang sudah mabuk. “Sudah aku bilang, kalau aku tidak merawat diri, aku saat ini akan menjadi penyihir berkerut seperti di cerita rakyat itu.”
“Tapi kau pada dasarnya memiliki ilmu sihir bukan? Jadi… aku tidak bisa memahami kenapa kau merasa ucapan mereka itu adalah sebuah hinaan.”
“Bapho, dengar ya. Buat seorang wanita itu. Dibilang sebagai nenek sihir di belakang itu adalah sebuah hinaan. Dimana-mana aturannya begitu. Hah… kalau aja tidak ada sumpah itu, sudah kuserang mereka.”
“Kau mau menyerang mereka?”
“Tidak,” tawa Emilia. “Aku tidak ingin menyerang manusia. Aku tidak sampai sejahat itu sampai-sampai jatuh ke lubang kegelapan.”
Baphomet melihat Emilia yang sudah mulai mabuk kemudian mengambil botol wine yang membuat Emilia mengeluh dan berusaha untuk mengambil botol itu. Hanya saja, karena sudah kepalang mabuk, Emilia kehilangan keseimbangannya.
“Kau tidak pernah kuat dengan alkohol,” komentar Baphomet sembari mendorong Emilia dengan kakinya ke sofa. “Untuk sekarang istirahatlah.”
“Ah… ini ulangtahunku yang ke lima ratus. Temani aku sampai tengah malam dong. Aku sudah melakukan banyak persiapan. Aku bisa memasak ayam tumbal tadi kalau kau kelaparan.”
“Cari pasangan kalau begitu,” ucap Baphomet membuka portal. “Banyak teman-temanmu yang melepaskan keabadian mereka dan memilih hidup menjadi manusia biasa.”
“Bukan karena aku punya pilihan,” keluh Emilia. “Bukan juga karena kurang usaha.”
“Coba usaha lagi, mungkin kali ini beruntung. Terima kasih atas jamuannya, Emilia.”
“Terima kasih juga karena sudah mau menemani, Bepho,” ucap Emilia menatap langit-langit. “Sampai jumpa lagi.”
“Lain kali panggil aku untuk alasan yang lebih penting.”
Portal kemudian tertutup dan lampu berhenti berkedip serta angin tertutup. Suara hujan kemudian menjadi peneman tempat ini. Emilia merasa silau dengan cahaya lampu kemudian menggunakan ilmu sihirnya untuk mematikan lampu dan televisinya. Diapun tertidur di sofanya.
3
Emilia terbangun karena suara hujan yang berhenti. Dia segera melihat jam yang baru menunjukan pukul setengah duabelas malam. Dengan kepala yang sedikit berputar Emilia bangun dan mencuci mukanya.
Sebotol air minum dia tenggak untuk menghilangkan pusing hangovernya. Kepala dan tenggorkannya terasa panas dan diapun membuka jendela balkonya untuk melihat pemandangan kota Jakarta yang penuh warna ini.
Ingin melihat pemandangan kota lebih luas dan juga karena ingin merasakan udara sejuk sehabis hujan, Emilia segera ke kamarnya dan memakai jaket dan sweater longgarnya. Tak lupa juga sapu terbangnya dia ambil.
Setelah berada di balkonnya dia menutupnya agar tidak ada debu yang mengotori apartemennya. Diapun mulai mengendarai sapu terbangnya sambil melihat betapa indahnya pemandangan kota di malam hari ini. Pemandangan inilah yang membuatnya lebih ingin tinggal di perumahan tinggi.
Berbeda dengan masa lalunya yang kalau malam tanpa ada bulan purnama dia tidak bisa melihat apapun. Era modern ini memberikan keindahan di dalam malam. Memberikan sensasi terisolir yang entah kenapa membuat kepala Emilia terasa tenang.
Dia terus berjalan melintasi banyak kendaraan yang masih berseliweran di jalan. Tidak ada yang sadar kalau keberadaan seorang penyhir tepat di atas kepala mereka. Karena saat ini Emilia menaruh sihir agar keberadaannya tidak bisa dilihat oleh siapapun. Sebuah sihir kamuflase yang dia kembangkan limapuluh tahun yang lalu saat dia sedang berlibur di kota New York yang penuh dengan cahaya itu.
Sudah banyak tempat yang dia kunjungi, Moskow, London, Berlin, Beijing, Hong Kong, Kyoto, Madrid, Seol. Dan saat ini dia memilih untuk tinggal di kota Jakarta semenjak tahun tujuhpuluhan. Selain karena dia lebih bisa membaur dengan penampilan orientalnya. Dia juga sudah memiliki pekerjaan yang aman.
Perusahaan dimana dia bekerja saat ini adalah perusahaan yang dia bangun bersama banyak orang di era Orde Baru. Ilmu sihirnya membantu para pembuat perusahaan telekomunikasi dimana dia bekerja bisa berada di puncak kejayaan.
Tetapi semenjak kembali bekerja sepuluh tahun yang lalu, Emilia berhenti menggunakan ilmu sihir untuk mendapatkan keuntungan. Selain karena dia merasa mencurangi manusia biasa, dia sudah berada di kondisi keuangan yang sangat stabil, bahkan kalau perlu dia sudah tidak perlu bukerja untuk limapuluh tahun kedepan dan dia masih bisa hidup.
