Violet Garden

Violet Garden

arinynurulhaq91

5

Aku takjub di meja makan tersaji banyak makanan. Ada spagethy, ayam panggang, gudeg sambal krecek sampai nasi goreng. Terakhir Mama masak pas masih ada Papa. Papaku meninggal tiga tahun lalu. Sejak saat itu Mama nggak pernah masak lagi. Sibuk mengurus bisnis-bisnisnya.


"Ini Mama yang masak?"


"Iya."


"Tumben, masak. Dalam rangka apa nih?"


"Ada yang mau Mama bicarain sama kamu. Tapi, duduk dulu. Biar enak ngobrolnya."


Mama itu pelit ngomong. Sekali ngomong, nyelekit dan nggak enak. Firasatku jadi nggak enak.


Aku nurut. Mulai duduk serta mencicipi masakan Mama. Hmmm … enak.


"Ci, Mama lagi butuh orang buat jadi manager perumahan di Kalsel. Gimana kalau kamu aja yang handel perumahan itu?"


Mama memanggilku dengan sebutan 'Cici' karena aku keturunan Chinese dari Papa.


"Uhuk." Aku tersedak ayam. Buru-buru ambil minum.


"Makanya makan tuh pelan-pelan."


Begitu agak enakan, aku menyahut. "Mama nggak salah kirim aku ke Kalsel? Terus kerjaan aku gimana?"


Mama menyendok gudeg dan memakannya. "Kerjaan apa? Wong, mendekam di kamar tok. Liat tuh anaknya Tante Nazneen Faiha, sekarang sukses jadi pengusaha kafe. Masa anak Mama malah pengangguran?"


Aku mencebik. Orang awam kalau liat aku pasti kesannya pengangguran. Padahal aku itu ghost writer penulis skenario di PH ternama. Hasilnya lumayan kok. Kalau skenario film yang aku garap mencapai 1 juta penonton, dapat bonus 10 juta. Kalau skenario sinetron striping mencapai rating tinggi lima besar dapat bonus 5 juta tiap episode. Yang kayak gini masa dikatain pengangguran?


"Aku nggak pengangguran, Ma. Aku ngerjain script writer di PH."


"Alah, hasilnya berapa coba? Beli mobil aja nggak cukup. Wes, toh jadi pengusaha aja enak. Terusin darah pengusaha keluarga kita."


Aku hanya terdiam. Jika Mama sudah bersabda demikian, nggak bisa diapa-apain lagi. Harus nurut. Seketika terbayang gimana aku hidup di luar Yogyakarta? Pasti ongkir mahal. Sedangkan aku hobi belanja marketplace. Makanya uang hasil kerja kelihatan nggak ada hasilnya di mata Mama.


"Iya, deh. Aku pikirin dulu ya. Kalau dah siap pindah, aku kabari."


"Jangan kelamaan mikirnya."


Nggak kerasa makanan di piringku sudah habis. Aku meneguk air minum. "Udah habis nih makananku, aku ke kamar dulu ya, mau beresin naskah."


Aku bergegas ke kamar. Daripada makin dengar Mama minta yang aneh-aneh. Beginilah nasib anak tunggal, harus jadi penerus keluarga.


***


Begitu balik ke kamar, aku langsung cek ponsel. Aku kaget, ada 12 panggilan dari Mbak Lintang. Dia adalah sosok berjasa untukku karena dia yang mengenalkan aku ke dunia perfilman sampai bantu aku masuk ke PH ternama di bawah asuhannya. Aku telepon balik Mbak Lintang.


Beruntung langsung diangkat.


"Halo, Vio. Kamu ke mana aja sih?" Nada bicara Mbak Lintang terdengar panik.


"Maaf, Mbak. Tadi aku lagi makan malam sama Mama. Ada apa ya nelepon?"


"Sinopsis buat series Ramadan yang kamu ajukan ditolak sama Pak Sutradara. Dia mintanya sinopsis yang lebih fresh, unik, belum dieksekusi di PH lain dan bertema perumahan. Kamu bisa nggak bikin sinopsis sesuai yang diminta Pak Sut?"


Jleb. Batinku bergetar. Kok bisa kebetulan banget, tadi Mama minta aku mengurus perumahannya di Kalimantan. Permintaan seorang ibu memang langsung tembus ke langit.


"Gimana ya, Mbak? Bisa sih, tapi saya perlu waktu buat riset di perumahan mama saya yang di Kalimantan dulu. Kira-kira deadline setor sinopsis kapan?"


Mbak Lintang hening. Sepertinya dia lagi berpikir. "Hmmm … dua minggu lagi bisa nggak?"


"Aku usahakan deh ya."


"Makasih banyak ya, Vio. Kamu memang anak didik saya yang bisa diandalkan."


Klik. Mbak Lintang mematikan sambungan telepon. Aku bergegas keluar kamar untuk menemui Mama.


Mama terlihat sibuk beresin makanan di meja makan.


"Ma, aku siap jadi manager perumahan ke Kalsel."


Mama melepas piring yang dia pegang. Lalu, menatapku heran. "Really, ada angin apa berubah pikiran secepat itu?"


Aku pun jujur tentang tujuan bersedia mengurus perumahan. "Aku minta satu hal sama Mama, jangan sampai orang-orang tau aku manager perumahan. Aku mau jadi warga biasa aja. Gimana?"


Mama bersedekap tangan. "Hmmm … bisa diatur. Nanti Mama kirim asisten buat bantuin kamu di sana. Dia yang akan pura-pura jadi manager perumahan."


Aku memeluk Mama. "Aaaaarrrrg … makasih ya, Ma."


Mama menowel jidatku. "Gitu dong, nurut sama Mama. Walau kamu ke sana juga punya tujuan terselubung."


Aku menyengir. "Heehehe … aku janji bakal urus perumahan dengan baik, asal Mama juga selalu support passionku sebagai penulis skenario."


"Oke, deal."


***