Prolog
Seharusnya, rumah menjadi tempat teraman dan ternyaman bagi penghuninya, bukan hanya sekadar bangunan yang menjadi tempat berlindung dari terpaan hujan maupun panas matahari, tapi tidak untuk Kanaya. Dia justru merasa kalau rumah adalah neraka yang bahkan tidak pantas digunakan sebagai pelindung. Suara teriakan disertai bantingan barang seolah-olah sudah menjadi makanan sehari-harinya, dan Kanaya sudah muak dengan itu semua.
Melihat bagaimana keluarganya perlahan hancur membuat Kanaya selalu berpikir untuk pergi dari sana. Hanya karena seorang jalang yang ditemukan oleh ayahnya entah di mana, keluarga yang semula sangat harmonis, sampai-sampai teman-temannya berdecak iri, berubah menjadi bumerang yang menyakitkan. Ibunya marah setiap hari, melempar segala macam perabotan rumah tangga, sementara ayahnya pura-pura tuli, meski tak jarang ikut menimpali yang semakin menambah kobaran api emosi.
Kanaya benci pria itu. Sudah merepotkan lantaran malas bekerja, sekarang menambah beban dengan bermain perempuan yang tidak tahu asal-usulnya. Pria itu menunjukkan kualitasnya yang tak pantas menjadi kepala keluarga.
“Saya mohon sama kamu, jangan selingkuh lagi. Berhenti. Saya tidak akan mengajukan perceraian kalau kamu mau berhenti.”
“Ma! Biarin aja orang itu mau kayak gimana. Mama nggak usah ngemis. Nggak pantes!” Kanaya berusaha untuk menghentikan ibunya yang hendak bersimpuh di hadapan ayahnya. Sungguh, tak akan dia biarkan lutut ibunya kotor hanya karena pria itu.
“Mama cinta sama papamu, Nay. Mama yakin kalau papamu cuma khilaf semata. Kami masih bisa memperbaiki hubungan ini. Demi kamu, demi keluarga ini.” Ibunya melepas tangan Kanaya untuk meraih suaminya yang hendak pergi.
“Ma, udah!”
“Saya malas dengar kamu marah-marah terus. Pusing kepala saya, sampai ingin meledak.” Ayah Kanaya memegang kepalanya dengan mimik muka tegang.
“Papa yang salah. Kenapa Papa khianatin Mama? Kenapa Papa nggak menghargai Mama sebagai seorang istri?” Kanaya emosi, sangat. Wajahnya sudah memerah dengan urat-urat di sekitar lehernya yang menegang.
“Apa yang kamu tahu tentang ini? Kamu masih kecil, urus saja diri kamu sendiri!” Ayah Kanaya mengibaskan tangannya, bermaksud mengusir anak tunggalnya.
“Orang yang Papa bilang anak kecil, lebih tahu cara menghargai Mama daripada orang dewasa seperti Papa, tapi kelakuannya persis kayak remaja puber.”
“Kanaya!”
“Iya, iya. Saya nggak akan marah-marah lagi, asal kamu berhenti. Asal kamu nggak pergi. Saya akan jadi istri yang penurut.” Ibunya tersenyum dengan linangan air mata, menimbulkan sayatan di hati Kanaya. Kedua tangannya yang berada di sisi tubuh, terkepal erat. Bagaimanapun keinginannya untuk menghentikan sang ibu, nyatanya perempuan itu sudah dibutakan oleh cinta. Ayahnya lah yang tetap menjadi pemegang kekuasaan di rumah ini, yang semakin membuat Kanaya benci dengan ayahnya sendiri.
“Mama sadar nggak, sih, kalau apa yang Mama lakuin itu malah bikin keluarga kita makin berantakan? Bikin Mama makin sakit hati?” tanya Kanaya dengan tatapan mengarah kepada ayahnya yang melengos ke kamar, meninggalkannya dan sang ibu.
“Udah, udah. Mama nggak apa-apa, Nay. Yang penting papamu balik lagi.” Ibunya mengelus pundak Kanaya seraya menghapus bekas air matanya.
“Apa bedanya papa ada di rumah atau enggak? Keluarga ini hancur karena papa, jadi bukannya kita harus menghilangkan penyebab kekacauan, Ma?” Karena Kanaya sudah kehilangan sosok ayah di dalam hidupnya, jadi rasanya percuma kalau raga pria itu masih ada dalam penglihatannya.
“Nay, kamu nggak boleh begitu.”
Kanaya menghela napas. “Kalau memang Mama nggak mau papa pergi, berarti aku yang harus pergi.”
