Titik Waktu

Titik Waktu

DhiAZ

5

“Bunda bisa pulang ke Ciamis pas lebaran nanti?”

Permintaan itu membuat hati Izza mencelus. Matanya tertunduk, terarah kepada lantai serta kakinya yang terbalut kaus kaki yang bergerak gelisah. Kata tidak sudah berada di ujung lidah, tetapi sang putra segera menyela.

“Faiz tahu Bunda sama Ayah sudah punya agenda sendiri-sendiri. Tapi khusus tahun ini, apa boleh Faiz bisa berlebaran bersama Ayah dan Bunda? Satu hari aja juga nggak papa, Bun. Sekalian merayakan ulang tahun Faiz.”

Tangan kiri Izza yang terbebas bersarang di dada. Benaknya sudah merangkai alasan untuk ketidakhadirannya kali ini, tapi suara Faiz benar-benar memelas. Biasanya, ia pulang ke Ciamis setelah H+7 lebaran, itupun segera ke rumah keluarga besarnya. Bukan ke rumah … mantan suaminya. Meskipun rumah itu masih atas nama Izza sampai sekarang, karena akan diwariskan kepada Faiz kelak.

“Kalau ke keluarga besar, Bunda berkenan, Nak. Tapi kalau ke rumah ayah, Bunda nggak bisa.”

“Mampir sebentar sajalah, Bun. Terus nemenin Faiz silahturahmi keliling ke kampung sini. Setiap lebaran, mereka nanyain kabar Bunda.” Faiz kembali merengek. Hal yang tidak biasa dilakukan oleh anak lelaki itu.

Izza tertegun sesaat, tak ingin membuat putra kesayangannya bersedih. “Tapi … restoran Bunda juga ….” Setiap tahun, Izza sengaja membuka restorannya di hari lebaran, dengan alasan traffic yang meningkat pada saat hari raya umat Islam itu. Apalagi lokasinya berada di jalan raya yang sering dilewati para pemudik yang melintas.

“Sebentar sajalah, Bun. Hari kedua, Bunda boleh kembali ke Tangerang. Cukup hari pertama saja, Faiz merayakan lebaran bersama Ayah sama Bunda.”

“Faiz, kan di rumah Ciamis sudah ada Mama Arista. Jadi, tahun ini seperti biasanya saja, ya?” elak Izza sekali lagi, meskipun hatinya mendadak gerimis.

“Faiz sudah minta izin sama Ayah, sama Mama Arista juga. Mereka bilang, terserah Bunda. Berarti kan nggak masalah, Bun?”

Ingatan Izza segera melayang ke peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Ketika ia terakhir kali menatap wajah mantan suaminya, lelaki yang dulu pernah menjadi imam yang sangat ia hormati dan cintai sepanjang pernikahan mereka. “Kita sudah bukan lagi pasangan. Haram saya jika harus berjabat tangan dengan kamu.” Ucapan terakhirnya kepada Arman—sang mantan suami—terngiang dengan jelas. Izza menjura dan berlalu tanpa mau mendengar perkataan lelaki itu setelah sidang putusan gugatan perceraiannya. Setelah itu, Izza memercayakan pengambilan surat bukti bercerainya kepada pengacaranya. Wajah lelaki itu tampak merana dan tidak rela, tapi Izza tahu, itu bukan kebenarannya.

“Ih, kamu kok jadi merengek kayak adek bayi?” gurau Izza demi menebus rasa bersalahnya kepada Faiz.

“Gak papa, kan cuma sama Bunda, Faiz kayak gini. Boleh ya, Bun? Cuma sehari, setelah itu, Faiz janji akan anterin Bunda kembali ke Tangerang. Ya, Bun?”

***

“Faiz minta saya lebaran sama ayahnya tahun ini.” Tanpa basa-basi Izza segera mengungkapkan kegelisahan hatinya sejak kemarin kepada Seira, pengacara yang mendampinginya saat menggugat cerai Arman, sekaligus sahabat baiknya sejak SMA.

“Wow. Amazing. Teteh mau?” Kedua alis Seira terangkat.

“Menurutmu, apakah saya harus mengiyakan permintaannya?”

Sang pengacara mengangkat bahu. “Teh, itu semua terserah Teteh. Kalau memang berkenan, ya silakan. Enggak pun, juga nggak masalah.”

“Faiz nggak pernah minta apa-apa semenjak saya cerai sama Kang Arman, Ra.”

Izza menerawang, mengingat bahwa putra kecilnya waktu itu sungguh manis. Meskipun raut wajahnya bersedih ketika diberitahu bahwa ayah dan bundanya tak lagi bersama, tapi Faiz tidak menjadi berontak atau tantrum. Apalagi Izza masih memperbolehkan Arman menjenguk atau mengajak Faiz menginap. Hanya saja, Izza tak pernah merespons pesan yang dikirim lelaki itu atau menemuinya barang sekali. Ia selalu mengatur jadwal agar ia tak perlu bertatap muka. Bahkan mengantar Faiz pun, ia pasrahkan kepada mamanya yang juga masih tinggal di Ciamis. Ia menghindari Arman selama sepuluh tahun ini dan ingin tetap begitu.

Izza menggosok ibu jarinya ke permukaan meja kaca di mana jus melon pesanannya sudah tercampur dengan lelehan es batu yang mencair. “Apa benar kata orang, bahwa saya ini belum move on, Seira?”

Move on atau tidak, itu semua adalah hak Teteh. Orang lain nggak berhak menghakimi. Jika Teteh memang belum ingin bertemu, tidak boleh ada yang memaksa Teteh melakukannya. Toh, Teteh tidak merugikan siapa-siapa.” Seira menarik napas panjang. “Hati setiap orang berbeda dalam menyembuhkan luka, Teh. Teteh tidak harus mengikuti kata orang lain, jika Teteh masih belum bisa memaafkan Kang Arman.”

“Sudah, Ra. Insha Allah, saya merasa sudah memaafkan Kang Arman. Saya ikhlas menerima pernikahannya dengan Arista setelah kami bercerai. Hanya … saya belum siap ketemu mereka atau ketemu Kang Arman lagi.” Izza menggigit bibir.

“Mungkin Teteh harus menjelaskan yang sebenarnya kepada Faiz. Itu satu-satunya cara agar Faiz ngerti alasan Teteh nggak mau ketemu ayahnya. Fair, kan?” usul Seira.

Mata Izza berkaca-kaca, sementara bibirnya gemetar. “Saya … takut, Ra.”

Teteh, Faiz itu sudah 17 tahun lho, lebaran ini. Dia sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang terjadi di antara kalian.”

“Saya nggak mau ber-ghibah, Ra. Itu sudah masa lalu.” Izza menunduk. Hatinya kembali dipenuhi gerimis. “Membicarakan aib yang sudah berlalu, itu sama dengan memakan bangkai. Saya nggak mau.”

Tangan Seira menggenggam tangan sahabatnya. “Teh, jika kebenaran adalah sebuah bangkai, maka cepat atau lambat akan tercium pula baunya. Aku rasa … bisa saja, Faiz akan tahu dari orang lain dan akan terluka karena ini.”

Izza menggeleng keras. “Nggak, Ra. Saya nggak akan biarin Faiz tahu. Yang menjadi rahasia tetaplah menjadi rahasia. Yang sudah berlalu, biarlah menghilang bersama waktu. Faiz harus memiliki rasa hormat dan cinta kepada ayahnya seperti sekarang, tanpa pernah berubah."