Urana: Dan Pembalasan Dendam Terakhir

Urana: Dan Pembalasan Dendam Terakhir

Istrinya H

0

"Jangan lupa beliin aku komik terbaru." Suara berat khas cowok remaja di seberang telepon menghentikan langkahnya di rak mi instan.

"What? Pake duit aku?" Wanita berambut panjang diikat ekor kuda itu melotot garang. "Gelo ente! Pake duit kamu lah! Aku cuma traktir makanan aja!"

"Please, Kak Anaru...." Suaranya melembut penuh godaan. Ah, ini yang Anaru benci dari adiknya. "Itu komik udah aku tunggu-tunggu."

"...." Selesai pilih varian mi dengan muka cemberut, Anaru yang lekas ke kasir mulai menjawab----itupun didesak sang adik untuk minta jawaban.

"Iya, aku beliin."

Pulang dari mal, Anaru masih tersenyum manis menaruh belanjaan di meja makan. Sejenak ia duduk melepas penat dengan kirim pesan untuk sang adik.

"Mampir ke rumah kalau mau dapatin komiknya," katanya dengan emotikon menjulurkan lidah. Anaru tertawa kala membaca pesannya sendiri, senang betul iseng cowok berusia enam tahun lebih muda darinya.

Ah, ada balasan.

"Iya." Dengan emotikon mengerling malas. "Sekalian bantu nulis nama orang buat undangan pernikahan Kakak."

Senyum Anaru memudar perlahan. Benar juga, ia belum sebar undangan----bahkan belum diskusi dengan calon suami perkara siapa saja yang diundang. Sembari cari kontak dia, Anaru mengingat sesuatu.

Kapan terakhir kali ia berkomunikasi dengannya? Bulan lalu? Minggu lalu? Payahnya Anaru, lekas tepuk jidat. Akibat kerja jadi prioritas, ia jadi lupa akan masa depannya sendiri: pernikahan.

Yah, untuk dua alasan. Sepasang sendal jepit krem model khas perempuan itu menapak anggun menuju toko buku. Tentu alasan pertama ialah adiknya yang ngebet minta belikan komik shounen favorit. Kedua, ia punya wishlist bacaan yang buat bosan akibat mengantri terus di aplikasi.

Mending beli sekarang ketimbang nunggu berbulan-bulan, pikirnya. Mata hitamnya bergerak kanan-kiri, barangkali ada novel yang menarik perhatian.

Dan pada akhirnya, Anaru beli novel lain, bukan yang masuk daftar bacaan. Ia baru ingat telah pesan buku fiksi dari pengarangnya langsung. Senyum manis merekah di bibir berlumuran liptint merah jambu, ketika menatap isi paperbag.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Anaru. Ia bergegas ke sumber suara, tak luput menghubungi kekasihnya. Lelaki jangkung berambut gondrong dengan efek ikal di setiap ujungnya berdiri di situ, mengerut bingung.

"Kakak belum telepon dia?" tanyanya begitu lihat Anaru mempersilakan duduk.

"Belum," jawab Anaru mengikuti 'adik rasa kakak' dari belakang. Benda pipih yang tertempel di daun telinga terus gaungkan nada tunggu panggilan: tut ... tut....

"Aku kira udah fix sama mama," imbuhnya duduk berhadapan dengan sang adik. "Ya ... itupun kalau dia tau aku sibuk."

"Entahlah." Lelaki itu kedikkan bahu tanpa memandang lawan bicara. "Dia nggak pernah mampir sehabis minta restu nikahkan Kakak ke mama-papa."

Kerutan tercetak jelas di dahi Anaru. Kok dia belum silaturahmi kepada orangtuanya? Mendengar kabar demikian dari sang adik, melihat kartu undangan dia letakkan di meja pun seakan menyedot sisa energi Anaru.

"Dia ... nggak diskusikan soal pernikahan Kakak?" tanya Anaru selidik. "Maksud Kakak, interiornya mau kayak apa, atau pakaiannya mau tipe apa. Dia sama sekali nggak kasih tau keluarga kita?"

"Nggak."

Singkat. Padat. Jelas. Sial, jantung Anaru berdebar tiba-tiba. Bukan sebab teringat kenangan indah bersama dia, yang akan jadi suaminya. Namun, kenapa Anaru merasa dia akan berkhianat? Mengapa ia merasa keteguhan cintanya mulai meragukan?

"Kak." Beruntung adiknya merebut perhatian Anaru. Lelaki iti tengah celingak-celinguk melihat nama orang yang diundang, kemudian menuliskannya di stiker yang menempel pada plastik.

