Vanilla Latte vs Espresso

Vanilla Latte vs Espresso

Helen Tanuwan

5

Kerja di bank itu keren. Secara finansial pasti kaya karena setiap hari mainannya uang. Sedangkan secara penampilan; pakaian selalu rapi, riasan on, dan tubuh harum bebas keringat. Pantas saja begitu karena seharian mereka duduk nyaman di dalam ruangan berpendingin. Begitulah kira-kira paradigma sebagian masyarakat bila ditanya pendapatnya tentang para pegawai bank.

Untuk poin pertama sebenarnya relatif. Hanya saja yang perlu diingat, uang para nasabah tentunya tidak bisa bebas dipakai jajan karena hanya titipan. Jadi, semua tergantung gaya hidup masing-masing personal juga. Sedangkan untuk poin kedua bisa jadi benar, karena yang biasa terlihat di garda terdepan memang sengaja diatur untuk menampilkan image demikian. Akan tetapi, apakah mereka tahu bahwa ada juga posisi yang hobi blusukan dan panas-panasan?

Namanya Account Officer*) SME, pekerjaan yang telah Eca geluti selama lima tahun belakangan.

Seperti siang ini, perpanjangan kredit urgent membuatnya harus meninjau proyek developer di bawah sorotan terik matahari. Sebagai imbas, tubuhnya seperti disengat panas bertegangan tinggi. Rambut yang di-blow sempurna itu langsung lepek instan seperti seminggu belum keramas. Sebagian riasan wajahnya sudah luntur oleh keringat. Belum lagi aroma parfum yang tadinya semerbak, otomatis berganti dengan bau gosong alami. Jakarta dan musim kemarau memang memiliki kombinasi yang sempurna. Rasanya, lebih mirip wisata di Gurun Sahara tanpa pelindung apa-apa.

Karena itu, Eca bergerak segesit mungkin agar tidak membuang waktu. Impiannya sederhana saja: ingin cepat sampai di mobil operasional untuk sekadar mendinginkan tubuh. Bidikan kameranya pun fokus saat mengambil gambar-gambar progres pembangunan. Namun seperti tidak mengerti situasi, getaran ponselnya malah terus mengganggu. Secepat tombol reject ditekan, secepat itu pula panggilan diulang-ulang.

“Mau ngapain lagi sih itu orang?” makinya dengan suara tertahan.

Setelah jepretan terakhir diambil, Eca pun melipir ke salah satu area proyek yang cukup sepi. Pilihan jatuh pada halaman sebuah rumah setengah jadi. Bagian atas sudah dipasangi kanopi, sehingga tubuhnya bisa terlindung dari terik matahari. Memang tidak ada pilihan selain mengangkat panggilan. Lagipula ia bukan berada di pihak yang salah, adalah haknya untuk memaki sepuas mungkin.

“Ngapain sih lo masih telepon gue?!” semprot Eca begitu sambungan telepon dimulai. Sebelah tangannya tersemat di pinggang kiri. Wajahnya lebih masam daripada sayur basi.

“Santai kali Ca, ngomongnya gak usah pake urat leher,” jawab pria di ujung sana dengan nada biasa saja.

“Daripada elo, bertindak gak pake otak. Please ya, penghasilan lo katanya lebih gede daripada gue, tapi masa sewa hotel melati aja gak sanggup?”

Seorang kuli bangunan yang tanpa sengaja melintas sontak menoleh kepo. Namun, Eca memilih untuk tidak peduli. Masa bodoh kalau saat ini ia terlihat seperti banteng betina yang sedang PMS.

“Udah lah, aku tau kamu cemburu dan gak terima. Tapi ya mau gimana lagi. Di mana-mana cowok itu bakal nyari seseorang yang bisa ngasih dia segalanya.”

Eca langsung membelalak marah. “Shut your trap, Rian Waluya! Kalo lo pikir gue bakal cemburu, sedih, atau patah hati, itu salah besar. Gue cuma jijik pernah kenal sama cowok modal nafsu macem lo. Selain itu, gue cuma menyayangkan kamar kosan gue yang jadi najis gara-gara kelakuan amoral lo!”

“Justru maksud aku telepon tuh mau minta kirim jaket aku yang ketinggalan di sana.”

For the God's sake, lo nelepon cuma karena jaket?! Gue pikir elo bakalan sadar sedikiiiit aja terus minta maaf!”

Klik. Tanpa sopan santun, sambungan malah dimatikan duluan oleh si penelepon.

