Vake Love

Vake Love

Kimchiroll

5

Kamu yang Duduk Menekuk Lutut

 

           

            “HEI! Monster Seragam!”

            Suara itu nyaring, melengking di tengah hiruk pikuk keramaian murid-murid SMA yang memasuki gerbang sembari melammbai pada teman masing-masing. Suara itu nyaring, agak serak, dan boleh dibilang sama sekali tak terdengar manis. Namun bagi Kim Nam Joon, suara itu yang paling membuatnya tenang.

            Juga jatuh hati.

            Cowok berbadan tegap itu berbalik dan pura-pura memberengut meski hatinya melompat saat melihat sosok yang berlari kecil ke arahnya. Hanya Eri yang berani memanggilnya seperti itu dan memang benar.

            Nam Joon benci seragam dan selalu berusaha menemukan cara agar dirinya tidak berpenampilan sama dengan siswa lain. Dia mulai menempel potongan-potongan kain atau bordir tertentu di jas sampai-sampai guru kedisiplinan pun menyerah. Meski sekolah Nam Joon memberi kebebasan dalam memodifikasi seragam, tidak ada yang tampil seekstrem Nam Joon. Seragam sekolah elit yang mahal itu, berubah menjadi baju panjang ala Gipsi ketika Nam Joon memberi lebih banyak aksesoris termasuk jumbai-jumbai pada tepian bawahnya. Nam Joon juga mengecat rambutnya dengan warna pirang keemasan yang selalu berkilau di bawah sinar matahari dan mengenakan gelang nyentrik di pergelangan tangan kiri. Tidak ada yang tak memelotot kalau melihat pemuda itu pertama kali.

            “Sudah kubilang, jangan panggil aku begitu.” Nam Joon menyibak poni agar bisa melihat Eri lebih jelas. Dan dia harus berhati-hati menahan debaran melihat wajah oval dengan alis tipis juga anak-anak rambut yang jatuh di kening Eri.

            Cewek di hadapan Nam Joon nyengir. “Tapi itu kan memang benar. Coba kita lihat ... apa yang kamu tempel lagi di jas sekolah. Apa ini?”

            Nam Joon tertawa dan memandang Yoo Hye-ri dengan perasaan meletup. Sementara, dia juga bisa merasakan tatapan dari murid-murid lain yang memilih minggir ketika melihatnya. Nam Joon sudah biasa dengan pandangan itu—tatapan penasaran, takut, sekaligus meremehkan. Dikenal sebagai preman sekolah yang tak suka bersosialisasi, membuat Nam Joon tak memiliki banyak teman. Maka, banyak yang terkejut saat belakangan ini dia berjalan bersama Hye-ri—gadis itu lebih suka dipanggil Eri—di sekolah.

            Nam Joon menghela napas panjang dan itu membuat Eri mengernyit. Gadis yang tergolong berbadan kecil dengan tinggi tak sampai 160 sentimeter itu, menengadah lalu memandang Nam Joon. Membuat jiwa cowok itu bergetar seolah netra bening itu menembus jiwanya. Membuatnya hangat.

            “Ini ... logo apa?”

            Nam Joon melihat patch yang ditunjuk Eri dan terkekeh. “V memberikannya padaku dua hari yang lalu dan kujahit semalam. Aku juga nggak tahu ini lambang apa tapi kelihatan keren. Jadi, kupasang saja.”

            “E.S.F—”

            “Itu logo kehormatan federasi bumi.”

            Eri dan Nam Joon menoleh, mendapati sahabat mereka yang berjalan bak model dan membuat segerombolan cewek saling pandang kemudian melihat ke arah Kim Tae Hyung lalu berteriak histeris dengan suara yang mengganggu. Tae Hyung menoleh sekilas pada guru yang melintas, memberi salam pada senior, sebelum menghampiri kedua temannya.

            Cowok itu berpenampilan lebih normal dengan rambut hitam, jas tanpa modifikasi, dan sepatu kets putih yang jelas mahal. Meski begitu, Tae Hyung menarik dengan caranya sendiri, seolah baru keluar dari salon dan melangkah di panggung pagelaran busana.