Lebih baik begitu. Daripada harus menahan kebencian saat menyadari kalau dia harus tinggal satu atap dengan penghancur keluarga mereka.
***
1 Rasa Yang Mulai Pudar
“Nay, jadi istri aku, ya?”
“Wa, aku mau putus.”
Kotak cincin yang berada di tangan Dewa hampir terjatuh saat mendengar jawaban Kanaya tanpa berpikir lama itu. Dia menatap Kanaya yang berdiri di hadapannya dengan tangan yang saling bertaut. Wajah perempuan itu tampak tegang, seolah-olah ikut terkejut dengan apa yang baru saja dikatakannya.
Dewa tak langsung menjawab, melainkan tersenyum tipis. “Kamu pasti nggak nyangka aku lamar kamu di anniversary kita yang kelima.”
“Wa, aku mau putus.”
Seakan-akan tuli tiba-tiba, Dewa mengabaikan ucapan Kanaya. Dia justru mengeluarkan cincin dari kotak beludru berwarna merah, dan menunjukkannya kepada Kanaya. Senyum manis terlukis di bibir Dewa, menampilkan lesung di pipi kanan.
“Kita menikah?”
“Wa!”
Belum sempat Dewa memasukkan cincin tersebut ke jari Kanaya, perempuan itu sudah lebih dulu menepis cincinnya hingga terpelanting ke lantai cafe yang sudah dipesan oleh Dewa, khusus untuk merayakan anniversarry mereka sekaligus menjalankan misi lamaran kepada Kanaya. Untuk sesaat, Dewa termenung, menatap cincin yang sudah tergeletak sebelum beralih ke Kanaya yang wajahnya sudah memerah menahan kesal.
“Kenapa?” tanya Dewa. Lengkung senyuman seketika lenyap dari bibirnya, membuat perasaan Kanaya menjadi tidak nyaman.
“Kenapa kamu mau putus? Aku ada salah sama kamu? Atau ada sesuatu di diri aku yang enggak kamu suka?”
“Wa ....”
“Hm?”
Kanaya mengulum bibirnya. Keyakinan yang sempat merasukinya mendadak hilang bagai ditelan angin, digantikan keraguan yang perlahan melingkupi dada tatkala melihat binar redup di manik hitam Dewa yang biasanya selalu menatap Kanaya sehangat mentari.
Kanaya menunduk, tak kuasa untuk melihat Dewa lebih lama yang berpotensi untuk merusak rencana awalnya.
“Aku ... cuma mau putus.” Tautan tangan Kanaya semakin mengerat, sementara hatinya menjadi gusar. Apakah keputusannya ini tepat? Apakah dia memang benar-benar ingin lepas dari Dewa dan hubungan yang sudah terjalin begitu lama? Apakah tak ada penyesalan nantinya?
Elusan di rambutnya membuat Kanaya otomatis mendongak. Ekspresi Dewa masih sama, yang menambah kekalutan di diri Kanaya.
Aku ngelakuin hal yang bener, kan?
“Kamu mau putus sama aku tanpa alasan, Nay? Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan. Kita udah berjalan sejauh ini, jadi sulit buat aku untuk berhenti, apalagi dengan alasan kamu yang masih abu-abu. Kasih aku satu alasan kenapa kamu sampai minta putus?”
Entah Dewa yang saat ini tampak rapuh atau dia yang terlalu emosional, cairan sebening kristal sudah menggenang di pelupuk mata, ingin memberontak keluar, tapi seberusaha mungkin ditahan oleh Kanaya.
“Aku ngerasa hubungan ini nggak akan berhasil, Wa. Kita punya tujuan yang berbeda. Kalaupun dipaksa, itu sama aja nyakitin kita. Jadi lebih baik sampai di sini aja, daripada kita makin tersiksa.
“Lagi pula ... aku mulai ngerasa jenuh. Awalnya aku pikir, seiring waktu perasaan itu bakal hilang, tapi nyatanya enggak. I'm sorry, Wa. Aku nggak bisa pertahanin hubungan kita lagi.”
Diam. Dewa tak memberi reaksi apa pun. Hanya menelisik wajah Kanaya lamat-lamat sebelum helaan napas meluncur dari bibir Dewa.
“Satu bulan, Nay.” Dewa mengambil tangan Kanaya, mengelus punggungnya lembut.
“Kasih waktu aku satu bulan untuk meyakinkan perasaan kamu. Kalau aku tetep nggak berhasil, kamu bisa pergi.”