“Si kambing! Berani-beraninyaaaa!”

Cuaca siang yang memang sudah panas terasa meningkat dua kali lipat. Tubuh Eca jadi luar biasa gerah akibat menahan marah. Seraya berjalan tergesa menuju mobil operasional, segala ingatannya pun berputar kembali seperti penggalan film.

Seminggu ke belakang, Eca ditugaskan kantor untuk training motivasi tahunan di Malang. Pria yang tadi menelepon—saat itu masih jadi pacarnya—sengaja meminjam kunci cadangan indekos dengan alasan nanti mau menumpang istirahat. Lalu tanpa curiga sedikit pun, kemarin Eca sengaja pulang tanpa mengabari. Siapa sangka kejutan luar biasa telah menanti. Kamarnya tersebut sedang digunakan untuk selingkuh sampai 'mantap-mantap' segala. Sungguh sebuah perbuatan menjijikan yang tidak bermoral sekaligus tidak bermodal.

“Ke mana lagi, Bu, sekarang?”

Segala lamunan itu kemudian terputus saat langkah Eca telah sampai di sisi mobil. Sopir operasional yang sedang nongkrong di kap depan rupanya sigap bertanya.

“Balik kantor aja, Pak.”

“Siap 86!”

***

Kubikel abu milik Eca seketika dipenuhi tiga orang lainnya. Indira berdiri di sisi kiri seraya bersedekap, Dita dengan kursi komputernya menjejal tepat di sebelah kanan, dan si bongsor Rafael terpaksa harus berjongkok agar kehadirannya tidak terlalu mencolok. Keempatnya sama-sama menjabat sebagai Account Officer (lebih mudah disebut bagian kredit) di sebuah bank swasta ternama. Rafael dan Dita junior beda angkatan, sementara Eca dan Indira senior satu angkatan. Lalu, dengan kekanak-kanakan mereka membentuk geng yang dinamakan RIDE.

“Emang monyet si Rian Rian itu beraninya selingkuh tapi gak modal!” geram Rafael sepelan mungkin. Namun, sedetik kemudian suara itu berubah menjadi erangan. Tulang keringnya ternyata didepak oleh ujung sepatu.

“Hush, jangan bilang monyet, nanti kalo monyet yang asli lewat bisa kesinggung.” Sang pelaku yaitu Indira melambai-lambaikan tangan dengan gerakan anggun.

“Sialan lo Mbak, ujung sepatu lo lancip bener kayak mulut ibu-ibu tukang ghibah.”

“Lagian Bang Rian itu bukan monyet kali, tapi buaya.” Dita—si bungsu yang baru saja lulus program ODP—ikut mengumpat, tapi tetap saja tidak kedengaran menakutkan.

Sontak saja Indira mencibir tidak setuju. “Elah lo Dit, masih panggil Abang segala, gak pantes. Rian bangsul, gitu. Bangsat betul.”

Tentu saja di kursinya Eca malah terbahak sembari menggeleng-gelengkan kepala. Kalau saja kursi komputernya tidak memiliki daya tahan yang baik, niscaya ia sudah terjengkang. “Sumpah ya kalian tuh, mulutnya udah lebih pedes daripada ibu-ibu komplek yang hobi menghakimi aib tetangga tau gak.”

“Bukan kalian, tapi kita. Lo juga masuk kali, Ca.” Indira menyambar lagi. “Eh tapi btw, heran gue si Rian masih selingkuh. Kurang apa coba lo, beb?” Dipandanginya Eca dari atas sampai bawah tidak ada yang terlewat. Dengan sebelah tangan yang meraup dagu, kepalanya kemudian manggut-manggut.

“Kurang mau diajak mesum kali lo, Mbak?” Rafael menimpali kemudian tertawa kencang.

Exactly! Kayaknya di otak dia itu pacaran ya harus ho-oh ho-oh. Ketika gak bisa dapet itu dari gue, langsung cari pelampiasan.”

“Salah analisa dong gue pernah bilang kalo dia mirip Papi kita tercinta? Cuma gara-gara rambut klimis tipis sama kaca mata doang padahal.” Dita menggeleng prihatin.

“Beda, lah! Papi kita tercinta udah bapak-bapak tua gitu, masih gantengan si Rian lah dikit—Anjrit, napa gue seolah ngebela si Rian kalo gini.” Seperti sadar kalau sudah salah berucap, Rafael menepuk jidatnya sendiri kencang-kencang.

