Top 5

Top 5

Nur Asiyah

4.9

 

TOP 5

Simpanan Dekan Fakultas

“Eh, minggu lalu aku bertemu Wendy dengan dosen itu. Wendy menangis dan dosen itu menepuk-nepuk bahunya. Sepertinya mereka habis bertengkar dan berbaikan kembali,” ujar seorang gadis dengan mimik wajah tak suka. Gadis itu berjalan dengan kedua sahabatnya di area jantung fakultas.

“Pasti Wendy menggoda dosen itu lagi. Rumornya, Wendylah yang mengejar-ngejar pak dosen.”

“Cantik sih, tapi kok dalamnya busuk,” tanggap kawannya dengan tawa tanpa dosa.

Ucapan ketiga gadis yang berjalan di koridor itu memenuhi udara. Mereka terus tertawa-tawa hingga aku bersama seorang teman berjalan mendahului mereka. Aku sengaja membuat kakiku melangkah anggun, tidak begitu cepat, juga tidak begitu lambat. Mengetahui sosokku di sisi mereka, seketika mereka diam. Hanya berbisik dan menyenggol pundak untuk menghentikan tawa lainnya. Mereka tidak memiliki persiapan atas kedatanganku. Sangat, sangat terlihat sifat pengecut. Padahal, aku hanya lewat dan tidak berhenti sedetik pun di hadapan mereka. Mereka melangkah cepat untuk kabur dan berusaha menjauh.

“Hai, Kak Wendy,” sapaan seseorang meluncur mulus dari arah yang berlawanan.

Senyum. Hanya senyum yang bisa kusuguhkan pada orang yang tak kukenal. Semua ini telah menjadi rutinitasku selama di kampus. Ketenaran yang entah dari mana datang. Baik laki-laki, maupun perempuan selalu menyapaku meski itu di tengah-tengah obrolan dengan teman. Seharusnya aku tidak memprotes tentang hal ini. Karena lebih baik sapaan dan senyum tulus yang datang, daripada hinaan dan tatapan jijik. Seperti yang kudapatkan beberapa menit sebelum ini.

“Kamu kenal mahasiswa yang barusan nyapa, Wen?” tanya kawanku.

“Jika aku kenal, pasti aku membalas sapaan dan menyebut namanya.”

“Haruskah aku menyapamu seperti itu lain kali? Aku juga ingin lebih dikenal.”

“Jika itu kamu, aku akan langsung menghentikan pembicaraan dan ikut denganmu. Lagipula popularitasmu itu sudah menembus langit. Masih kurang?”

Temanku tersenyum. Tidak seratus persen senang. Tapi dia memiliki kebanggaan. Aku mengenalnya sejak semester kedua. Kami menjadi dekat karena reputasi kami yang sedikit aneh yakni, susah untuk didekati. Kawanku adalah mahasiswa baru yang dilempar dari fakultas sebelah. Dia bisa masuk dengan mudah, tentu saja. Tebak karena apa?

“Wendy, nanti malam ada pembukaan gedung baru di daerah Ir. Muhammad. Kamu mau gabung? Aku akan bilang ke sekretaris ayah nanti.”

“Sepertinya tidak. Aku ada urusan dengan Pak Jimin.”

“Lagi? Bukankah kamu terlalu sering bersamanya? Apa kamu tidak dengar cemoohan tiga gadis tadi? Aku tidak habis pikir denganmu.”

“Ya, aku sebenarnya tidak tahan dengan semuanya. Tapi aku senang dengan kehadiran Pak Jimin. O iya, kamu ada kelas siang ini?”

“Yup, membosankan sekali. Aku yakin kamu free sekarang.”

“Ya. Aku tidak ada kelas lagi. Lebih baik aku ke kantor dekan sekarang. Jadi, aku bisa pulang ke kos lebih cepat.”

“Hati-hati dengan pandangan dan gunjingan orang. Lebih baik kamu menutup mata dan budeg-kan telingamu itu selama menuju ruang dekan.”

“Serius, itu saran yang bagus sekaligus buruk, Seulgi. Aku pergi.”

Seulgi mengangguk. Dia juga bersiap untuk pergi menuju gedung Jurusan Seni. Siang ini cuaca sangat teduh. Namun, tidak ada tanda-tanda hujan. Mengingat ucapan Seulgi, aku memang tidak sepenuhnya dikenal baik oleh warga kampus. Dengan wajahku yang cantik, proporsi badanku yang pas, dan nilai akademik yang memuaskan, aku masih memiliki celah sangat besar.

Asal tahu saja. Saat ini aku dikenal sebagai simpanan dekan fakultas. Tentu, rumor itu bukan hanya mahasiswa yang menelan. Banyak dosen yang menginginkan jawaban dariku, tetapi aku lebih suka mengiyakannya daripada berargumen yang tidak perlu.

“Hai, Wen. Masih sibuk di kampus?”

“Iya nih. Duluan ya.”