            “Pagi, Eri,” sapa Tae Hyung ramah dengan senyum yang membuat sorot matanya melembut.

            Eri mengangguk dan tertawa kecil. “Pagi, V. Jadi ... federasi bumi?”

            “Gundam. Nggak pernah nonton, ya?”

            Nam Joon membuat ekspresi ‘Oh, tentu saja nggak pernah’ dengan memutar mata sementara Eri justru tampak tertarik.

            “Anime?”

            “Salah satu mecha anime yang terbaik. Kapan-kapan kita harus nonton bareng.”

            “Oke. Yang benar saja.” Nam Joon membalikkan tubuh dan memanggul raselnya di bahu lalu melangkah ke pintu masuk sementara Eri dan Tae Hyung—atau V—menyusul di belakang.

            Ketika berjalan di koridor, murid-murid lain segera menyingkir seolah Nam Joon adalah orang penting. Bahkan, ada yang langsung masuk ke kelas, bersembunyi sementara beberapa orang lain pura-pura sibuk dengan apa pun yang mereka lakukan di depan loker dan ponsel. Terkadang, Nam Joon tidak suka dengan pandangan mereka. Namun, terkadang, perlakukan itu juga membantu karena dia tidak terlalu suka dekat-dekat orang lain apalagi sampai diganggu seperti Tae Hyung.

            Sudah berapa kali cowok itu bercerita soal cewek-cewek yang menunggu di gerbang bahkan sampai menelepon malam-malam. Malah, ada satu cewek yang menunggu di depan rumahnya saat hari bersalju minggu lalu hanya untuk melihatnya memandang keluar jendela. Bahkan bagi Nam Joon yang pandai berkelahi, kelakukan gadis seperti itu terasa menakutkan. Membuatnya merinding.

            “Kamu marah?”

            Nam Joon menoleh dan mendapati Eri yang berjalan mengiringinya. “Nggak. Marah kenapa?”

            “Jangan cemberut seperti itu. Kamu jadi dua kali lipat lebih menakutkan,” ujar Eri lalu menyelipkan sebatang permen ke genggaman Nam Joon. “Rasa karamel. Enak banget. Dimakan, ya! Dah!”

            Nam Joon mengawasi saat Eri berlari ke kelasnya sementara dia dan Tae Hyung naik ke lantai dua. Nam Joon melirik sekilas saat cowok dengan rambut medium itu tersenyum pada beberapa siswi yang melintas di tangga. Muka cewek-cewek itu mendadak bersemu seolah baru disapa artis terkenal.

            “Kamu suka mereka?”

            “Hah?” Tae Hyung melambai sekilas kemudian menoleh pada Nam Joon. Alisnya berkerut dan Nam Joon menarik napas panjang.

            “Kamu menyapa mereka begitu, memangnya kamu kenal mereka?”

            “Cuma senior yang kebetulan pernah ketemu di kafe. Mereka menyapa dan aku membalas. Apa salah?”

            Entah kenapa, Nam Joon merasa kesal. Menurutnya, Tae Hyung tidak mungkin tak tahu kalau cewek-cewek itu bersolek dan sengaja menunggunya di ujung tangga kemudian pura-pura pergi ke lantai bawah hanya untuk melintas di depan temannya—yang kebetulan sangat populer di sekolah.

            “Sudahlah. Bicara denganmu kadang memang memusingkan.”

            “Apa maksudnya itu? Ya! Kim Nam Joon!”

 

Nam Joon bukan murid bodoh. Sebaliknya, Nam Joon memiliki kecerdasan mumpuni yang membuatnya pernah menjajaki peringkat satu di seluruh sekolah. Namun, sejak naik ke kelas dua, prestasinya merosot begitu saja. Bahkan guru-guru pun menyayangkan meski dalam diam. Mereka tampak menyerah memanggil anak itu ke ruang konsultasi dan lembar data diri juga rencana masa depan Nam Joon, teronggok begitu saja di laci.

