Tragedi Cinta di Gunung Merapi

Tragedi Cinta di Gunung Merapi

adzalea01

0

Ajeng berjalan cepat menuju ke sebuah istana megah berwarna keemasan yang baru pertama kali dilihatnya. Gadis dengan rambut dicepol asal itu terus berjalan mendekati istana namun tidak kunjung sampai. Selangkah Ajeng maju, Istana itu seakan selangkah mundur. Lelah karena tidak kunjung mendekat ke istana, Ajeng memilih duduk di sebuah batu.

“Krincing, Krincing, Krincing..”

Ajeng menoleh ke arah sumber suara misterius yang berada di belakangnya. Dari kejauhan, dia melihat sebuah kereta kencana misterius yang melaju cepat ke hadapannya. Refleks dia mengikuti laju kereta kencana hijau yang dibawa oleh sepasang kuda putih yang cantik. Kereta itu berhenti tepat di hadapannya.

Dari jarak 10 meter, samar-samar, Ajeng melihat ada sepasang wanita yang turun dari kereta kencana dan hendak memasuki gerbang istana yang dihiasi emas itu. Kedua wanita itu membelakangi Ajeng. Satu wanita memakai kebaya hijau dan satu wanita lainnya memakai gaun putih gading.

“Siapa mereka?” gumam Ajeng kebingungan.

Tiba-tiba, wanita yang memakai kebaya hijau itu berhenti dan menoleh ke arah Ajeng. Wanita berwajah cantik dengan bulu mata yang lentik dan hidung mancung. Dia tersenyum manis ke arah Ajeng. Sebaliknya, Ajeng merasa kaget setelah diketahui keberadaannya. “Kita akan segera bertemu,” suara indah yang samar-samar terdengar di telinga Ajeng.

Ajeng terbangun dari tidurnya dengan wajah penuh keringat. Dia tidak menyangka bahwa istana megah yang dilihatnya itu hanya sebatas mimpi karena dia merasa semua pemandangan itu terasa sangat nyata. Perlahan, dia turun dari kasur dipan dan berjalan menuju dapur rumahnya untuk melepas dahaga. Dia mengambil kendi dan menuangkan air ke gelas kecil berbahan tanah liat.

Setelah minum air, dari arah dapur, Ajeng melihat ayahnya sedang sibuk mencuci sebuah keris berlekuk 3 di ruang tengah dengan penuh perhatian. Pelan-pelan, lelaki paruh baya itu mengangkat keris miliknya dan mencelupkannya ke dalam wadah tanah liat yang sudah diisi air dan kelopak mawar. Dia mulai menggosok tiap lekukan keris dengan jeruk nipis.

“Ayah sedang mencuci keris? Memangnya akan ada Labuhan Merapi dalam waktu dekat?” tanya Ajeng terus terang.

“Kamu terbangun rupanya. Ya, Labuhan Merapi akan berlangsung 2 Minggu lagi. Jadi ayah harus mulai merawat keris pusaka ini dari sekarang,” balas Ayah Ajeng yang bernama Soetedjo. Pandangan Ajeng beralih ke arah sebuah foto besar yang terpajang di ruang tengah rumah mereka.

Di dalam foto itu, Soetedjo bersama beberapa orang lainnya tersenyum bangga seraya membawa banyak barang tertutup kain dengan lambang keraton. Mereka nampak gagah dengan beskap berwarna biru tua yang dipadukan dengan bawahan jarik batik. Keris-keris yang terselip di pinggang mereka menambah karisma yang terpancar penampilan mereka.

Suasana rumah yang tenang mendadak jadi lebih dingin dengan embusan-embusan angin yang entah datang dari mana. Ajeng langsung menatap ke arah keris yang masih di pegang ayahnya. Kini, keris itu memancarkan aura kebiruan dan menghasilkan embusan angin yang cukup kuat.

“Kalau begitu, Aku akan tidur lagi, Ayah,” ucap Ajeng dan langsung kembali masuk ke kamarnya dengan tergesa-gesa.

“Ha! Sampai kapan anak itu akan terus-terusan menyangkal anugerah yang di dalam dirinya,” gumam Soetedjo seraya tersenyum misterius.

***

Ajeng merupakan anggota senior Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) yang ada di kampusnya. Seperti biasa, tiap jam kuliah kosong, dia akan menghabiskan waktu di basecamp MAPALA bersama dua sahabatnya yaitu Candra dan Alfian. Setiap liburan semester datang, mereka pasti akan membahas tentang rencana pendakian gunung selama liburan.

“Sayang ya, liburan semester kali ini hanya sebentar. Sepertinya kita tidak bisa mendaki gunung yang jauh,” gerutu Candra yang sedang rebahan santai di Hammock.

“Ya, mau bagaimana lagi. Kita mendaki gunung yang dekat-dekat saja untuk liburan semester kali ini,” balas Alfian.

Saat sedang serius membahas rencana pendakian, dari arah kantin, seorang lelaki berwajah blasteran sedang berlari kencang menuju basecamp dengan wajah panik. Ajeng bersama kedua sahabatnya menatap lelaki itu dengan wajah heran.

“Kenapa lo, Belva? Lari-larian kayak habis dikejar setan saja,” sindir Candra dengan tawa mengejek andalannya.