Satu dari dua orang menyapaku. Sangat ceria dan aku membalasnya serupa. Lalu, lima detik kemudian mereka mulai saling berbisik. Aku sudah menduga jika rumor di antara aku dan Pak Jimin akan berlangsung lama. Mungkin akan tetap ada selama aku masih di kampus ini, juga selama Pak Jimin di sini. Beberapa di antara mereka mencemoohku karena tidak terima adanya hubungan antara mahasiswa dan pejabat kampus. Selebihnya, mereka merasa iri karena aku bisa mendekati Pak Jimin, sementara mereka tidak.

Setelah menyusuri koridor yang menghubungkan gedung U2 dengan U4, aku sampai di gedung di mana pejabat kampus berada. Aku langsung naik ke lantai tiga yang dikhususkan untuk ruang dekan. Banyak yang istimewa di sini, karena ruang di lantai tiga penuh dengan keindahan. Beberapa lukisan bersejarah tepatri di sana. Ada juga beberapa vas bunga besar dan benda-benda menarik lainnya. Dekan sendirilah yang meminta lantai tiga dibuat sedemikian rupa. Sehingga mahasiswa yang mampir ke ruangnya akan tampak nyaman dan betah.

“Siang, Bu Reeka. Pak Jimin ada?”

“Ada, tadi Pak Jimin sudah berpesan jika Wendy mampir, langsung masuk saja.” 

“Baik. Terima kasih, Bu.”

Sesuai instruksi, aku langsung masuk dengan mengetuk pintu sesaat. Saat kubuka pintu, Pak Jamin sedang sibuk membenahi kancing kemeja. Siang ini dia memakai kemeja biru telur bebek dan dasi navy. Di sela-sela kesibukannya merapikan pakaian, dia memandangku dan tersenyum. Dia mengisyaratkan untukku mendekat dan aku tersenyum.

“Ckckck … bagaimana jika bukan aku yang masuk tadi? Mereka pasti akan pingsan karena melihat sebagian roti sobek itu.”

“Aku yakin kamu yang datang, jadi aku tidak banyak mempersiapkan diri,” jawab Pak Jimin sembari tertawa asal.

“Mau kemana? Kok rapi.” tanyaku santai.

“Aku harus pergi. Ada rapat dengan rektor.”

“Bagaimana dengan pembaharuanku?”

“Tentu saja kita harus melakukannya sekarang. Kenapa kamu masih bertanya?”

Aku tersenyum. Seperti biasanya, aku mengurai rambutku yang terkucir dan berbaring di sofa. Aku segaja memakai baju longgar agar mudah menaikkan lengan baju untuk pembaharuan. Saat ini Pak Jimin mengambil peralatannya dan mendekatiku. Setelah meletakkan seperangkat botol berisi cairan dan suntik, dia membenahi kaca matanya.

“Ada keluhan hari ini?”

“Kamu ingin mendengarnya?”

“Iya. Aku ingin tahu separah apa.”

“Hhhmm … ada tiga mahasiswa angkatanku yang sedikit membicarakanku tadi.”

“Karena?”

“Karena kesalahpahaman yang terjadi tanpa kita jelaskan selama ini.”

“Mereka perempuan?”

“Iya.”

“Sekelas denganmu?”

“Tidak. Mereka anak Sastra Jepang.”

“Apa aku mengajar mereka?”

“Kenapa kamu menanyakannya padaku? Jangan bilang kamu tidak mengingat kelas apa saja yang kamu masuki.”

Pak Jimin tertawa. Dia memeriksa kembali suntiknya dan mulai menyuntikkan cairan itu pada pipi terluar sebelah kanan. Aku memejamkan mata dan mengepalkan tanganku. Sakit, tapi dengan itu aku bisa merasakan kebahagiaan.

“Kamu ingin aku melakukan sesuatu pada mereka?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena aku tahu mereka hanya cemburu.”

“Apa aku setampan itu untuk dicemburui.”

“Sepertinya iya.”

Kuakui. Aku sering membuat candaan untuk dosenku satu itu. Meski sesungguhnya tidak berefek apapun, dia tetap tertawa dan menikmatinya. Ben Jimin, biasa dipanggil Jimin adalah dekan sekaligus dosen Sastra Indonesia. Dia berumur lima puluh tahun, tetapi wajahnya sepadan dengan mahasiswa tertampan di kampus kami. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana dia bisa melakukan itu. Namun, pertanyaan itu pupus dan berubah menjadi perasaan kagum. Dengan wajah seperti itu, ditambah jabatan dan kemampuannya dalam menakhlukan hati, dia sangat berbahaya.

Usai berbincang sebentar, dia mulai menyuntikkan cairan tanpa warna ke pipi terluar bagian kiri. Rasa sakit itu kembali lagi, tetapi aku masih bisa menahannya selama dua tahun ini.

“Kita jadi makan bareng nanti malam?” tanyaku untuk mengalihkan rasa sakit.

“Kamu tidak ke acara pembukaan gedung baru ayah Seulgi?”

“Aku menolak karena kamu bilang ingin makan bersama.”

