Tak seorang pun bisa memilih jodoh dan jalan hidupnya. Demikian pula aku. Siapa yang menyangka jika Theodore Dinnata, lulusan sebuah fakultas ekonomi di universitas ternama dan berpredikat cumloude, berakhir sebagai instruktur senam aerobic, setelah hampir lima tahun gonta-ganti pekerjaan karena terlalu pemilih. Dan karena sifat itu pulalah, hingga di usia ke-35 ini, aku belum juga menikah. Upps ... jangankan menikah, rasa cinta yang konon begitu indah dan menghanyutkan saja, aku belum pernah merasakannya.
Seingatku, dulu semasa SMA, aku pernah menyukai seseorang, tapi sepertinya bukan cinta juga sih, kalau menilik dari cerita mereka-mereka yang sedang dilanda perasaan yang hanya terdiri dari lima abjad itu. Dan kadang, aku merasa jika mereka terlalu lebay. Apalagi kaum hawa, makhluk yang paling aneh dalam menyikapi satu kata ini. Bisa menangis saat bahagia, bisa tertawa saat berduka. Aneh kan?
Bagaimana aku, yang notabene seorang lelaki ini bisa tahu? Tentu saja aku sangat tahu, rata-rata member klub aerobic-ku memang wanita. Beragam alasan yang mereka katakan saat iseng kutanya mengapa ikut klub aerobic. Yang sudah berumah tangga, beralasan menjaga bentuk tubuhnya tetap ideal agar tetap disayang suami. Jika masih lajang, alasannya untuk menjaga kesehatan dan mencari penghasilan.
Dan alasan yang terakhir itu memang betul sekali. Menjadi instruktur senam, pundi-pundi yang didapatkan memang menggiurkan. Apalagi jika sudah banyak jam terbang, kemudian bisa menjadi instruktur tetap di sebuah yayasan atau lembaga. Dan jika hoki, bisa menjadi bintang di televisi.
Itulah yang terjadi padaku dalam kurun waktu selama ini. Sekarang aku sudah memiliki sebuah rumah di sebuah cluster elit dan mobil sport keluaran terbaru. Murni dari hasilku selama hampir 10 tahun malang melintang di dunia per-aerobic-an.
Mungkin karena begitu banyak model dan sifat wanita yang kukenal di sekelilingku selama menjadi instruktur, membuat hatiku seolah mati rasa menghadapi mereka kemudian enggan memulai sebuah hubungan. Dalam logikaku semua wanita sama saja. Bullshit buatku mendengar kata-kata kesetiaan, cinta sejati, rela menderita demi cinta, atau sebangsanya. Itu hanya cerita fiksi di karya-karya sastra. Kenyataannya, ‘no money...love will fly’.
Prinsip itu masih terus tertanam di otakku hingga hari itu, pertama kalinya hatiku merasakan desir tak biasa saat tak sengaja bertemu dengan dia.
***
“Theo...” suara lembut Mama memanggilku saat aku baru saja hendak memasuki kamar setelah mandi sore itu. Mama memang tinggal bersamaku, karena akulah satu-satunya anak yang belum menikah. Dua adik perempuanku sudah menikah dan tinggal bersama mertuanya, masih satu kota dengan kami di Malang. Begitu juga adik lelakiku satu-satunya juga sudah menikah dan berdinas di luar kota bersama istrinya.
Aku mengurungkan niat masuk kamar dan menghampiri mama di ruang makan. Wanita tua itu masih nampak cantik dan anggun bagiku meskipun usianya sudah menginjak 60 tahun.
“Iya, Ma?” jawabku seraya mencomot bakwan jagung kesukaanku di meja makan. Mama selalu menyiapkan makanan terbaik dan terlezat untukku setiap hari. Hmm...jadi memang aku belum membutuhkan seorang istri, yang kata orang, akan menyiapkan hidangan terlezat di lidah suaminya. Nonsense...aku sudah punya Mama di sini.