“Ini sih lebih seram dari Setan, Candra. Bella mengamuk karena gue lebih sering mendaki gunung dibandingkan menghabiskan waktu sama dia. Padahal, bulan ini, kita mau Anniversary yang ke-3,” ungkap Belva dengan mata sendu. Ketiga sahabatnya itu hanya mengangguk-angguk mendengarkan curahan hati Belva tentang masalah percintaannya.

“Turut berduka cita buat Lo. Ternyata menyandang status jomblo abadi kayak gue tidak seburuk itu,” gumam Candra.

Belva lanjut mengungkapkan semua masalah percintaannya tanpa rasa malu dengan kecepatan yang tak masuk akal. Ajeng seperti mendengarkan siaran berita di TV yang dikejar waktu terbatas, terus menerus dan tanpa ada jeda. Belva mengakhiri semua unek-unek yang sepanjang kereta api itu dengan permintaan yang cukup mengagetkan.

“Ajeng, kalian berkumpul di sini pasti sedang membahas rencana pendakian gunung di liburan kali ini kan? Boleh tidak kali ini, gue mengajak Bella untuk ikut kita mendaki? Dia bilang ingin coba merasakan sendiri hobi yang membuat gue jarang menghabiskan waktu sama dia sebagai perayaan Anniversary kita yang ke-3,” pinta Belva seraya mengatupkan kedua tangannya di dada tanda memohon.

Ajeng merupakan ketua tim mereka selama pendakian sejak lama. Jadi, semua masalah rencana pendakian harus mendapatkan izin darinya. Walaupun mereka bersahabat dengan Ajeng, namun mereka tetap menghormatinya selaku ketua tim setiap pendakian. Biasanya, Ajeng begitu senang jika ada orang baru yang ikut mendaki dengan tim mereka.

Namun, entah mengapa, kali ini, hati Ajeng seperti berat untuk menerima permintaan itu. Dia mencoba berpikiran positif dan melenyapkan semua keraguan yang ada di hatinya. Dia menerima permintaan Belva dengan tangan terbuka. Belva begitu senang karena bisa mendaki bersama kekasihnya.

“Oke, jadi sudah diputuskan jika kita akan mendaki berlima kali ini. Sekarang tinggal ke mana kita akan mendaki? Jika gunung yang dekat berarti ada Gunung Merbabu, Gunung Andong dan Gunung Merapi. Mau pilih yang mana?” tanya Alfian.

“Hem, kita sudah pernah mendaki Gunung Merbabu dan Gunung Andong. Jadi, bagaimana jika kali ini kita coba mendaki Gunung Merapi saja?” usul Belva penuh semangat.

“Deg!”

Mendengar nama Gunung Merapi, Ajeng langsung teringat dengan foto ayahnya yang terpajang di ruang tengah. Foto saat Soetedjo mengemban tugas untuk mengantarkan Labuan ke Merapi. Sebenarnya, sudah sejak lama dia begitu penasaran dengan kegagahan gunung tempat Sang Ayah sering ditugaskan oleh pihak Keraton Ngayogyakarta.

“Aku setuju! Kali ini, mari kita mendaki Gunung Merapi saja,” putus Ajeng tanpa pikir panjang dengan antusias.

***

Hari yang ditunggu-tunggu tiba, Ajeng dan Candra sedang minum teh hangat sambil menunggu kedatangan Belva beserta pacarnya yang bernama Bella. Mereka turun dari motor sambil berpegangan tangan mesra.

“Ya Tuhan, tolong kuatkan iman hamba dari melihat kebucinan mereka selama pendakian ini,” gumam Candra begitu serius. Ajeng hanya terkekeh kecil melihat tingkah lucu sahabatnya. Belva mengenalkan Bella kepada mereka bertiga dengan bangga. Setelah berkumpul, mereka memutuskan berangkat ke Basecamp New Selo dengan mobil Alfian.

Selama perjalanan, Ajeng duduk di sebelah Alfian yang bertugas mengendarai mobil. Di kursi belakang ada Bella Belva dan Candra. Entah mengapa, Ajeng merasa begitu mengantuk padahal semalam dia tidak begadang. Sedetik kemudian, Semuanya gelap. Ajeng mencoba membuka mata dan dia begitu kaget karena sudah tidak berada di dalam mobil.

Dia berada di tengah hutan lebat. Tepat di bawah kakinya, dia merasakan air mengalir yang cukup deras. Ajeng menatap sekeliling, matanya membuka lebar. Di tiap pepohonan lebat itu, ada mata merah yang menyala.

Ajeng merasa jantungnya berdegup tak karuan. Lama kelamaan mata merah itu menunjukkan siluet putih dan mirip dengan permen Sugus- Permen kesukaan Ajeng sewaktu kecil.

“Po-pocong? Ba-bagaimana bisa ada pocong sebanyak ini!” teriak Ajeng yang segera berlari menjauhi pepohonan itu. Dia menoleh ke arah belakang berharap kawanan pocong itu tidak mengejarnya. Namun, dia salah.

Puluhan pocong putih itu melesat dengan cepat berusaha mengejar Ajeng dengan seringai mengerikan dari bibir berhias taring panjang dan tatapan mata merah yang bengis.

“Cepat! Cepat! Aku harus lari lebih cepat!”