
Alexandre membuka pintu rumahnya lalu membiarkan Rhea masuk terlebih dulu. Tahun lalu, ia telah membeli sebuah rumah ditengah kota dan beberapa bulan sebelum menikah, ia melakukan renovasi karena akan mengajak istrinya tinggal disana.
Sebuah rumah yang tidak terlalu besar, namun juga tidak terlalu sempit berdiri ditengah halaman yang lumayan luas. Rhea terpana ketika melihat rumah bergaya minimalis dengan dua lantai yang terlihat asri dengan dua pohon tanaman tabebuya disisi kanan dan kirinya.
Suaminya yang telah mengeluarkan koper berisi pakaian mereka, lantas mengajaknya masuk rumah.
Rhea kembali dibuat terpana—dalam artian bengong kali ini—melihat ruangan yang luas yang hanya ada beberapa sofa disana. Wanita itu menoleh kepada suaminya yang langsung meringis malu.
"Akhir minggu ini kita beli perabot ya?" ucapnya seraya menggaruk tengkuknya.
Rhea tertawa kecil melihat tingkah suaminya itu. Kemudian ia mengangguk.
"Tapi kita ga tidur dibawah kan, Mas?" tanyanya khawatir karena memikirkan mereka akan tidur diatas tikar.
"Enggak dong, Sayang. Yuk ke kamar." Sebelah tangan Alexandre menarik tangan Rhea dan tangan yang lain menarik koper menuju kamar mereka di lantai dua.
Rhea bernapas lega ketika ia melihat sebuah ranjang berukuran besar yang terletak ditengah kamar. Manik matanya menangkap setiap sudut kamar itu. Sedangkan otaknya praktis membayangkan apa saja yang akan ia letakkan disana.
"Laper, Mas." kata Rhea setelah selesai menata pakaian di lemari.
"Makan di luar aja yuk!" ajak Alexandre.
Rhea mengangguk pelan lalu beranjak.
"Mau kemana?"
"Mandi. Katanya mau makan di luar?" Rhea berdiri ditepi ranjang mengikat rambutnya.
Sesaat ia tersentak karena suaminya itu langsung membopongnya ke kamar mandi.
Ga cuma mandi ini mah!
~
Rhea menggandeng tangan suaminya berkeliling mall setelah selesai makan malam. Wajahnya terlihat berseri-seri karena telah lama ia tidak jalan berdua dengan Alexandre karena mereka disibukkan dengan tetek bengek sebelum pernikahan dan pekerjaan di kantor.
Sejak satu bulan yang lalu sebelum pernikahan, Rhea bekerja di kantor papinya untuk membantu Rio.
Sebenarnya Alexandre sangat menginginkan istrinya itu bekerja di kantornya atau malah tidak usah bekerja saja mengingat kesibukan yang akan mereka jalani.
Setelah puas mengajak Alexandre keluar masuk butik, akhirnya wanita itu mengajaknya pulang.
Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika mereka sampai di rumah. Rhea segera membongkar tas belanjaannya dan memasukkan pakaian-pakaian yang baru ia beli kedalam mesin cuci. Sedangkan Alexandre, ia langsung mengambil laptopnya untuk mengecek email yang dikirim Roby.
"Kamu beneran ga ambil cuti, Mas?" Tanya Rhea bergelayut di lengan suaminya.
"Ga bisa, Sayang. Kantor lagi sibuk-sibuknya ini." Jawabnya seraya mengelus kepala Rhea namun kedua matanya tetap fokus pada laptop.
Rhea manyun. "Berarti besok aku di rumah sendirian dong?"
Alexandre menoleh kearahnya. "Mau ikut ke kantor aja?" Tawarnya.
Rhea menggeleng pelan. Kini otaknya sedang mencari ide atau rencana untuk besok. Segera ia mengambil ponsel didalam tasnya lalu mengirim pesan di grup chat Huru Hara.
Tak menunggu lama, beberapa temannya segera membalas.
Rangga
Penganten baru udah jablay aja nih?
Rhea
Kurang asem kon, Ngga!
Andi
Emang mau kemane, Neng?
Gimana kalo bantuin kita jadi model aja?
Rhea mengerutkan dahinya. Dulu ketika ia masih berstatus karyawan magang di kantor Alexandre, ia sempat menggantikan model yang sedang pingsan karena kelelahan.