            Nam Joon masuk ke kelas dan mendadak, ruangan itu seperti dimasuki penyihir mengerikan. Hening dan tidak ada yang berani melihat ketika cowok itu duduk di bangku dekat jendela, di barisan paling belakang. Dua detik kemudian, riuh rendah itu berdengung kembali. Seolah tidak ada yang terjadi.

            Nam Joon merasakan hangat cahaya matahari yang menembus jendela dan selalu menyukainya. Terlebih, dia bisa melihat langit cerah musim dingin yang selalu terasa istimewa. Terkadang, dia juga bisa melihat pesawat melintas, meninggalkan jejak tipis di udara sebelum mengecil lalu menghilang. Pemandangan sederhana itu terkadang membuat Nam Joon berpikir kalau semua hal di dunia cepat berlalu. Termasuk ketertarikan pada orang lain atau simpati pada kemalangan. Orang-orang bisa mudah jatuh cinta, kemudian mudah melupakan. Mudah senang, mudah berduka. Mudah berubah, seperti juga dirinya.

            “Kim Nam Joon. Anu ....”

            Nam Joon berpaling dan mendapati cowok berkacamata dengan kemeja kebesaran dan muka culun berminyak, di dekat mejanya. Itu si ketua kelas yang suka tergagap saat bicara dan termasuk siswa paling pintar di sekolah. Peringkatnya yang paling dekat dengan ranking Nam Joon. Ketua kelas ini juga yang diperbudak beberapa penindas untuk mendapat nilai bagus tiap semester dan Nam Joon tidak menyukai kepatuhan pemuda tersebut.

            “Wae[1]?”

            “Tu ... tugas kel ... kelompok. Na ... namamu—”

            “Aku kerjakan sendiri,” potong Nam Joon segera, mengambil kertas yang disatukan dengan penjepit berwarna biru dari tangan si ketua kelas. Nam Joon bisa melihat beberapa luka di sana. Bekas terbakar karena bara rokok. Bulatan kecil itu tersebar di telapak tangan si ketua kelas dan Nam Joon yakin, itu pasti perbuatan si senior yang suka merokok di bagian belakang gedung sekolah mereka.

            “Ta ... tapi ....”

            “Dan,” ujar Nam Joon dengan suara rendah sambil menunjuk lengan si ketua kelas, “kalau kamu diam terus seperti itu, lama-lama mereka akan melakukan hal yang lebih buruk. Kamu mau terus hidup sebagai pengecut?”

            Si ketua kelas melongo dan setetes keringat jatuh di lengan kemejanya. Pemuda berkacamata itu tidak berkata apa-apa, mengangguk sekilas sebelum kembali ke bangkunya saat guru matematika masuk ke ruangan.

            Nam Joon menyimpan kertas-kertas itu di laci meja dan memandang ke papan tulis tanpa minat sementara lelaki paruh baya dengan kemeja kaku berwarna biru gelap di depan kelas mulai menyebut nama siswa satu per satu.

***

Nam Joon mungkin dikenal sebagai salah satu preman sekolah meski rumor itu beredar dari mulut tak bertanggung jawab. Semua dimulai ketika Nam Joon datang ke sekolah dengan memar di sekitar mata dan pipi, juga tangan yang diberi gips. Di hari itu juga, Lee Hyun-jae yang dikenal sebagai bedebah nomor satu sekaligus pemimpin kelompok anak-anak nakal, dirawat di rumah sakit karena sekujur tubuhnya babak belur. Tak lama, beredar foto yang memperlihatkan Nam Joon sedang menghajar Hyun-jae di sebuah gang sempit. Potret itu beredar luas meski tak sampai ke tangan guru.

            Banyak yang berspekulasi kalau para siswa mendukung Nam Joon karena Hyun-jae dikenal brutal dan membuat sebagian besar murid—terutama siswa lelaki—sengsara di sekolah. Mereka diam-diam bersyukur karena Hyun-jae mendapat pelajaran dan meyakinkan kalau cowok itu tak mendapat hukuman dari sekolah. Kejadian itu berlalu tapi tidak dengan ketenaran Nam Joon—si pembasmi Hyun-jae. Lalu, pelan-pelan orang-orang enggan berurusan dengannya karena tak mau berakhir seperti si preman sekolah.

