Ukiran Kayu

Ukiran Kayu

SahputriC

0

     Tubuh Su yang gemulai biasanya bergerak sendiri dengan iringan musik tradisional tari oleg tamulilingan yang sudah ditampilkannya ratusan kali bersama pasangannya mengecewakannya malam itu, seolah semua ingatannya, semua kerja kerasnya berlatih, telah terhapus oleh satu kalimat dari pasangannya. Aku akan menikah dengan pacarku. Untuk pertama kalinya pakaian tarinya yang ketat benar-benar mencekiknya dan bagian kulitnya yang terbuka perih diterpa udara sejuk. Matanya yang biasanya dibuka lebar, nyeledet ke kanan ke kiri, terasa perih dan saat dirinya duduk di pundak pasangannya, Su yakin dirinya akan tejatuh tapi dia berjuang untuk memberikan penampilan yang menghibur tamu-tamu hotelnya. Tepuk tangan penonton terasa seperti ledakan yang mengejeknya.

     Su menghormat dan meninggalkan balai mewah yang penuh penonton asing dengan alasan merasa agak pusing dan pasangannya mengikutinya sambil berusaha menarik tangannya. “Su,” panggilnya setiap kali Su menarik tangannya. “Su, aku minta maaf. Ini terjadi begitu saja. Pacarku hamil.”

     Su berbalik untuk menghadapnya dan mengusap matanya. “Aku tahu pertunangnan kita palsu,” desinya, “tapi kamu berjanji padaku. Kamu terikat kontrak, ingat?”

    “Iya, aku ingat. Aku tidak keberatan kalau kamu menuntutku.”

   “Dasar bajingan. Kamu tahu aku tidak bisa menuntutmu. Kamu tahu aku tidak bisa mengungkap bahwa hubungan kita palsu.”

     “Su, ini bukan rencanaku. Aku hanya.. aku… aku berbuat salah dan aku tidak bisa mengabaikan pacar dan bayiku.”

     “Bagaimana denganku? Bagaimana dengan kakakku? Kamu tidak bisa menahan nafsumu setahun lagi?”

     “Su, aku salah.”

   Bibir Su bergetar dan tangannya mengepal, siap untuk meninju wajah pria di depannya seandainya teman lamanya tidak datang mengejeknya. “Su, wajahmu berantakan,” ucapnya sambil menyodorkan tisu basah padanya. “Mau aku bersihkan untukmu?”

     “Pergi, sialan,” ujarnya kepada lelaki yang baru datang itu.

    “Lebih baik kita pergi bersama,” ucapnya sambil memegang tangan Su dan berusaha membuka kepalan tangannya. “Ayo ke ruanganmu.”

     Su masih berdiri mengepalkan tangannya dan pria yang baru datang itu menghela napas dan langsung mengangkat tubuhnya yang langsing dan menaruhnya di bahunya, membawanya pergi. Suara pukulan tangan Su di punggungnya terdengar sangat jelas tapi suara itu ditenggelamkan suara gamelan yang masih menghibur para tamu di hotel itu. “Turunkan aku!” desis Su.

    “Tidak bisa, bos. Kamu akan mengamuknya, kasihan dia. Kalau hidungnya bengkak dan patah, nanti wajahnya jelek. Nanti penonton tidak suka penampilannya?”

      “Bagaimana kalau aku mengamukmu?”

     “Aku sudah kebal,” jawabnya. Langkah kaki pria itu yakin melewati jalan yang diapit kamar-kamar berupa bangunan individu bernuansa Bali, lorong dan tangga yang dibersihkannya setiap hari. Dia membuka pintu ruang kerja milik wanita yang dibawanya, yang penuh dengan ukiran hitam dan emas dan pencahayaan redup di malam hari. Jakti menurunkannya di sofa, di mana wanita itu baru mendapat kesempatan untuk memukul dadanya. “Kamu harus melatih pukulanmu,” katanya berpaling untuk mengambil sebotol air. “Harusnya kamu belajar ilmu bela diri. Ngapain belajar menari sok elok padahal aslinya begini? Nih, minum dulu.”

    Su memegang lututnya dengan erat. “Jakti, dia akan menikah. Apa yang harus aku lakukan? Orang tuaku akan menyeret kakakku kembali. Aku harus membuat mereka tenang dengan berpikir aku akan segera menikah.”

     “Kita cari solusi nanti.”

     “Bantu aku buka riasanku.”

     Pria itu mulai dengan membuka perhiasan rambutnya yang berat dan menggerai rambutnya. Pria itu membantunya membuka lilitan kain dadanya dan kamennya dan memberinya salah satu jubah sutra kesukaannya untuk menutup dirinya yang hanya memakai pakaian dalam. Pria itu menyisir rambutnya yang kaku karena hair spray perlahan lalu membersihkan wajahnya yang murung.