Rhea
Pengen perang dunia nih ceritanya? 😒
Rangga
😂
Andi
😂
Rhea
Emang ada project apa?
Lucy
Biasa Rhe... Produk fashion lagi.
Rhea manggut-manggut membaca pesan dari Lucy. Kedua teman kuliahnya itu kembali bekerja di kantor suaminya setelah selama kurang lebih tiga bulan magang disana.
Rhea melirik suaminya yang masih berkutat dengan laptopnya.
"Mas..." panggilnya.
"Hm?" Jawab Alexandre tanpa menoleh kearah Rhea.
Yah begitulah. Pekerjaan nomer satu, Rhea selirnya.
"Emang ada project baru?"
Alexandre menoleh dengan mengerutkan dahinya.
"Ini... Anak-anak bilang kalo ada project baru trus aku diminta jadi model kayak dulu." kata Rhea hati-hati.
Pria itu masih menatapnya. "Ga usah aneh-aneh." ucapnya lalu kembali fokus pada laptopnya.
Rhea menghela napasnya. Sudah ku dugong.
Ia meletakkan kepalanya di bahu Alexandre sambil memeluk perutnya. Lalu mengusap perut rata itu.
"Ck! Lagi fokus nih! Jangan godain." Rhea cemberut.
~
Rhea mengelus rahang tegas suaminya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus. Kemudian ia mengecup hidung mancungnya.
"Bangun, Sayang." bisiknya lalu mengecup bibir Alexandre.
Namun pria itu malah mengeratkan pelukannya dan mendekap Rhea ke dadanya.
"Damainya dunia ini kalo tiap pagi aku dikasih kecupan gini."
Rhea terkikik. "Emang dunia ga damai kalo aku ga nyium kamu?"
Alexandre menggumam. "Pasti akan ada pertumpahan darah di kantor."
Rhea kembali terkikik mendengar jawaban suaminya yang absurd itu.
"Ke kantor jam berapa?"
Alexandre kembali menggumam. Masih memejamkan matanya.
Lalu tak lama kemudian suara dering ponsel mengalihkan perhatian Rhea dan Alexandre. Pria itu mendengus sebal lalu melepas pelukannya untuk mengambil ponselnya diatas nakas.
Ia mengacak rambutnya setelah menutup telepon dari Roby yang menunggunya di kantor untuk meeting.
Rhea segera menyiapkan sarapan untuk Alexandre ketika pria itu masuk kamar mandi. Ia hanya perlu menghangatkan makanan yang semalam mereka beli.
Alexandre keluar kamar dengan pakaian kantor menuju dapur untuk sarapan. Rhea menghampiri suaminya dan membantunya mengikat dasi.
"Mas, nanti aku mau belanja aja deh. Dari pada ngelamun di rumah."
Alis Alexandre mengkerut, "Diantar Pak Sahir ya?" Rhea mengangguk setuju.
Kemudian ia memberikan sebuah kartu debit kepada Rhea yang membuat wanita itu menaikkan alisnya.
"Belanja pake ini. Passwordnya tanggal jadian kita pas SMA."
Rhea melotot tak percaya. Suaminya itu masih mengingat tanggal jadian mereka ketika jaman sekolah?
Alexandre berdecak pelan. "160116."
"Serius kamu masih inget, Mas?" Rhea menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Alexandre memutar bola matanya malas. Memang istrinya itu tidak romantis.
Setelah memakan sarapannya, Alexandre masih saja menempel pada istrinya yang sedang mencuci piring.
"Males banget ke kantor. Pengen kelon sama kamu aja di kamar." ucapnya seraya menciumi leher Rhea.
Rhea tertawa. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan memberikan ciuman singkat untuk menambah semangat suaminya.
"Udah, berangkat sana. Nanti telat!" Rhea mendorong tubuh suaminya keluar dari dapur.
~
Rhea mendorong troli masuk ke pusat perbelanjaan di sebuah mall dengan diantar Pak Sahir –tentu saja. Ia memasukkan berbagai macam bumbu dapur dan saos, lalu bahan makanan yang lain kedalam troli. Rhea sangat menikmati acara belanjanya kali ini. Sebelum menikah, simbok yang selalu belanja keperluan rumah karena maminya sibuk arisan dan keliling kota bersama papinya. Sekalipun belanja, Rhea hanya membeli kebutuhannya saja serta berbagai macam makanan ringan.