Kanaya menatap Dewa tak percaya. Bukan, bukan kalimat ini yang ingin dia dengar dari mulut pria itu. Permintaan Dewa terlalu sulit untuk dia lakukan di saat Kanaya mengharapkan sebuah perpisahan.
“Wa, jangan minta hal yang bakal buat semuanya jadi semakin sia-sia.” Karena Kanaya takut kalau nantinya dia akan merasa gentar.
Dewa menggeleng. Elusan di tangan Kanaya berubah menjadi remasan pelan. “One month, Nay. Please. Kalau perasaan kamu masih sama dengan hari ini, maka jangan pernah ragu.”
“Pagi Mbak Kanaya.”
Kanaya terhenyak dari lamunannya saat mendengar suara sapaan tersebut. Dia melirik Pak Made—cleaning service—yang sedang beres-beres.
“Pagi Pak Made.” Kanaya membalas sapaan Pak Made tak kalah ramah. Barangkali karena terlalu banyak melamun, dia sampai-sampai tak menyadari kehadiran pria itu di ruangannya. Meski kejadian itu sudah berlalu, tapi Kanaya tak akan bisa lupa bagaimana wajah memelas Dewa yang meminta peluang waktu untuk hubungan mereka.
Menghela napas panjang, Kanaya menatap kotak makan yang ada di atas mejanya.
Pagi, Nay. Jangan lupa dimakan sarapannya. Have a great day, Boo!
#Dari yang selalu mencintaimu.
Untuk kesekian kalinya, Dewa tak pernah absen mengirimkannya sarapan, dan seperti yang sudah-sudah, makanan tersebut akan berakhir di perut teman kerjanya atau bahkan tempat sampah tanpa sepengetahuan Dewa. Anggap Kanaya tidak bersyukur, tapi entah kenapa, sejak hari di mana Dewa menolak untuk putus, perasaan Kanaya kepada pria itu semakin hari semakin hambar. Tak ada lagi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya setiap kali dia mengingat Dewa. Tidak ada lagi gejolak menggelikan yang biasanya selalu muncul ketika bersama Dewa.
Semuanya ... telah berubah.
Meremas kertas notes dari Dewa, Kanaya berbalik dan memanggil Pak Made.
“Pak Made udah makan? Kalau belum, ini saya ada makanan. Saya nggak biasa makan berat buat sarapan.” Kanaya menyodorkan kotak makan tersebut yang diterima Pak Made ragu-ragu.
“Waduh, beneran untuk saya, Mbak? Bukannya makanannya dari pacar Mbak, ya? Lagi marahan sama pacarnya?”
Kanaya tersenyum tipis. Memang, kali ini bukan satpam kantor yang mengambil kotak makan dari Dewa, melainkan Pak Made. Jadi, wajar kalau pria paruh baya itu berpikir dia sedang cekcok dengan Dewa. Padahal lebih tepatnya, dia hanya berpura-pura menerima perhatian Dewa—setidaknya sampai waktu sebulan yang diminta oleh Dewa benar-benar berakhir.
“Iya, untuk Pak Made. Nanti kotaknya kasih ke saya lagi.”
Senyum sumringah terlukis di bibir Pak Made. “Makasih, Mbak.”
Bersamaan dengan Pak Made yang mulai menjauh dari ruangan, seorang perempuan berambut curly sepunggung datang sambil menatap kepergian Pak Made bingung sebelum berpaling ke arah Kanaya yang sudah duduk di kursinya.
“Kamu nggak makan sarapan dari Dewa lagi, Nay?” tanya Pradnya Paramita—rekan kerja sekaligus teman curhat Kanaya.
“Seperti yang kamu lihat,” sahut Kanaya dengan tatapan fokus ke komputer yang baru dinyalakan, berusaha untuk terlihat sibuk supaya Pradnya tidak bertanya macam-macam seperti biasanya. Namun, sayangnya Pradnya yang sudah tahu hal itu hanya akal-akalan Kanaya tetap angkat bicara.
“Nay, Dewa niat banget, loh, bawain kamu sarapan. Seenggaknya kamu hargain pemberian dia, bukannya malah dikasih ke orang lain.”
“Aku hargain, kok. Buktinya enggak aku buang ke tempat sampah.”
“Nay! Watch your mouth!”
Kanaya mengembuskan napas lalu menoleh. Posisi Pradnya yang sedang berdiri membuatnya harus menengadah. “Apa aku minta dia buat bawain aku sarapan? Enggak, Nya. Dia yang inisiatif sendiri. Jadi terserah aku mau diapain juga.”