"Ada teman Kakak yang mau diajak hadir ke acara pernikahan Kakak?" Meski bertanya langsung ke inti tujuan dia kemari, tangan besarnya justru menggenggam tangan Anaru. Setiap usapan ibu jarinya cukup mengusir rasa tak nyaman dalam benak.

"Ah, nggak usah," jawabnya mengalihkan pandangan kepada puluhan kartu undangan di hadapannya. "Cukup segini aja."

****

Malam telah tiba. Lelaki itu juga sudah lama tepar dengan posisi tengkurap dan bercumbu mesra dengan kartu undangan beserta komik incarannya. Hanya Anaru yang masih terjaga, duduk bertemankan hidangan makan malam untuk calon suami.

Tak sampai situ, perut Anaru sering keroncongan, pertanda ia menahan lapar demi dia. Makanan mendingin. Ia tak peduli. Paling penting, Anaru berharap besar atas kepulangannya.

Satu jam berlalu. Sang adik yang semula terkapar lelap di lantai kini meringkuk gemas di ranjang milik Anaru. Perut Anaru mulai terasa sakit. Menyebalkan.... Helaan napasnya timbulkan mimik kecewa, lekas lirik ponsel di samping piring. Jam 9 malam. Dia belum pulang jua.

"Biasanya dia sudah datang di rumah," gumam Anaru menelepon nomor yang disentuh. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tak ada jawaban sama sekali. Padahal sejenak Anaru periksa status nomornya bertuliskan 'berdering' bukan 'memanggil'.

Apa ia perlu telepon calon mertua, ya? Bukan ide yang buruk, pikir Anaru. Ia coba telepon salah satu nomor calon mertua. Statusnya berdering. Semoga beliau mengangkat panggilan Anaru.

"Iya, Nak?" Akhirnya Anaru bernapas lega. Suara lembut itu setidaknya mampu menepis kerisauan dalam hati. "Senang banget kamu sempat nelepon Ibu."

"Iya, Bu." Sambil tertawa sopan, Anaru mohon maaf atas kewajiban memberi kabar pada mereka. Nasib baik beliau memaklumi. "Rie ... ada, Bu?"

"Eh? Ibu kira dia lagi sama kamu, Sayang." Balasan calon bunda tersebut timbulkan kerut di dahi Anaru. Tatapannya berubah jadi tajam. "Soalnya tadi dia bilang langsung main habis pulang ke sini. Jadi Ibu menduga mau main ke rumah kamu."

Anaru menggumam pelan. "Sayangnya dia nggak di sini, makanya saya telepon Ibu, kali dia memang butuh istirahat. Habis kerja."

"Nggak, dia langsung keluar, Sayang," katanya yang seakan menaruh garam di atas luka hati. "Apa perlu Ibu telepon supaya dia mampir ke rumah kamu? Barangkali mau bahas soal pernikahan kalian."

"Nggak usah." Bukan senyum manis yang menghidupi nada bicara Anaru, melainkan senyum kecut. "Barusan sebelum telepon Ibu, saya sudah miss call dia."

"Ya udah, kasih tau Ibu aja bila kamu butuh bantuan." Lepas Anaru iyakan tawaran beliau, ia tekan tombol merah. Ponsel menampilkan riwayat panggilan. Anaru dapat lihat wajahnya yang teramat murka di pantulan layar sentuh.

Jadi, lelaki itu ingin berbohong darinya? Genggaman kuat di ponselnya menyiratkan betapa seram raut wajah Anaru saat ini. Mata menyipit tapi tersimpan api yang berkobar; senyum tanpa garis lengkung; paling parahnya gigi bergemeletuk menyertai geraman rendah.

"Baiklah jika itu kelakuan aslimu, mas." Secepat kilat wanita dengan rambut dikucir kuda itu meraih segala barang seperti jaket dan sepatu sneakers untuk ia kenakan. Baru selangkah ia keluar rumah, Anaru temukan kotak paket.

Ah, buku pesanannya! Benak Anaru ingin sangat membaca pustaka tersebut secepat mungkin, tapi hati mendesak untuk tuntaskan rasa curiganya.

Benak Anaru berkata: Tunggu aku, novel idamanku.

Gara-gara dia, Anaru harus menerjang angin malam. Mana barusan hujan mereda. Beruntung toko-toko masih buka, masih tampakkan cahaya. Orang-orang tetap ramai berlalu lalang seakan tak peduli dinginnya malam mampu menaruh penyakit. Begitu pun kendaraan yang melaju kencang di jalanan. Mereka tak peduli Anaru menggigil meski pakai jaket. Sepintas ia lihat sajian keik cokelat, menghentikan langkahnya.

