Aku menemukan seseorang secara tidak sengaja. Pria asal Peru yang memiliki wajah labil, kadang manis seperti anjing weimaraner tapi kadang hangat seperti serigala dan kadang kharismatik seperti singa.
Namanya cukup panjang, dia bilang orang Amerika Latin memiliki dua nama warisan dari keluarga ayah dan ibunya sekaligus untuk disematkan. Tapi dia melarangku keras menulis nama lengkap itu di sini. Jadi aku akan memperkenalkannya sebagai Diego Fernando. Benar-benar nama yang pasaran!
Sebenarnya, aku ingin sekali menempelkan satu dua foto miliknya, bila perlu kutulis juga nama akun Instagram, Facebook, dan nomor kontaknya. Ya, dia pasti akan memarahiku habis-habisan.
Meski Diego lahir, tumbuh dan tinggal di negara besar, anehnya dia termasuk orang yang tidak punya banyak teman, mungkin juga dia seorang introvert sepertiku.
Kalian tentu bisa membayangkan sesuai imajinasi masing-masing. Biar kuperjelas, pria itu ... Ah, semoga dia tidak menganggap ini sebuah pujian. Aku benci jika dia merasa terlalu percaya diri.
Satu, rambutnya nyaris plontos, hidungnya mancung, kulitnya putih meski dia bersikukuh warna kecoklatan. Bibirnya merona, matanya sayu, bulu alisnya tebal dan di wajahnya ada beberapa garis kecil bekas luka. Saat kutanya, dia jawab sepeti ini, "The hood is tough, Baby. I was raised in Surquillo, in Peru is called a little Chicago."
Apa yang kalian tau Surquillo?
"A tough neighborhood," jelasnya.
"But why you alive, eh?" Kutanya, dia tertawa. "You gotta do what is gotta be done!"
Oke, masuk akal.
Oya, dia punya bulu wajah yang menggoda. Sialnya, dia sering mencukur tanpa sepengetahuanku. Aku tidak suka ketika laki-laki melakukan hal yang dibenci perempuan. Dan sial yang kedua, aku tidak bisa mengelak, dengan atau tanpa bulu wajahnya, Diego-ku tetap sempurna. Perfecto.
Jangan tersenyum, Bey, aku tidak sudi memujimu!
Dua, aku lebih sering memanggilnya dengan sebutan "Bey". Lebih lengkapnya "Obey" dan aku bahkan menyimpan kontaknya dengan nama yang sama.
Kupanggil dia "Bey" hanya karena dia yang sering berkata, "Obey me!" atau "Please, obey me!" atau lagi "OBEY ME! AM YOUR MASTER!" itu menyebalkan. Aku kesal setiap mendengar perintah itu, tapi aku selalu saja menurutinya. Siapa yang bodoh? Kenapa aku mau menjadi budak pria Peru itu? Ya, karena aku suka menjadi budak. Hey, what? Apa yang kukatakan barusan?
Aku benci harus mengaku jika aku menyukainya. Jadi mana yang benar? Suka atau benci? Argh, memang sulit memisahkan keduanya, perbedaan antara cinta dan benci sangat tipis. Sangat-sangat tipis, lebih tipis dari selaput dara. Tolong, jangan biarkan aku menulis satu kalimat lain untuk memujinya. Aku benci dia.
"I love you too." Ini adalah kalimat yang selalu dia katakan setiap kubilang aku membencinya. Dasar buaya! Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta jika perlakuannya seberengsek itu?
Tiga, persatuan Indonesia. Eh?
Tiga, tidak ada tiga. Well, karena aku sudah menulis lebih dari tiga hal tentang dia. Jika kalian ingin tahu lebih banyak, kalian akan tahu sendiri dari catatan omong kosongku ini.
Bersabarlah jika menemukan ketidaklogisan. Berilah aku ruang maaf jika menemukan kata dan kalimat kurang ajar yang membuat mata kalian perih. Aku hanya sedang terang-terangan menulis jurnal. Semua yang kutulis di sini pun sudah mendapat persetujuan dari pemilik tokoh dengan nama yang bisa saja disamarkan. Who know? Aku belum pernah melihat kartu identitasnya kan!
Untuk Si Berengsek kesayanganku, Diego Fernando, terima kasih karena selalu sabar menghadapi bahasa Inggris-ku yang luar biasa berantakan. Terima kasih untuk waktu luang yang dibuang dengan kasih sayang, yang bisa saja tidak akan pernah kulupakan sampai kita benar-benar melupa karena menderita alzheimer dan meninggalkan kenang.
Aku benci kamu.
***
West Java, 17 Oct 2021/02.03