“Kita bisa makan bersama di acara ayah Seulgi.”

“Kukira kamu ingin makan di tempat biasa.”

“Baiklah, jam tujuh malam aku jemput. Kamu harus siap. Aku tidak mau menunggu dan menjadi sorotan beberapa teman kosmu.”

“Hei, mereka sangat mengagumimu. Mereka bilang kamu sangat tampan dan cocok denganku.”

“Aku yakin mereka tidak tahu jika umurku 50 tahun.”

“Dan juga dekan Fakultas Bahasa dan Seni.”

Kali ini, Pak Jimin memeriksa botol kecil berisi cairan merah. Bukan darah, tetapi cairan itu berwarna darah. Dengan hati-hati dia mengarahkan suntiknya pada lekukan lengan tangan. Dia mencari nadiku dan melepaskan cairan itu dengan benar. Jika dibandingkan suntikan sebelumnya, suntikan kali ini lebih ringan. Cairan ini berfungsi untuk menyeimbangkan rasa sakitku. Namun, meskipun cairan ini menghilangkan rasa sakit, dia tidak diperuntukkan seketika setelah suntikan cairan bening masuk ke tubuhku. Karena jika cairan merah ini segera masuk, suhu tubuhku malah meninggi dan efeknya aku akan jatuh sakit selama seminggu. Bagaimana aku tahu? Karena aku pernah memaksa Pak Jimin untuk melakukannya.

“Selesai, Cantik. Kamu tidak akan memiliki masalah wajah dalam seminggu ke depan. Selain itu, ini untukmu. Gunakan seperti skincare pada umumnya. Ini akan membuatmu semakin cantik.” Pak Jimin mengambil sesuatu dari mejanya. Dia memberikan beberapa sheetmask dan sebuah produk moisturizer.

“Terima kasih. Aku benar-benar tidak tahu apa yang bisa terjadi jika kamu tidak ada.”

“Sudah, jangan katakan pujian-pujian itu padaku. O iya, jangan lupa untuk tidak memakai skincare selain pemberianku. Jika kamu terpaksa membeli lainnya, silakan. Tapi, jangan gunakan. Aku tidak mau melakukan pembaharuan dua kali dalam seminggu.”

“Siap, Bos.”

“Aku mau ke gedung rektorat sekarang. Mau kuantar pulang?” tawar Pak Jimin sembari membereskan peralatan.

“Kamu mau membuat semua orang berasumsi lagi karena kita jalan bersandingan?”

“Selama ini aku melihat banyak mahasiswa yang berjalan beriringan. Banyak juga pejabat kampus yang berjalan berbarengan. Apa salahnya?”

Aku menyeringai. Pak Jimin tidak pernah peduli dengan pandangan orang. Permasalahannya, tidak ada yang berani berkata buruk di hadapannya. Sementara Pak Jimin tidak akan menghardik siapa pun jika orang-orang tersebut tidak menunjukkan sisi buruk mereka di depannya.

Akhirnya, aku dan Pak Jimin keluar dari ruang dekan. Tidak usah ditanya, hampir seluruh orang yang kami lewati menatap dengan tatapan mengintimidasi. Tidak ada kedipan sedikip pun. Mereka terus memandang bahkan saat kami telah berbelok ke parkiran. Sesungguhnya, kami tidak mendobrak pagar apapun. Pak Jimin adalah duda. Dia telah berpisah dengan sang istri lima tahun lalu. Dia memiliki satu anak yang tinggal di London. Mantan istrinya pun tidak tinggal di Indonesia. Dia tinggal di Toscana, Italia. Sementara aku adalah gadis biasa yang tinggal di kota. Aku berkenalan dengannya setelah aku dinyatakan lulus seleksi universitas.

“Kamu lihat?” tanyaku mencoba membenarkan pernyataan. Pak Jimin mulai menebar pandang.

“Iya. Sepertinya penderitaanmu memang cukup parah. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan rahasia kita di ruang publik. Apapun yang kamu mau, aku akan memenuhinya kecuali yang satu itu.”

“Tenang saja. Hal yang kualami sekarang tidak lebih parah dari masa laluku. Aku juga tidak mau rahasia antara kita terbongkar.”

“Jika aku menawarkan pundakku sebagai imbalan rasa sedihmu selama ini, apa kamu mau?”

“Untuk masalah pundak itu, sepertinya aku tidak akan meminjamnya dalam waktu dekat.”

“Kenapa?”

“Ada beberapa orang yang mengira aku menggodamu dan tidak rela kamu tinggal pergi. Karena itu aku menangis di pundakmu. Sepertinya mereka tahu saat kita berhenti di kedai es krim minggu lalu.”

“Sial, rumor di luar ternyata sangat jahat ya.”

Aku tersenyum kecut. Pak Jimin seakan-akan tahu penderitaanku. Padahal, dia tidak mendapatkan dampak sedikitpun. Dia tidak bisa disentuh dengan masalah apapun. Apalagi hanya rumor murahan yang mengungkungku selama ini.

Bersambung ….