Dengan tangan masih berselimut di balik saku jaket, Anaru memandang keik tersebut. Ini kesukaan sang ibu mertua. Mungkin belikan beliau keik dapat mempererat hubungan mereka, mana sebentar lagi Anaru akan menjadi istri anaknya. Ibu mertua Anaru sudah terlampau baik, seperti membiarkannya bayar pernikahan.

"Keik cokelat." Senyum Anaru langsung merekah lebar. "Oke."

Segera ia masuk toko kue yang disambut pelayan dengan celemek putih menutupi pinggang hingga lutut. Riang hati Anaru sebutkan keik yang diinginkan, lantas disuruh menunggu.

Sambil pesanan Anaru dikemas cantik, wanita itu amati sekitar. Cukup mewah dari segi perpaduan warna cat dan furnitur. Tak heran harga produknya juga mahal.

"Nih, buat kamu."

Suara tadi hancurkan imajinasi Anaru tentang makan keik bersama keluarga menantu. Kayak kenal, pikirnya. Namun, ia langsung menggeleng cepat. Tidak mungkin dia mau berselingkuh ketika hari pernikahan sudah dekat. Ini pasti delusi.

"Selamat ulang tahun, Sayang." Suara bariton yang sama. Apa benar itu nada bicara sang kekasih? Usai pupuk diri dengan keberanian, Anaru melirik sumber suara, tepat di sampingnya.

Delusi Anaru rupanya benar. Dia. Di sini. Bersama. Cewek. Baru.

"Rie?" Sapaan Anaru merebut perhatian dan senyum lelaki itu, sedang si cewek meliriknya dengan polos. Cih, lihat dia dalam beberapa detik saja bikin amarahnya mendidih.

"A-anaru?" Rie berusaha tersenyum manis. "K-kamu ngapain di----"

"Nggak usah senyam-senyum lo," potong Anaru menatap tajam, padahal air mata telah menyelimutinya. "Jadi ini kerjaan lo selagi gue kerja di luar kota? Mana lo yang diskusi sama keluarga gue soal pernikahan kita?"

"Lho?" Raut wajah tak percaya terpatri jelas di wajah selingkuhan Rie. "Jadi kalian----"

"Iya," lagi-lagi Anaru memotong ucapan orang, "rencananya gitu jika gue nggak lihat lo berdua di sini."

"A-anaru, dengarin aku dulu."

"Cukup!" Anaru menjerit. Semua orang termasuk pekerja toko ini menonton mereka. Air mata telah pecah membasahi pipi. "Gue pergi ke luar kota buat kerja bertaruh nyawa dan sering mikirin pernikahan kita, sedangkan lo? Enak-enakan di sini. Selingkuhan semau lo. Berpikir kalau gue sudah pasti jadi mayat. Itu kan yang lo pikirkan?"

"Nggak, Anaru." Dia mulai melangkah pelan. Jarak di antata mereka semakin pendek. "Sumpah, aku nggak berpikiran seperti itu."

Baru saja dia cengkeram pundak calon istrinya, Anaru langsung tepis sambil menjerit, "NAJIS!"

Semua orang terkejut, termasuk pekerja yang menangani pesanan Anaru. Namun, Anaru sadar kehadiran dia. Segera ia keluarkan uang pas untuk bayar keik.

"Najis banget gue kudu percaya lo." Anaru tersenyum miring. "Tuh, lo ambil keik buat ibu lo. Salam dari gue kalau pernikahan kita dibatalkan."

Anaru angkat kaki tanpa dengarkan penjelasan Rie. Halah, penjelasan palsu! Dia pasti mau selingkuh lagi dan lagi. Dia tak cocok dengan Anaru. Anaru tak butuh dia lagi sekarang.

Hati ini ... terlalu sakit ketimbang air mata yang mengalir sederas hujan.

****

Sudah ganti tanggal, tapi Anaru tak kunjung puas menenggak kaleng bir ke sekian, duduk bersandar di kulkas yang dingin. Mata berat. Tubuh panas. Semua anggota badan meronta mau tidur. Namun, hati dengan egoisnya menguasai tindakan wanita berumur 30-an itu. Jika nyeri masih berkecamuk hingga alirkan banyak air mata, Anaru tak boleh berhenti tenggak minuman haram. Persetan Tuhan akan mengutuknya jadi batu. Masa bodoh besok Anaru akan mati.