“Tolong!” teriak seorang pria terdengar dari bawah. “Siapapun tolong!”
Emilia tentunya mendengar suara orang yang putus asa itu sedang meminta tolong. Dengan cepat diapun melesat kebawah mencari sumber suara itu. Dan di sebuah jalanan sepi, tepat berada di bawah pohon rindang dia melihat seorang pria sedang terjatuh di aspal dihadapan dua orang pria bersenjata tajam.
“Kunci motor lo!” teriak pria yang memabwa pisau itu. “Anjing! Kesini kunci motor lo!”
“Lo sayang sama nyawa lo nggak sih?”
Emilia segera turun dan mematikan sihir kamuflasenya itu. Dia mencoba mengendap-endap dari belakang kedua orang begal itu. Tetapi karena apsal yang dia injak dipenuhi oleh genangan air suara langkahnya terdengar.
“Ngapain lo deket-deket!” teriak salahsatu begal. “Pergi lo!”
“Lo mau gue rampok?!”
Emilia melihat kesekitarnya, “Kau bicara denganku?”
“Lo nantangin anjing?!”
“Nggak usah membentak,” ucap Emilia menutup telinganya tidak senang. “Ini jalanan sepi, jadinya ngomong biasa aja udah kedengeran. Gini deh, gue kasih tahu, kalian berdua bisa pergi dari sini sebelum kena sakit.”
“Nantangin bangsat!”
Satu orang begal menerjang Emilia, tetapi dengan gerakan cepat dia menghindarinya dan mengeluarkan sebuah sihir pelemas otot membuat pria itu langsung terjatuh. Rekannya kebingungan dengan apa yang terjadi.
Panik, pria itu mencoba menusuk Emilia dengan pisau dapur itu. Tetapi dengan cekatan Emilia menepuk pergelangan tangan pria itu sampai pisaunya terpental. Dan dengan cepat sebuah sapuan tangan yang menghantam dagu, pria itu langsung rubuh tidak sadarkan diri.
“Lemah banget,” geleng Emilia. “Banyak bicara tetapi nggak ada tenaganya.”
“Uwaah,” teriak panik terdengar lagi.
Emilia menatap pria yang hampir dibegal itu dan langsung berkata, “Ini tengah malem. Nggak suah berteriak, nanti malah ganggu mereka yang lagi tidur.”
“Ah… ummm…”
Emilia melihat sekelilingnya kemudian berkata, “Maafkan aku, aku tidak ingin melakukannya. Tetapi demi menjaga sumpah dan integrasi penyihir, aku harus melakukannya. Jangan dendam ya.”
“Penyihir?”
Ucapa pria itu terhenti karena Emilia memberikan sebuah mantra sihir kepadanya. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan mengambil motornya yang ada di balik pohon itu. Dengan cepat, pria yang memakai jaket hoodie bergambar anime itu memasang helm dan menyalakan motor. Pergi meninggalkan tempat ini menuju rumah tempat tinggalnya.
“Sekarang…,” Emilia berbalik dan melihat kedua begal ini. “Mungkin seharusnya gue membawanya ke kantor polisi.”
Dengan mudah Emilia membawa dua orang begal itu ke kantor polisi dengan sapu terbangnya. Di tengah perjalanan mereka berdua sadarkan diri dan berteriak panik karena berada tinggi di udara.
“Uwaaaaa!”
“Jangan berisik,” ucap Emilia mulai kesal. “Avada kadavra.”
Mereka berdua seketika itu juga langsung tidak sadarkan diri. Sejenak Emilia terbengong dan rasa panik langsung terasa di dadanya. Dengan cepat dia memegang leher mereka berdua dan masih merasakan denyut nadi.
“Hah…,” hela nafas Emilia. “Hampir aja aku menggunakan mantra pembunuh. Tapi… kenapa aku malah berkata mantra dari film sihir itu sih? Ah… tidak penting. Aku bawa dia ke kantor polisi aja deh yang penting.”
Emilia menaruh mereka berdua di kantor polisi sambil memberikan sebuah catatan kalau mereka adalah begal motor. Setelah itu dia dengan segera terbang menuggu kedatangan polisi yang keluar dan menangkap mereka berdua.
Sambil tersenyum Emilia bergumam, “Sudah cukup deh petualangan malamnya.”
Dengan cepat Emilia menuju ke apartemennya dan menuju ke kasur kamarnya untuk beristirahat. Karena besok dia harus menuju kantor untuk bekerja seperti biasa.
Sambil bersandar, Emilia mengingat kebaikan yang sudah dia lakukan tadi. Dia melihat wajah pria yang dia selamatkan itu kemudian tersenyum sendiri karena sudah melakukan sesuatu yang benar seperti yang gurunya ajarkan. Pada akhirnya dia menutup matanya mencoba untuk tidur.
Tetapi saat sedang ingin tidur dia teringat sesuatu dan membuka matanya, “Si bajingan itu membawa jubah mandiku!”