Untuk Hati, Siapa Yang Tahu?

Untuk Hati, Siapa Yang Tahu?

Laa

0

Pertemuan keluarga di halaman rumah Viana yang luas dan menyejukkan hari ini berjalan lancar dan menyenangkan bahkan bagi anak-anak mereka. Tepat hari senin, cuaca yang cerah tanpa awan itu menjadi awalan gue untuk bisa melihat kembali kenalan-kenalan gue. 

"Arun, kamu bantuin Adi di panggangan gih. Kasian dia sendirian," ucap Ibu gue yang sambil menunjuk ke arah jam dua, tempat dimana Adi berdiri, sibuk membakar berbagai macam sosis dan daging ayam. Gue menatap Nyokap sekali lagi yang dibalas menaikkan alis, menyuruh segera untuk kesana. Tanpa banyak menunjukkan ekspresi penolakan seperti di rumah, gue akhirnya berjalan lambat hingga sampai di samping Adi. 

Pemuda tersebut merasakan kehadiran gue. Adi menoleh sekilas kemudian kembali fokus pada panggangannya. Dia harus cepat membuat sosis-sosis ini matang karena para bocil itu terus meneror dengan berkata 'Kak Di, sosisinya kapan matang?' 

"Kak Di, sosisnya udah mateng belum? Lama sekali," keluh Sesi, adik gue yang tidak tau malu. Gue langsung mengirimkan satu pelototan pada gadis kecil itu. 

"Sesi, gak sopan begitu ke Kak Adi."

"Tapi Sesi kan lapar ..." timpalnya lagi dengan bibir mengerucut sebal.

"Sosisnya udah mateng nih!" seru Adi tiba tiba membuat Sesi langsung tersenyum senang dan berseru dengan mengangkat kedua tangan. 

"Yeay!"

"Sesi mau berapa?" tanya Adi halus. 

"Dua. Yang putih sama yang merah."

"Nih." Adi meletakkan satu sosis merah dan sosis putih sesuai keinginan Sesi. Melihat dua buah sosis baru matang yang mengeluarkan asap itu membuat Sesi jingkrak-jingkrak. Tidak lama, satu persatu bocil mengerumbuni Adi. Sepertinya mereka mendengar seruan Adi. 

"Waduh," gumamku tanpa sadar setelah melihat para bocil yang mengerumbuni kami berdua dan Sesi sudah mencari tempat nyaman untuk menyantap sosis bakarnya. Gue seketika sadar kalau lima keluarga ini memiliki banyak anak-anak. Gue berasa berada di taman kanak-kanak melihat Adi yang telaten meladeni anak-anak. 

Kalau sama gue sih udah males duluan.

Jangan berpikir gue hanya diam disamping Adi seperti patung. Gue memberikan anak-anak satu persatu piring kertas sebelum mereka berbaris dan mengantri untuk menunggu giliran sosis bakar. 

Deretan terakhir, ini bukan bocil. Viana ikut mengantri mengambil sosis. 

"Gue juga pengen sosis bakar, Run. Dari pojok sana gue udah ngiler liat Adi manggang sosisnya."

Mendengar namanya disebut, Adi langsung terkekeh. 

"Yang lain dimana, Vi?" tanya gue.

"Gak tau. Yang pasti, Lalita lagi ngobrol sama sepupu cowok gue."

Gue langsung tertawa. "Astaga. Lalita emang,"

Viana sampai didepan Adi. Dia menyerahkan piringnya kepada Adi untuk diambilkan sosis bakar. Sosis bakar yang tersisa di panggangan masih tiga. Saat Adi meletakkan satu sosis di piring, Viana langsung kecewa. 

"Yah, gue maunya dua, Di."

Adi melirik gue. "Buat Aruna lagi satu."

Gue cuman diem. Tapi dalem hati tiba tiba ribut. Gue langsung menatap Adi dengan wajah datar. Adi menunjuk sisa sosis bakar. 