            Nam Joon tidak suka mendapat banyak perhatian tetapi dia juga tidak senang karena disangka sebagai pemuda yang suka menghajar orang lain. Tidak ada yang mau satu grup dengannya saat tur studi. Tidak ada yang mau duduk di sebelahnya ketika berada di kantin. Tak ada yang mau menjadi pasangannya di jam pelajaran olahraga. Tidak ada yang mau berada di dekatnya.

            Nam Joon merasa diperlakukan seperti penyakit berbahaya dan di saat itu, Eri muncul. Anak baru yang punya wajah kecil, mata tanpa lipatan, hidung mungil, dan bibir yang selalu tersenyum. Gadis pendek itu menabrak Nam Joon di hari pertama sekolah dan sama sekali tidak merasa terintimidasi saat Nam Joon menjulang di depannya dengan pandangan dingin.

            Mereka menjadi lebih dekat saat Eri memergoki Nam Joon yang bekerja di sebuah restoran cepat saji dan mengatakan betapa kerennya cowok itu dengan seragam dan topi berwarna kuning-merah. Eri juga tidak segan meledek habis-habisan ketika Nam Joon tersipu saat dipuji.

            Lalu, entah sejak kapan ... Nam Joon jatuh hati. Benar-benar terpikat.

            “Hei!”

            Nam Joon tersentak dan hampir menarik lengan Eri yang muncul di belakang. Gadis itu memakai pakaian olahraga musim dingin yang sangat serasi dengannya—celana panjang gombrong warna merah gelap dengan jaket berwarna senada. Wajah Eri yang berkeringat, membuat Nam Joon kehilangan oksigen sejenak.

            “Jangan mengagetkan begitu, dong!” Nam Joon mengomel saat Eri duduk di sebelahnya. Cewek itu meluruskan kedua kaki dan menopang tubuh dengan memanjangkan tangan di belakang punggung. Mukanya menengadah ke langit, membiarkan angin memainkan anak-anak rambut yang jatuh di kening dengan lembut.

            Nam Joon harus mati-matian menjaga debar jantungnya yang berdentam-dentam seperti drum. Mati-matian menjaga agar tak terdengar oleh Eri yang begitu memesona di dekatnya.

            “Udara di sini enak.”

            “Memang,” sahut Nam Joon, memalingkan wajah agar Eri tak menyadari semu kemerahan di sepanjang pipi dan telinganya.

            “Sebab itukah kamu suka duduk di sini berlama-lama meski jam pelajaran olahraga sudah selesai?”

            “Mungkin. Kamu sendiri? Nggak langsung pulang?”

            “Aku bosan di rumah.”

            Entah hanya perasaan Nam Joon atau memang nada Eri berubah muram. Pemuda itu menoleh ke arah temannya dan mendapati senyum getir Eri terulas. Beberapa detik.

            “Mana V?”

            “Mungkin sedang menerima pernyataan cinta,” dengkus Nam Joon, tak bisa menahan rasa jengkel. Tadi dia melihat seorang siswi kelas tiga—yang suka memakai lipstik berwarna terang dan perhiasan perak—mengajak Tae Hyung ke belakang sekolah. Itu tempat klise untuk membuat pernyataan cinta.

            “Dia populer banget, ya?” Eri terkekeh dan mengubah posisinya. Gadis itu menekuk lutut kemudian memangku wajah dengan kedua tangan, melihat beberapa cowok yang sedang berlari di sepanjang lapangan. Sementara, pelatih bersetelan joging hitam berdiri di pinggir dengan papan dan meniup peluit beberapa kali.

            “Playboy yang populer.”

            Hening sesaat sebelum suara Eri berujar lembut.

            “Hanya karena cewek-cewek mengejarnya, bukan berarti dia suka mempermainkan orang, kan?”

            Nam Joon seolah ditampar dan untuk sesaat, merasa malu karena menganggap Tae Hyung seperti itu. Benar yang dikatakan Eri. Cewek-cewek itu yang selalu mengejar Tae Hyung, bukan sebaliknya. Dan mungkin, cowok itu hanya berusaha bersikap ramah dan tidak ingin menyakiti hati mereka. Penyuka japchae[2] itu selalu ramah, bahkan pada para pria. Royal dan lembut.