     “Jakti, aku gagal,” bisiknya.

    “Iya, kamu gagal.”

    Su memicingkan matanya dan memukul pria itu lagi. “Kamu harusnya bilang kata-kata manis untuk mengiburku, bukan mengonfirmasi kegagalanku dan membuatku merasa buruk.”

     “Memangnya aku pacarmu? Aku tukang bersih-bersihmu, Su. Bawahanmu. Ini tugasku.”

      “Kamu menyebalkan,” gumamnya.

    “Su, nanti pasti ada solusi. Dan mungkin bagus kakakmu kembali. Itu kewajiban kakakmu untuk mencari sentana, kamu sudah baik sekali memberikannya kebebasan untuk kabur dari kewajibannya selama empat tahun.”

     “Tapi dia belum siap. Dia belum menemukan pasangan. Seleranya juga aneh. Ibu mau aku dan kakak menikah dengan guru atau polisi atau dokter. Dosen. Apapun dengan pekerjaan tetap dan terhormat, dengan otak dan fisik yang bagus, tapi dia seleranya aneh. Lebih parah lagi dia tidak dekat dengan siapapun dan dia hanya tahu melukai dirinya sendiri lalu mengurung diri dan kehilangan motivasi. Dia pesimis.”

     “Sekarang kamu yang terlihat seperti pesimis,” cetus Jakti. “Aku mengerti kamu kecewa, panik, takut dan kamu mungkin perlu menangis, tapi Su yang aku tahu tidak akan langsung menyerah. Su yang aku tahu akan mencari cara, berbohong dengan sepenuh hati untuk mengelabuhi orang tua dan teman-temannya. Kamu masih Su yang aku tahu kan?”

     Su mengangguk pelan dan menutup wajahnya, tak lagi bisa menahan air matanya. Jakti duduk di sebelahnya dan membiarkannya menangis di bahunya. “Aku lelah, Jak. Aku sudah berusaha mencari pasangan asli, dengan perasaan asli tapi aku tidak bisa mencintai lagi. Aku tidak bisa mencintai dengan bebas karena di kepalaku aku sibuk menganalisa yang mana cocok untuk menjadi sentana. Yang mana yang akan menghasilkan keturunan yang bagus untuk membantuku melanjutkan keturunan orang tuaku tapi aku tidak ada perasaan sama mereka yang ganteng dan baik. Terus yang mana yang punya banyak saudara agar orang tuanya mengikhlaskannya masuk ke keluargaku. Aku lelah. Cewek lain cari pasangan dan menunggu dipinang, nanti aku yang harus mencari dan meminang.”

     “Aku tahu,” ucap Jakti, menepuk bahunya. “Menangis dulu, kalau tidak dapat cowok asli, nanti kita buat yang palsu lagi. Kita sudah sering melakukannya.”

     “Tapi aku juga lelah dengan hubungan palsu, Jak.”

     “Kalau lelah ya istirahat. Mau aku bawa ke kamarmu?”

      Su menggeleng. “Kamu bisa antar aku ke pantai?”

      “Nanti masuk angin.”

      “Ya aku pakai pakaian hangat.”

   “Dasar gila,” cetus Jakti. “Ini memang agenda di balik doronganmu mendaftarkanku ke kursus mengemudi kan? Kamu mau sopir pribadi yang mau menyembunyikan semua rahasiamu.”

  “Iya, aku tidak melakukan sesutau yang tidak mennguntungkan. Kamu tahu itu.”

      “Sangat baik,” jawabnya sambil mengangguk. “Tunggu dulu, aku ambilkan baju hangat.”

   Su mengangguk dan menatap ruang kerjanya yang saharusnya milik kakaknya, tapi kakaknya memutuskan untuk bekerja di museum kecil dan tinggal di kamar kost kecil, tidak pernah menghubungi keluarganya yang berusaha mendorongnya untuk mencari lelaki untuk dipinangnya. Mencari pasangan hidup sangatlah susah apalagi mencari lelaki untuk dipinang. Tidak banyak lelaki yang mau nyentana, walau ada yang mau orang tua mereka tidak akan semudah itu menyerahkan anak laki-laki mereka kepada keluarga perempuan untuk mengambil status sebagai istri sedangkan perempuan itu akan berdiri mengangkat kepalanya tinggi berstatus sebagai kepala keluarga. Atau perasaan si wanita yang tidak sebesar itu padanya. Su menyusuri ukiran di mejanya dengan jari tengah dan telunjuknya. Ukiran itu biasanya memberinya jawaban tapi malam itu ukiran itu memutuskan untuk membisu.