Suasana di ruangan ini begitu sesak. Tenggorokanku rasanya seperti tercekik. Aku tidak berani mengangkat kepala dan menoleh siapa pun bahkan Pengacara yang sedang berada tepat di sampingku. Sekujur tubuhku bergetar. Degup jantungku tak bisa kuatur. Rembesan tetes keringat yang mulai mengucur sedari tadi hanya membuatku semakin tak tenang. Padahal ada dua buah AC yang nyala secara bersamaan. Aku gelisah. Pusing. Rasanya ingin menghilang dari muka bumi ini. Sudah berjam-jam aku di sini tanpa ada sepatah kata yang bisa keluar dari mulutku. Semuanya terasa kelu.
Hari ini, adalah hari yang tidak pernah aku bayangkan akan datang. Lebih tepatnya hari yang akhirnya datang juga.
Di depan sana ada beberapa orang yang sama sekali tidak aku kenal. Mereka mengenakan pakaian dengan ukuran besar berwarna merah dan hitam. Hampir semuanya berusia paruh baya tapi sirat matanya begitu tajam.
“Sesuai dengan yang di atur di dalam UUD pasal 338 KUHP, dengan ini terdakwa dijatuhi hukuman penjara maksimal 15 tahun dengan kebebasan bersyarat. Tok… tok… tok!”
Suara berat Hakim seketika menggema. Aku menghela napas berat. Kedua bola mataku begitu panas. Kurasakan bukan lagi keringat yang keluar, melainkan air mata yang tumpah tanpa kusadari. Kupejamkan sebentar lalu dua orang berpostur besar berseragam datang dengan pelan membopongku ke sebuah tempat.
Keputusan pengadilan akhirnya sudah ditentukan. Tidak banyak hal yang bisa aku lakukan. Dengan begini, akhirnya aku bisa bebas. Bebas dari jerat laki-laki bajingan itu.
Dia yang awalnya sangat aku cintai. Tempat di mana aku bertumpu, menumpahkan segala masalah hidup. Dia yang sangat manis dan selalu memberikan apa yang aku butuhkan. Dia yang selalu ada, dan dulunya adalah orang yang aku tidak bisa hidup tanpanya. Sekarang, dia pantas menerimanya. Dia pantas menerima hukuman itu. Dia pasti hidup dengan damai di sana.
Dan Aku tak akan pernah menyesalinya.
“Maaf. Bisa saya bicara dengannya?” Seseorang tiba-tiba memotong jalan kami. Kuangkat kepalaku sedikit.
“Chandra….” Kedua orang berseragam di sampingku tadi menepi tidak jauh dari tempat kami berdiri.
“Kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya. Kurasakan kecemasan di sirat mata pria itu.
Aku menggangguk pelan lalu tersenyum dengan susah payah. Sisa linangan air mata tadi dengan cepat kuhapus.
“Mulai hari ini, aku akan menjalani hari yang baru. Kehidupan baru. Kamu gak usah khawatir. Aku baik-baik saja,” ucapku lirih.
Chandra lalu memelukku. Bisa kurasakan pelukannya begitu hangat dan menenangkan. Degup jantungnya bagaikan irama drum yang melow. Aroma parfumnya tercium sangat khas. Detik berikutnya aku harus rela melepaskan pelukan ini. Aku tidak mau lagi membebani siapapun, bahkan orang yang aku sayangi sekalipun.
“Aku yakin kamu pasti bisa bertahan.” Chandra masih menatapku dengan wajah yang sendu. Sinar matanya bagaikan cahaya terang yang datang menyelimuti kegelapan.
“Terima kasih,” jawabku singkat.
“Keysar pantas menerima semua itu.” Dia menjeda lalu berkata kembali, “Rania. Dia sudah tidak di sisimu lagi, tapi masih ada aku. Aku akan menunggu sampai kamu siap,” sambungnya lagi.
Aku mengganguk pelan. Bersamaan dengan itu, Chandra kembali memelukku untuk yang terakhir kalinya. Senyum tipis terbias di garis bibirku. Begitupun Chandra. Detik berikutnya, kulangkahkan kembali kakiku dengan berat bersama orang berseragam tadi.
Aku tahu ini semua sudah berakhir, tapi sebenarnya tidak.