            “Ngomong-ngomong, kenapa kamu dan anak-anak lain memanggilnya begitu? V?”

            “Oh ... itu. Dia suka hal-hal yang dimulai dengan huruf V. Vogue. V for Vendetta—kamu tahu film ini, kan? Vlog—dia memang narsis. Valentino. Seperti itu.”

            “Valentino? Ah, dia memang model, ya?”

            Nam Joon tak menyahut dan meraih botol air lalu membuka penutupnya. V memang model meski saat ini baru menjadi model shopping mall terkenal di Internet. Biar begitu, popularitasnya semakin naik saja. Mau tak mau, Nam Joon harus mengakui kalau Tae Hyung memang keren. Cowok itu tahu apa yang diinginkan di masa depan dan sudah mengambil langkah awal sejak sekarang. Sementara dirinya ....

            “Kenapa jadi bengong? Kedinginan?”

            Nam Joon tersenyum dan menggeleng. “Ayo, kita jadi makan tteokbokki[3], kan? Kamu sudah janji mau traktir.”

            “Kamu ini,” desah Eri sembari berdiri. “Kalau soal itu, ingatanmu bagus, ya. Tunggu di sini. Aku mau ke toilet dulu.”

            Nam Joon mengawasi Eri yang menjauh dari lapangan dan melihat gadis itu melambai ke arah Tae Hyung yang datang dari arah belakang gedung. Pemuda itu bicara dengan Eri sebelum berjalan menghampiri tempat Nam Joon duduk.

            “Jadi makan tteok?”

            “Kamu nggak ada jadwal kerja?”

            “Kamu bagaimana?”

            “Libur.”

            “Sama.”

            Kemudian Nam Joon dan Tae Hyung terdiam. Muka keduanya baru berubah cerah ketika Eri menghampiri mereka.

***

“Beri aku keju!”

            Eri terkekeh ketika melihat Nam Joon mengipas-ngipas mulut dengan muka kemerahan sementara Tae Hyung masih menyantap kue beras dengan santai. Pemuda itu meneguk air dan menepuk-nepuk punggung Nam Joon yang kini terbatuk-batuk.

            “Kenapa kamu nggak bilang kalau tak kuat pedas?”

            “Aku ... uh, cuma pengin tahu rasanya.” Nam Joon menyeka keringat yang turun di keningnya dan menenggak air es banyak-banyak. Wajah Eri terlihat tidak enak dan Nam Joon gegas mengulas senyum. “Tenang saja. Aku nggak apa-apa. Nah, ini dia kejunya.”

            “Aku akan belikan sesuatu yang manis. Sebentar, ya!”

            Nam Joon tak sempat mencegah karena Eri sudah menyambar dompet dan berlari keluar dari kedai. Di luar, tampak gadis itu pergi ke salah satu toserba dan menghilang di dalamnya.

            Nam Joon menarik napas panjang dan meneguk air sekali lagi. Tadinya, dia hanya ingin menyenangkan Eri yang mengajak mereka makan camilan sepulang sekolah. Mereka berjalan di sekitar Myeongdong. Nam Joon sempat ingin menolak saat Eri memesan kue beras dengan level pedas berbeda.

            Nam Joon mengambil setusuk kue ikan yang masih mengepulkan uap kecil dan menyantapnya. Lumayan, bisa meredakan rasa terbakar di mulutnya. Dia mengunyah sambil melihat sekeliling dan mendapati kalau kedai ini ramai pengunjung. Nyaris seluruh kursi terisi dan suara obrolan yang bagaikan suara serangga di musim panas, memenuhi udara. Aroma kue ikan, kue beras, gochujang, bercampur dengan hangatnya hawa dari pemanas ruangan.

            Sementara di luar, salju membuat jalan-jalan beraspal seolah ditutup permadani putih yang menawan. Turis lokal dan mancanegara, lalu lalang dengan jaket parka dan syal di leher. Wajah-wajah mereka bersemu merah dengan uap-uap tipis keluar dari mulut. Nam Joon bersyukur karena sore itu tidak turun salju dan orang-orang tampak nyaman berjalan kaki untuk mencicipi jajanan kaki lima khas Korea.