Panjang umurnya, sang Kepala Pengembangan Bisnis Cabang (KPBC)—yang barusan sempat disambat—entah sejak kapan sudah berdiri di dekat kubikel Eca. Bahkan suara derap langkahnya saja tidak kedengaran. Si bapak seperti punya ilmu meringankan tubuh saja.

“Wah, ngobrolin apa nih seru banget?”

Mampus. Keempat kacung kampret otomatis menegang. Dari kubikel ujung dua orang karyawan wanita menoleh cepat. Dari arah pantry seorang karyawan pria senior melongokkan kepala. Dari tempat duduknya dua orang sekretaris pengembangan bisnis mengintip dari sudut mata. Semua radar pasti langsung diaktifkan dalam mode siaga.

“Oh ini loh, Pak, Dita lagi bahas target kita tahun ini, gimana strategi terbaik buat pencapaiannya.” Eca melemparkan senyum terpolos yang dimilikinya.

“Iya, malah saya bilang: kalo perlu diskusi sama Bapak dulu juga bisa. Bapak kan masukan-masukannya suka brilian.” Indira menambahkan dengan nada yakin.

Sementara si duo junior yaitu Dita dan Rafael, hanya ikut mengangguk-angguk seperti bobble head yang sering ada di dashboard mobil.

Hening selama beberapa detik. Sampai kemudian, sang KPBC manggut-manggut. Senyum gelinya tersungging di kedua sudut bibir. “Oh, gitu ya? Padahal tadi kayak ada kata-kata rambut klimis tipis, kaca mata, dan bapak-bapak tua.” Kedua tangannya pun lalu dilipat dan ditumpukan pada bagian atas kubikel. “Hmmm, ya sudah, saya sih percaya saja. Tapi saran aja nih, saran. Lain kali kalo mau gosipin pimpinan pelan-pelan aja suaranya, gak usah pake mode toa.”

Keempat anak buahnya langsung tersenyum kaku. Sementara orang-orang di sekitar mereka sibuk menahan tawa. Untunglah setelah itu suasana lantai lima berangsur ramai hingga perhatian teralihkan sejenak. Para AO dan RO yang baru pulang site visit menyapa sopan sang pimpinan, beberapa bahkan melemparkan sedikit basa-basi. Sementara tim audit internal yang habis rapat mingguan juga baru saja kembali ke kubikel mereka.

“Oh, ya, Decca.” Setelah suasana terkondisikan kembali, pandangan sang KPBC lantas beralih pada Eca sepenuhnya. Ia seperti baru teringat akan tujuan utamanya melipir ke kubikel AO. “Bulan ini kamu belum ada prospek yang goal ya?”

“Eh, iya, Pak. Kebetulan yang mengajukan pada kurang bagus semua. Saya lagi coba prospek terus.” Eca seketika berubah gugup.

“Oke, oke, dicoba terus ya. Tebar jala yang rajin, siapa tau berhasil menjaring ikan kakap. Yok, yok, sekarang bubar arisannya, kerja.”

Perintah tersebut segera dipatuhi. Dita kembali menekuni worksheet pengolahan kredit. Indira sibuk menelepon nasabah. Rafael membedah prospect list dengan sangat serius. Sementara Eca bersiap memindahkan foto hasil site visit tadi sambil sedikit melamun. Pikirannya langsung teringat pada target yang masih lumayan jauh padahal ini sudah memasuki akhir Agustus. Agaknya, ia harus lebih gencar lagi berusaha.

“Mbak Decca, ada tamu. Dari Bapak Rian Waluya.”

Barulah saat sekretaris PBC memanggil dari akses masuk lantai lima, kepala Eca menoleh cepat.

Astaga, si kampret malah dateng ke sini. Gila apa ya dia, pikirnya dengan raut yang berubah sebal. “Bilang aja: kantor ini gak nerima sumbangan gitu.”

“Gimana, Mbak?”

“Serius. Suruh pulang aja. Dia tuh anggota komunitas korban bencana boongan gitu loh, suka ngejar-ngejar minta sumbangan. Cuekin aja.”

Sekretaris PBC akhirnya mengangguk walau masih kebingungan. Sementara Indira, Rafael dan Dita kompak menahan tawa geli di kubikel mereka.

***

Glosarium:

*) Account Officer : Bagian yang memiliki peran dalam fungsi pemasaran, analisa kelayakan kredit, dan melakukan pemantauan terhadap kelancaran pembayaran dari peminjam/debitur (sering disebut bagian kredit/lending).