"Mau kan?"

Gue mengangguk. 

Viana mendengus. "Kan masih ada tiga, Di. Kasih gue dua lah. Lo gak suka sama sosis kan?"

"Yang lagi satu buat Lalita."

Seketika gue langsung biasa aja. Oh, ternyata, Adi cuma bersikap baik aja. Wah, peduli sekali Adi sama gue dan Lalita. Adi memang teman yang bisa diandalkan.

Viana akhirnya meyerah untuk membujuk. "Yaudah deh. "

"Guys," sapa Lalita sembari mengibaskan rambut hitam berkilau sepunggungnya dengan lebay yang membuat gue seketika terpana. Lalita memang secantik itu kalau dilihat secara langsung. Pantas saja dia sangat pede dalam mendekati cowok. Lalita menemukan ekspresiku yang kagum membuat nya langsung terkekeh malu dan mencolek bahuku.

"Arun, jangan liatin gue kayak gitu deh. Malu tau."

"Liatin doang. Gue gak bilang apa-apa lho, ngapain malu lo?" balas gue berusaha menepis anggapan bahwa gue sebenernya kagum dan terpana setiap deket-deket ama Lalita.

Lalita terkekeh. "Lo juga cantik, kok."

"Kalo gue?" tanya Viana.

Lalita mengamati Viana. "Cantik. Tapi lipstik lo aja yang kurang."

Viana langsung menyentuh bibirnya. "Lipstik gue kenapa?"

"Gak cocok."

"Ta, nih, bagian lo," kata Adi sambil menyerahkan piring yang berisikan satu sosis bakar. 

"Wow, makasi Adi." Lalita mengambil satu gigitan pada sosis bakarnya. "Hm, enak."

"Masa?" Gue juga ikut mencoba mencicip sosis bakar buatan Adi. Setelah mengunyahnya beberapa kali, gue langsung membuat ekspresi yang aneh. Kedua alis gue menyerngit. Tidak ada komentar dari gue membuat si koki langsung merasa aneh. 

"Sosisnya oke?" tanya Adi sambil mengamati wajah gue.

Saat gue mau membuang sosis yang udah dikunyah di atas piring, Adi lebih dulu menghentikanku. Dia menyuruhku untuk jangan membuangnya di piring. Dia akan mencari kantung plastik hitem buat muntahan gue. 

"Lo gak suka sosis Run?"

"Gue ... makan bagian gosong ..."

"Astaga," keluh mereka berdua bersamaan. Kayaknya mereka lupa kalau gue gak suka bagian gosong. Itu tuh pait banget dan teksturnya aneh. Lima belas detik berlalu, Adi datang membawa kantung plastik hitem dan tisu di tangan kirinya. Gue langsung memuntahkan sosis di dalem plastik kemudian gue langsung membungkusnya. 

"Uwek!" seru gue tanpa sengaja.

"Nih." Adi memberikan gue beberapa helai tisu. Gue yang ngeliat tisu itu langsung berpikir jauh. 

Viana dan Lalita menaikkan alis bingung ketika melihat gue hanya diam tanpa menerima tisu dari Adi. Kalian gak tau ya, gue sedang berusaha untuk menepis pikiran gue tentang sikap baik Adi sekarang? Gue gak berani lirik Adi sekarang. Gue baru sadar kalau gue udah terlalu lama mendiamkan Adi.Tangannya masih diudara dan Lalita-Viana yang menatapku aneh.

Gue langsung berpura-pura bersin sampai tiga kali. 

"Aduh, aduh," seru Lalita dan Viana mundur beberapa kali untuk menjauh. Tapi Adi malah semakin mendekat buat memberikan gue tisu. Gue dengan cepat mengambil tisu ini dari tangan Adi. 

"Sorry, Ar. Bisa-bisa nya gue lupa kalo lo gak suka makanan bakar yang gosong. "

Adi, lo bisa biasa aja gak sih?