            “Eri cantik, ya?”

            “Ya.”

            Nam Joon terkejut dengan jawaban cepatnya lalu menoleh dan mendapati Tae Hyung bersandar di bangku, tersenyum padanya penuh arti. Cowok itu sudah berhenti makan tteok pedas dan menumpuk mangkuk kosong di dekat lengan kirinya. Di hadapannya, masih ada sewadah kue beras yang berlumur keju, belum disentuh.

            “Maksudku—”

            “Menurutku dia juga cantik.” Tae Hyung berujar tegas, menatap lurus, kali ini tanpa lengkungan di bibirnya. “Kamu tahu maksudku, kan?”

            Nam Joon menggeser mangkuk berisi kue beras dalam saus merah itu dan meraih sehelai tisu. Perlahan, dia mengusap bibir, berusaha untuk tidak gugup. Dan berusaha menyingkirkan bayangan kalau sahabatnya akan merebut orang yang dikasihinya dalam diam selama ini.

            “Jangan pucat begitu.” Tae Hyung tertawa kecil. “Dia gadis yang manis dan baik. Wajar saja kalau kamu jatuh cinta padanya. Hanya ... kenapa kamu nggak bilang sama dia?”

            Nam Joon meremas tisu bekas itu dan meletakkannya di atas meja. Dia mendesah dan memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya memandang Tae Hyung seolah cowok itu bodoh.

            “Apa kata orang kalau tahu orang sepertiku menyukai gadis baik-baik seperti dia?”

            Kening Tae Hyung berkerut. “Apa maksudnya itu?”

            “Kamu tahu, V.”

            “Gosip kalau kamu preman hanya gara-gara Hyun-jae sunbae? Kukira kamu nggak peduli?”

            “Aku nggak peduli kalau aku yang jadi sasaran. Tapi, aku akan merasa bersalah kalau Eri ikut terlibat. Selama ini, dia juga sudah cukup diterpa gosip tidak enak padahal kami baru berteman beberapa bulan. Kalau kami jadian—itu juga kalau dia suka padaku—semua bakal berantakan.”

            Tae Hyung memutar-mutar sendok perak di dalam mangkuk, mengangkatnya ke atas sehingga keju lengket itu memanjang seperti tali elastis sebelum mengaduknya lagi.

            “Baiklah.,” ujar Tae Hyung pelan, berhenti memorakporandakan tteok yang malang. “Tapi aku penasaran ....”

            Nam Joon berpaling dan melihat ke jendela. Eri baru keluar dari toserba dengan seorang cewek berseragam sama. Gadis itu berambut panjang dengan bando, cantik dengan mantel panjang berwarna merah muda yang tampak mahal. Dia berbincang sebentar dengan Eri yang terlihat sudah mengenalnya.

            “Apa?” Nam Joon menoleh pada Tae Hyung yang kini memandangnya serius.

            “Aku penasaran, apakah kamu bisa terima kalau ada orang lain yang bergerak lebih cepat darimu dan mendapatkan Eri?”

            Nam Joon tersentak, matanya menyelidik Tae Hyung yang kini menegakkan punggung dan menaruh kedua siku di meja. Senyumnya tak seperti tadi.

            “V, kamu ....”

            “Ya,” kata Tae Hyung dengan suara rendah. “Aku juga menyukainya.”

-----

            “Kamu ngeliatin apa, sih?”

            Nam Joon tersentak, seolah diseret dari masa SMA ke kenyataan sekarang—rumah makan yang penuh sesak dengan teman-teman masa sekolahnya dulu. Termasuk Tae Hyung—yang ternyata semakin populer—di ambang pintu dengan mantel musim dingin panjang berwarna cokelat gelap dan syal berwarna putih. Cowok itu baru tiba dan sudah menyedot perhatian banyak orang—terutama kawan-kawan perempuan yang rupanya masih juga terpesona dengan sosoknya.