“Aezar dipindahtugaskan ke sini,” Mama memulai pembicaraan, aku memasang posisi duduk untuk menyimak. Aezar Dinnata, dia adik lelakiku yang bekerja sebagai guru di sebuah madrasah di luar kota, Madiun tepatnya, masih di Jawa Timur juga.
Cukup menggelikan sebetulnya. Kami lahir dari rahim yang sama, tapi memiliki jalan hidup yang bertolak belakang. Aku dengan dunia glamourku, sementara Aezar dengan dunia religinya yang cenderung sederhana. Bukan hanya gaya hidup, dalam beberapa prinsip hidup, kami juga berseberangan. Tapi hal itu tidak mengurangi ikatan batin yang terjalin antara kami sebagai saudara kandung.
Sampai sekarang, aku juga belum pernah mengenal seperti apa adik iparku, yang kata Mama putri dari seorang pemuka agama di kota tempat Aezar bertugas. Yang aku tahu, Mama selalu menghindari menceritakan Aezar jika di depanku, padahal jika di depan kedua adik perempuanku, Mama sering membicarakan Aezar, yang juga mulai menapaki kesuksesannya. Mungkin Mama khawatir aku panas hati dengan kebahagiaan adik lelaki semata wayangku itu. Ah, Mama...aku pun bangga pada Aezar sebagaimana Mama
“Theo...!” suara Mama membuyarkan lamunanku. “Kamu dengar Mama, kan?” lanjut beliau dengan suara agak keras.
“Iya Mama, Theo dengar,” jawabku sambil tersenyum kecut, karena terlalu lama membuat Mama menunggu. “Aezar akan pindah ke Malang...begitu kan?” lanjutku.
Mama baru akan mengatakan sesuatu ketika dari arah depan terdengar suara mengucap salam. Dan sesaat kemudian nampak Aezar memasuki ruang makan sambil tersenyum lebar. Sejenak aku tertegun, adikku ini nampak semakin segar dan sumringah. Efek menikah kah? Halah...mengapa ke sana jalan pikiranku?
Aezar bersimpuh dan mencium tangan Mama dengan takzim, sesuatu yang selalu dilakukannya setiap pulang ke rumah.
“Mana istrimu?” tanya Mama setelah ritual bersalaman itu selesai dan belum melihat menantunya.
“Oh iya, maaf, Ma. Hanna mabuk kendaraan, ini tadi Aezar suruh istirahat dulu di rumah. InsyaAllah nanti ba’da maghrib ke sini setelah mabuknya reda,” jelas Aezar.
“Rumah dinasmu sudah selesai di renovasi?” tanya Mama lagi.
“Alhamdulillah sudah berkat doa Mama.”
Aku yang tidak mengerti arah pembicaraan Mama dan Aezar hanya diam menyimak. Dalam hati hanya penasaran, seperti apa istri adikku itu. Perjalanan Madiun-Malang saja mabuk kendaraan? Hadeeeh...
Tapi...setelah maghrib nanti aku ada jadwal melatih di dua tempat sekaligus sampai pukul sembilan malam. Dan tak mungkin kubatalkan karena sekarang sudah hampir pukul lima sore. Jadi mungkin harus kusimpan dulu rasa penasaranku untuk mengenalnya.
Aezar menghampiri dan memelukku erat.
“Apa kabar, Bang?” sapanya gembira. “Bang Theo tambah keren aja,” ledeknya sambil sedikit memiringkan kepala seolah mengamatiku. Aku meninju bahunya sambil tertawa.
“Sudah menikah, tetap saja kelakuanmu,” sahutku.
“Abang free kan malam ini? Istriku ingin kita makan malam bersama di sini. Aku juga sudah menelepon Alea dan Aina. Mereka akan datang nanti setelah maghrib bersama suami dan anaknya.”
"Aku jamin, setelah merasakan masakan Hanna, Abang pasti ingin segera menikah juga,” bisik Aezar lagi diikuti tawa berderai.
Aku mengumpat mendengar kata-katanya, tapi hanya dalam hati.
===========
Bersambung...