Toko Cinta Tuan Putri

Toko Cinta Tuan Putri

Mbak_Ai

4.8

Pernah merasakan bullying?

Aku tidak mengira akan menjadi seseorang yang mengalaminya. Tadi pagi, saat mengenalkan diri sebagai siswa baru, tidak ada sikap penolakan yang terlihat dari tiga puluh anak perempuan di kelas. Namun, sepulang sekolah saat aku baru saja menginjakkan kaki ke dalam gedung asrama, ada enam murid yang langsung menarik tanganku untuk digiring melewati lorong-lorong panjang. 

Pertanyaan “mau kemana?” atau “ada apa?” hanya dibalas dengan jari telunjuk yang diletakkan di depan bibirku, juga tatapan tajam mereka agar aku berhenti banyak tanya. 

Aku berusaha untuk tidak memasang wajah ketakutan, juga tidak bersikap gegabah dengan berteriak minta tolong. Aku hanya diam dan santai karena sesungguhnya aku juga penasaran sebenarnya apa yang akan mereka lakukan padaku. 

Anggap saja aku gila, tapi suasana sekolah seperti ini memang aku impikan. Biasanya aku hanya akan melihat semuanya dari drama-drama yang kutonton di rumah. Mungkin efek tidak memiliki teman dan pengalaman apa pun karena homeschooling hingga momen yang bagi orang lain menegangkan menjadi hal yang menarik di mataku.

Mereka membawaku menaiki tangga, lalu berhenti tepat setelah anak tangga ke sepuluh. Aku mengira, mungkin butuh sepuluh anak tangga lagi supaya bisa mencapai lantai dua. 

“Apa kamu punya pacar?” Murid yang tadi berjalan paling depan bertanya setelah berdiri tepat di depanku. Punggungku membentur dinding karena dorongan keras darinya. Lumayan sakit dan mengejutkan, tapi tidak lebih kaget ketika aku mendengar pertanyaan itu. 

“Apa aku harus mengulang pertanyaan?” 

Mataku melebar. Tidak. Jangan sampai dia mengulang pertanyaan. Sudah menjadi hal dasar jika kita tidak boleh membuat lawan bicara mengulang pertanyaan demi kesopanan dan tata krama. 

Lagi pula, aku tidak mau dianggap bodoh. Jadi dengan kaku aku menggelengkan kepala dan berujar dengan pelan, “Aku nggak punya.”

Aku merasa lega karena jawaban yang kuberikan diapresiasi dengan anggukan mengerti, tapi ... dia kembali melemparkan tatapan tidak menyenangkan.

“Sayang sekali. Padahal murid baru harus memperkenalkan pacarnya di Hari Valentine nanti,” Dia berkata dengan nada sedih yang dibuat-buat. Kerutan di dahiku semakin bertambah.

“Tapi aku nggak punya pacar,” jawabku, untuk mempertegas. Mataku melirik name tag di seragamnya; Liona Anatasya Sharif.

“Itu urusanmu. Yang jelas pertemuan Hari Valentine nanti kamu harus membawa pacarmu ke hadapan kita semua. Itu adalah syarat kamu bisa diterima di pertemanan kami.”

Mereka membalikkan badan, bersama-sama berjalan menaiki tangga. Meninggalkanku dengan tanda tanya besar. 

Ini … sekolah apa sih?

***

Teman sekamarku adalah seorang perempuan berambut pendek yang memiliki samudera lesung pipi yang dalam ketika tersenyum lebar. Dia menyambutku dengan pelukan hangat saat aku baru membuka pintu. 

“Namaku Karin, mulai saat ini kamu sahabatku!” Karin berkata dengan penuh semangat, berbeda denganku yang masih terlalu canggung untuk menanggapi. “Hehe maaf, kamu kaget ya. Aku cuma terlalu bahagia karena punya temen sekamar.” Karin lanjut berbicara dengan melangkah mundur, sontak aku jadi merasa bersalah.

“Bukan. Bukannya gitu—”

“Nggak masalah kok. Aku tahu kamu perlu beradaptasi dulu.”

Entah mengapa ada rasa lega tersendiri saat aku menjatuhkan pandangan pada mata Karin. Dia bahkan dengan cepat menarik koper yang berada di tanganku untuk diletakkan di tengah ruangan. 

Aku ikut berjalan masuk setelah menutup pintu. Mataku berusaha menyelam ke seluruh penjuru ruangan. Kamar ini cukup bagus—luas dan terasa hangat. Dua tempat tidur single bed, lemari, meja belajar, juga karpet tebal di tengah ruangan. 

“Aku bantu beres-beres, boleh kan?” Pertanyaan Karin membuatku kembali berfokus padanya. Dia sudah duduk bersila di atas karpet. 

Aku hanya mengangguk dan ikut duduk di atas karpet berbulu itu sambil membuka koper, lalu suara ‘wow’ dari mulut Karin terdengar mengiringi.

“Barangmu bagus-bagus! Ada banyak foto lagi!” Karin berkata senang. Dia segera menjulurkan tangannya meraih satu pigura yang baru saja kukeluarkan dari koper.

“Waahh! Siapa ini?” 

Sikap Karin yang polos dan penuh ekspresi ini sangat sulit untuk tidak membuatku terkikik geli. Lihatlah bagaimana dia menyentuh rambut merah Jihan di dalam foto itu, seperti menyentuh barang antik.

“Dia Jihan.”

“Sahabatmu?”

Aku mengangguk, kemudian menggeleng. “Aku berharap dia masih menganggapku sebagai sahabat,” jawabku, dengan senyum yang tiba-tiba terasa kaku.

“Apa karena masalah itu kamu terlihat kacau?” tanya Karin.

“Apa aku terlihat kacau?” Aku balik bertanya.

Karin menganggukkan kepala. Aku hanya menghela napas panjang dan mengulas senyum kecil. Ternyata aku tidak berhasil menyembunyikan kesedihanku dari Karin. Padahal sejak tadi aku mati-matian memasang wajah tegas dan dingin agar tidak ada yang memandangku dengan remeh, atau melihat air mata yang sebenarnya selalu bersembunyi dengan apik di balik retina. 

“Ada apa?”

Dan cukup dengan pertanyaan itu, Karin telah mengetuk benteng pertahananku hingga membuat air mata yang mati-matian kupendam mengalir begitu saja.

“Aku benci … aku benci di sini.”

***