            “Banyak juga yang datang, ya?” Nam Joon memalingkan wajah dan meneguk air di gelas lalu meletakkannya agak kasar di atas meja sampai-sampai mengagetkan cewek berkepang dua yang duduk di seberangnya.

            “V masih saja populer, ya? Kudengar dia satu agensi dengan Jennie. Kamu tahu Jennie, kan? Kalau nggak salah, teman sekelas Yoo Hye-ri dulu.” Kim Dae-jung mengambil kaleng ginger ale dan menuang isinya ke gelas besar. Cowok dengan muka berminyak itu meraih piring kosong dan mulai mengisinya dengan irisan daging yang sudah matang.

            Nam Joon tiba-tiba teringat dengan cewek berbando yang mengobrol dengan Eri. Rupanya itu Jennie. Dia mengamati cewek itu—yang sedang mengobrol tak jauh darinya dengan seorang cowok jangkung berambut pirang. Tanpa disangka, Jennie memergokinya. Namun, Jennie memandang dengan tatapan tajam seolah ... membencinya. Gadis itu tadi menyapa ramah semua teman lamanya tapi tidak pada Nam Joon. Gadis dengan bibir dipulas lipstik warna merah muda itu bahkan melengos ketika sadar kalau Nam Joon tengah memperhatikannya. Kini, cowok itu mulai berpikir kalau dia pernah berbuat salah pada Jennie. Tapi apa?

***

            “Ya! Jennie-ssi! Tunggu! Aku perlu bicara denganmu!”

            Gadis itu mulanya tak merespons dan Nam Joon yakin kalau pendengaran Jennie masih baik. Perempuan dengan rok selutut dan stoking hitam itu berjalan cepat di sepanjang trotoar dengan topi baret bertengger manis di kepala. Sama sekali tidak mengindahkan panggilan Nam Joon yang kini semakin tinggi nadanya.

            “YA!”

            Akhirnya Jennie berhenti di dekat halte yang sepi dan berbalik. Wajah itu masih keras, masih tak ramah. Masih tak bersahabat.

            “Kamu Jennie, kan? Teman sekelas Yoo Hye-ri.” Nam Joon terengah dan berdiri tak jauh dari Jennie, berusaha tak mendekat sebab cewek itu masih mengeluarkan aura permusuhan.

            “Lalu?” tegas Jennie tanpa basa-basi.

            “Jadi ... mungkin kamu tahu ke mana Eri menghilang selama ini dan kenapa dia nggak datang hari ini. Aku berusaha menghubunginya dan—”

            “Kamu dan V,” ketus Jennie, memotong dengan suara serak. “Sebaiknya kalian nggak usah berhubungan lagi dengannya. Gara-gara kalian ... gara-gara kamu dan teman berengsekmu itu. Dia—” Suara Jennie tersekat dan mukanya memerah, tampak menahan diri untuk tak terisak dan itu membuat Nam Joon terbengong.

            Seketika, Nam Joon sadar kalau ada hal besar yang terjadi selama dia menjalani masa pelatihan di agensi.

            “Jennie-ssi, jebal[4]. Apa yang sudah terjadi selama aku nggak ada?”

            Jennie mengusap air mata yang turun di pipi dan memandang Nam Joon dengan sorot marah. Dia mendekati cowok tegap itu, mendongak tanpa rasa sungkan. Nam Joon bisa melihat cewek itu mengepalkan kedua tangan, erat di sisi tubuhnya.

            “Kamu mau tahu apa yang terjadi dengan Eri setelah kalian meninggalkannya begitu saja sendirian di sekolah?”

            “Tolong, Jennie-ssi. Aku benar-benar—”

            “Tanyalah pada kawan lamamu itu.”

            “Siapa yang kamu mak—”

            “Lee Hyun-jae.”

            Dan sekejap, Nam Joon tahu kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

 



[1] Apa?

[2] Makanan dengan cita rasa manis dan gurih yang terbuat dari bihun bercampur sayuran—Wikipedia.

[3] Makanan yang terbuat dari kue beras dan diolah bersama bumbu sambal khas Korea atau disebut juga dnegan gochujang bercita rasa pedas manis.

[4] Tolong