"Sialan!" Anaru melolong sebelum sambung minum bir hingga titik penghabisan. Ia taruh kaleng kosong dengan sekali hentakan. "Sialan lo, anj*ng!"

Sayang, tak ada yang mendengarkan seluruh emosinya. Di ruangan kecil ini, hanya terisi isak tangis seorang perempuan yang baru saja dicampakkan. Cegukan mulai menyertainya.

"Bisa-bisanya lo selingkuh pas gue lagi kerja," katanya di sela cegukan parah. Tangannya dengan mudah meremukkan kaleng bir kosong. "NYEBELIN LO, ANJ*NG!"

Spontan Anaru lempari kursi dengan sampah besi. Tangisnya makin menjadi. Ia rela jambak rambut meski nanti rontok dan berdarah. Ingin sangat menghancurkan apa saja demi buat hatinya tenang. Namun, apa? Tidak mungkin barang kesayangannya.

Perlahan, tangis histeris berubah sesenggukan. Mata jadi sipit saking lamanya ia tumpahkan air mata demi sosok yang kelakuannya setara dengan tahi kucing. Pengecut sampai orang menatap kecut padanya.

Batin dan benak saling berargumen. Kenapa ia harus tersiksa seperti ini? Supaya dia sadar? Menyesal? Minta maaf? Kemudian memperbaiki hubungan demi bisa ucapkan janji suci di pelaminan? Anaru mulai tertawa sinting.

"G*blok banget gue." Ia mencemooh diri sendiri, menyisir rambut yang basah karena keringat dan air mata menggunakan tangan. "Nangis demi si anj*ng. Nggak ada gunanya."

Makin ke sini, tawa Anaru semakin keras. Kesintingan Anaru seakan mengajak benda mati termasuk oksigen dan debu untuk rayakan momen ini dengan gelak edan. Seedan-edannya. Bahkan dentingan bel tak surutkan kegilaan Anaru. Ia bangkit tertatih-titih, melangkah huyung di ruangan kurang cahaya. Ia buka pintu. Tiada orang yang berdiri. kekecewaan ia sampaikan lewat decih samar saat bersandar di kerangka pintu. Mata sembabnya terpejam.

"Kenapa gue mengharapkan dia kembali?" Lalu, Anaru tertawa singkat dari senyum miring. Kala buka mata, objek pertama yang ia lihat adalah sebuah kotak bahan kardus yang diikat tali rami. Sebagian besar telah basah akan hujan. Seketika senyum Anaru pudar, lekas ambil paket yang ditinggalkan demi orang tak tahu diri itu.

"Sori...." Ia berkata lirih di setiap usapan lembut pada permukaan kardus. "Harusnya gue masukkan lo ke dalam dulu."

Entah magis apa yang terkandung di dalam kardus, tapi senyum dan tatapan Anaru balik selembut biasanya.

"Saatnya gue baca kisah lo, Urana." Lekas ia masuk menutup pintu, menikmati halaman demi halaman buku.

****

Adzan subuh berkumandang. Mustinya kita awali pagi dengan syukur dan memiliki hati damai serta pikiran dingin. Namun, Anaru telanjur sakiti diri sendiri. Sudah tubuh panas akibat minum banyak bir, menangis selama dua jam lebih, kini otaknya bisa ngebul berkat akhir novel kegemarannya. Pustaka bervolume tebal itu ia lemparkan ke cermin. Sekeping kaca besar di lemari tersebut sekarang terbelah berkeping-keping, siap melukai siapa saja yang memungut mereka.

"Gini amat akhirnya!" Makian keluar dari bibir indah Anaru. Tarikan napasnya berpacu kasar. "Bisa-bisanya Urana pasrah digebuki suami sendiri sampai modar. Gimana sama janinnya, anj*ng?"

Sekali lagi, Anaru melolong sambil acak-acak rambut sebelum berbaring di kasur single. Ia beringsut tutupi tubuh berlumur peluh pakai selimut. Wajahnya yang merah masih kusut.

"Ish, kalau gue jadi Anaru, udah gue hajar tuh b*bi," sambungnya langsung menutup diri. "Biar aja dia babak belur kayak dia."

Iya, kayak dia yang nekat selingkuh saat Anaru sibuk. Anaru hajar lelaki b*jingan itu. Tinjuan. Tamparan. Bahkan tendangan. Serangan tersebut mengubah wajahnya yang bersih menjadi penuh luka lebam dan darah.

Andai saja Anaru bisa bertindak demikian pada suami Urana....

"Nona Urana, saatnya bangun." []