Setelah puas berbelanja, ia mendorong trolinya menuju kasir.
Alexandre meraih ponselnya ketika ia mendapat sebuah notifikasi m-banking. Tersenyum tipis, lalu ia menelepon istrinya.
"Ya, Bos?"
"Ck." Alexandre berdecak tak suka dengan panggilan itu. "Dimana?"
"Barusan keluar supermarket nih. Kamu udah selesai rapat?"
"Udah barusan. Supermarket mana?"
"Di deket kantor, Sayang."
"Tunggu disitu, Mas kesana sekarang." Alexandre segera keluar ruangan menuju lobby. Ia akan pergi menggunakan taksi saja. Setelah memberitahu tujuannya, Alexandre melepas dasi lalu memasukkannya kedalam saku celana. Membuka kancing teratas kemejanya lalu ia bersandar di jok penumpang seraya memijat pelipisnya.
Rapat kali ini membutuhkan sedikit energi lebih banyak karena klien yang rewel. Beberapa proyek terpaksa harus ditangguhkan karena belum menemukan titik terang.
Rhea mengirimkan pesan kepada suaminya, memberitahukan bahwa kini ia berada di foodcourt.
Alexandre menghampiri meja Rhea ketika ia melambaikan tangan padanya. Mengecup kepalanya sekilas lalu duduk dihadapannya. Rhea tersenyum ketika Alexandre menggenggam tangannya lalu mengecupnya.
"Mana belanjaannya?"
"Udah dibawa Pak Sahir pulang." Alexandre mengangguk. Lalu memakan nasi goreng seafood yang telah dipesankan Rhea tanpa melepas genggaman tangannya membuat wanita itu kesusahan mengambil makanan.
"Mas..." Alexandre mendongak. Rhea memberi isyarat melalui matanya, memberitahu bahwa tangan kanannya masih digenggamnya.
Alexandre terkekeh.
"Abis ini ada rapat lagi ga?" Alexandre menggeleng.
"Mau nonton ga, Mas?"
Alexandre menaikkan satu alisnya. "Nonton apa?"
Rhea terlihat berpikir. "Ya liat dulu ada film apa yang lagi diputer." Suaminya hanya menganggukkan kepalanya.
Alexandre celingak-celinguk mencari nomor kursi yang tertera di tiket bioskop. Istrinya itu pintar sekali memilih tempat duduk. Kursi mereka dikelilingi pasangan yang sedang bermesraan.
Rhea terkekeh geli ketika Alexandre berkali-kali menghembuskan napasnya karena risih. Padahal mah kalau di rumah dia juga begitu batin Rhea.
Rhea sedang menata sayur dan buah-buahan didalam kulkas ketika ponselnya berdering. Ternyata itu adalah panggilan video dari grupnya.
"Ampun Rhe! Suami kamu galak banget sih!" Terlihat Dina bersungut-sungut dan diangguki oleh yang lainnya.
"Iya nih. Kurang jatah ya Rhe?" Andi menimpali.
"Kenapa sih?" Tanya Rhea penasaran.
"Abis makan siang tadi kan divisi periklanan meeting nih ya. Bahas project fashion itu. Udah fix eh Pak Bos nolak. Alasannya konsep begitu udah banyak yang pake." cicit Lucy.
"Padahal kan, kalo baju-bajunya tipis kayak buat pas summer gitu sih harusnya pemotretan di pantai kan?" sahut Bella tak terima.
"Iya, sabar ya kawan. Hahaha! Nanti aku ngomong sama dia deh."
"Eh jangaaannn!!!" Seru Bella. "Ntar malah kita yang kena semprot."
Rhea menghela napasnya. Tadi setelah mengantarnya pulang menggunakan taksi, suaminya itu langsung kembali ke kantor. Grup Huru-hara itu memang beranggotakan Rhea, Andi, Rangga, Bella, Dina, dan Lucy. Mereka membuat grup itu ketika Rhea, Lucy, dan Rangga masih magang di perusahaan Alexandre.
Alexandre, sang pemimpin perusahaan KL Creatives memang sangat tegas dan ketat dalam pekerjaan. Tak jarang ia mengomeli karyawannya karena kinerja mereka yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya. Namun itu semua untuk mengembangkan perusahaan yang telah orang tuanya bangun dari nol dan untuk mensejahterakan karyawannya.