Aku menghembuskan nafas dalam. Mobil yang ku kendarai nyaris tak bergerak selama lebih dari dua jam. Sejak bandara dipindahkan ke Kulon Progo, jalan Sentolo lebih mirip seperti puncak di akhir pekan. Terlebih dengan adanya proyek pengerjaan jalan serta kondisi jalan yang rawan kecelakaan. Seperti hari ini, kecelakaan mobil membuat antrian kendaraan mengular. Perjalanan Kulon Progo ke Sleman yang harusnya dapat ditempuh kurang dari satu jam, kini bahkan menjadi tiga jam lebih.
"Selamat pagi, Tuan Putri," sapa seseorang yang berada di sampingku. Hadi, Mahasiswa kedokteran UGM, Sahabatku semasa kanak-kanak. Tidak. Tidak ada hubungan romantis antara kami ditengah banyaknya isu teman tapi menikah. Meski ku akui, aku sering menyebut nama Hadi Prayitna untuk mengusir banyak lelaki.
Aku menatapnya sekilas. Hadi meledekku di waktu yang kurang tepat. Mengambil penerbangan malam dan terjebak macet membuatku nyaris tidak tidur. Hadi yang menawarkan diri untuk menjemputku di Bandara Nyi Angeng Serang nyatanya memilih tidur di kursi penumpang dan memaksaku menyetir mobil seorang diri. Aku ingin mengumpat, tapi aku tidak bisa melakukannya.
Kenapa? Karena aku adalah seorang tuan putri. Benar-benar seorang tuan putri meskipun aku tidak menaruh gelar Raden Roro di depan namaku. Aku terlahir sebagai seorang bangsawan darah biru dengan sendok emas di tanganku.
Setelah berjibaku dengan jalan aspal, mobil SUV yang ku kendarai memasuki sebuah halaman. Rumah dengan nuansa hijau kuning itu adalah rumah nenekku. Tempat yang akan menjadi kediamanku selama empat tahun mendatang.
Meski hampir lima tahun di Jakarta, aku tidak serta merta dapat melupakan ajaran yang dianut nenekku, Nenek Ilyana. Setelah turun dari mobil, dengan sendirinya kakiku melangkah menuju padasan di sisi kanan rumah. Aku segera membasuh muka, tangan, dan kakiku. Air dingin cukup membuat kesadaranku kembali.
Nenenk Ilyana telah menantiku di depan pintu utama. Senyum teduh dan penuh kelembutan menghiasi wajahnya. Nenek Ilyana segera merentangkan kedua tangannya untuk memelukku-cucu semata wayangnya. Hanya sebentar, meski hanya sebentar aku merasakan kehangatan tulus seorang nenek pada cucunya. Karena setelahnya;
"Loh, kamu kok gendutan? Ndak diet ta?" ucapnya. Badanku diputar-putanya. Matanya menatap setiap lekuk tubuhku seperti sebuah sensor. Tidak. Aku tidak segendut itu. Berat badanku masih 65 kg dengan tinggi badan 160 cm.
"Ndak. Ini tidak bisa dibiarkan. Kamu harus ikut Ninek sowan minggu depan," lanjutnya. "Diet!" ucapnya. Sabda pandita ratu. Setiap ucapan Nenek Ilyana adalah perintah mutlak bagi anak dan cucunya. Tentu saja termasuk aku di dalamnya.
Aku melirik Hadi sekilas. lelaki setahun lebih tua dariku itu sudah lebih dulu melipir ke paviliun. Kulihat dia mengepalkan kedua tangannya seolah memberi semangat padaku. Ya, aku harus semangat kedepannya. Termasuk semangat menghadapi kenyataan.
***
Sowan yang dimaksud oleh Nenek Ilyana adalah berkunjung ke kediaman keluarga keraton. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, aku adalah seorang gadis darah biru. Kami tidak akan berkunjung ke keraton Yogyakarta yang kalian kenal. Tempat itu kini bukan lagi kediaman resmi, lebih kepada tempat wisata dan museum budaya. Kami mengunjungi rumah lain, yang bisa dikatakan cukup rahasia di daerah Bantul.
Sejujurnya aku tidak menyukai pertemuan ini. Selain harus beramah tamah dengan orang yang tidak terlalu aku kenal, nenek buyutku sebenarnya telah memilih keluar dari lingkaran ini. Ketika masih muda nenek buyutku memilih menikah dengan seorang santri dan mendirikan sebuha pondok pesantren di Wonosobo. Setelah itu, keluarga kami lebih mirip keluarga ndalem. Akan tetapi Nenek Ilyana menikahi seorang garis keturunan darah biru dan kembali masuk dalam lingkaran ini.
Lihatlah betapa banyaknya mobil mewah keluaran terbaru yang memenuhi halaman. Tidak sedikit diantaranya bertuliskan hybrid. Seolah membawa kesan persaingan siapa si paling kaya.
Nenek membawaku duduk di salah satu kursi. Kami dengan khikmat mendengarkan sepupu-sepupu kakekku membanggakan cucu-cucu mereka yang tengah menempuh kuliah di universitas swata. Nenekku memilih diam, karena sejujurnya beberapa bulan lalu aku mengecewakannya. Beliau ingin aku diterima sebagai mahasiswa kedokteran seperti Hadi. Namun, diam-diam aku justru memilih jurusan keguruan di Universitas Negeri.
"Piye putumu, Il? Ketompo nandi?" tanya salah seorang di antara mereka. (Bagaimana cucumu, Il? Diterima dimana?)
"Po ra ketompo?" seloroh yang lain. Nenekku urung menjawab. barangkali enggan atau mungkin juga memang malu. Apa yang bisa dibanggakan dari cucu perempuan semata wayangnya ini? cantikpun tidak. (Atau tidak diterima?)
"Daftar tempatku aja, Budhe. Nanti gampang uangnya. Nggak mahal kok. Sekitar 100 juta aja." timpal seseorang yang kutahu bekerja sebagai Dosen Universitas Swasta.
"Hm," nenekku berdehem. Tiba-tiba ia menunjukkan senyumnya yang lain. Bukan senyum hangat yang biasa ia miliki. Aku tahu, meski aku mengecewakannya, ia tidak akan membiarkan aku dan nama baik keluarganya diinjak-injak begitu saja.
"Sorry ya, Padma," nenekku mulai bicara. "Cucuku ini cerdas. Dia tidak butuh menyogok hanya untuk masuk universitas. Terlebih lagi universitas swasta." Nenek membenarkan posisi jarit yang di pakainya.
"Aku ingin Aulia menjadi ibu yang baik dan bermartabat. Itu sebabnya aku minta ia sekolah keguruan. Di Universitas Negeri, dan diterima di jalur tanpa tes." Nenek memberikan penekanan penuh pada jalur tanpa tes yang kudapatkan. Meski masih ada yang berseloroh tentang betapa kecilnya gaji guru, setidaknya nenekku telah membungkam mulut Tante Padma.
Aku dan nenek semakin jumawa ketika acara hampir berakhir Tante Padma menghampiri kami. Seperti yang sudah-sudah, ia meminta pinjaman sejumlah uang dengan janji akan dikembalikan bulan depan. Nenekku memberikannya bukan karena baik, tapi karena ia merasa menang. Nenekku merasa berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai darah biru meskipun ia seorang perempuan.