Pradnya menggeleng, heran dengan jalan pikiran Kanaya. Sangat keras kepala, tapi dia tak punya hak untuk terlalu ikut campur ke dalam hubungan Kanaya dan Dewa. Alhasil, dia hanya berkata, “Aku harap kamu nggak akan menyesal dengan pilihan kamu, Nay.”
Kanaya tak menyahut, membiarkan Pradnya pergi ke mejanya. Tak sengaja, tatapannya jatuh pada bingkai foto yang terpajang di sebelah komputer. Berlatarkan senja di pantai Kuta, dia yang sedang dipeluk oleh Dewa dari belakang tampak sangat bahagia. Seketika, ingatannya melayang pada kejadian saat foto tersebut diambil. Waktu itu, mereka sedang merayakan anniversary yang pertama dengan kecil-kecilan. Hanya menikmati keindahan sunset seraya bertukar cerita tentang hari yang sudah mereka lalui. Rasanya hangat dan menyenangkan, berbeda dengan sekarang yang malah sangat membosankan.
Barangkali karena hubungan mereka yang sudah terjalin terlalu lama atau karena perasaan Kanaya yang sudah tidak sama lagi atau karena kehadiran Dewa yang tiba-tiba membuat Kanaya takut. Ia tak tahu lagi.
Kanaya menghela napas kasar lalu membalik foto tersebut. Ketika dia hendak mulai bekerja, getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya. Ada pesan masuk. Dia mengambil benda persegi panjang dengan case bergambar Putri Moana tersebut dan membaca pesan yang ternyata berasal dari Dewa.
Dewa : Gimana rasa makanannya? Enak? Aku beli di tempat kesukaan kita
Kanaya meletakkan ponselnya di atas meja tanpa berniat untuk membalas. Namun, dua pesan kembali masuk yang kali ini hanya dia lihat melalui pop up.
Dewa : Semangat kerjanya Nay! Pulang aku jemput
Dewa : Jangan telat makan siang. Inget, kamu punya magh
Hingga jam istirahat usai, pesan dari Dewa diabaikan Kanaya. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak.
***
“Gimana kerjaannya? Lancar?” tanya Dewa ketika Kanaya baru selesai memakai sabuk pengaman. Sesuai isi pesan, sepulang kerja dia dijemput oleh Dewa seperti yang biasa pria itu lakukan.
“Lancar, kok.” Kanaya menyahut sekenanya dengan tatapan yang mengarah ke samping.
Dewa mengangguk, lalu mengusap rambut Kanaya sebentar sebelum mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kantor perempuan itu. Jalanan di kota Denpasar saat jam-jam pulang selalu tampak sibuk. Kendaraan-kendaraan hilir mudik mengantarkan penumpangnya kembali ke pelukan keluarga setelah lelah beraktivitas hampir seharian. Melewati lapangan Renon, terlihat beberapa pedagang yang menjual berbagai macam makanan maupun mainan tengah dikerumuni oleh pembeli yang kebanyakan adalah pasangan atau keluarga kecil.
Meski suasana seperti itu seringkali Kanaya temui, tapi berhasil meringankan kepenatannya sekaligus menghilangkan kebosanan di dalam mobil.
“Hari ini kita makan di kos, ya?” Dewa membelokkan mobilnya menuju tempat kos. Mereka memang tinggal di indekos yang sama, hanya berbeda kamar saja, yang memudahkan Dewa untuk berkunjung ke kamar Kanaya dan sebaliknya. Dewa yang pertama kali mengusulkan ide tersebut. Alasannya supaya dia bisa memastikan keadaan Kanaya, dan selalu siaga kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada perempuan itu.
Meski indekos yang ditempati keduanya termasuk ke dalam indekos elit, nyatanya tak ada kamar kosong di sana karena lokasinya yang sangat strategis dan menyediakan fasilitas yang lengkap. Bagusnya, penghuni kos tampak tak acuh, kalaupun tak sengaja berpapasan, pasti hanya menyapa dengan singkat. Kesibukan yang membuat mereka tak punya waktu untuk mengurusi urusan satu sama lain. Asalkan tidak merugikan, mereka tidak peduli.
“Kemarin aku kepikiran untuk masak sup jamur sama udang asam manis, jadi aku langsung beli bahan-bahannya. Itu kesukaan kamu, kan?” Dewa melepas sabuk pengamannya begitu mereka tiba di kos.
“Wa, bisa nggak usah terlalu berlebihan?”
Dewa yang sedang membuka pintu mobil seketika menoleh dengan alis yang bertaut. “Berlebihan gimana? Aku memang begini, Nay.”
“Waktu kamu cuma satu bulan, Wa. Jangan berusaha untuk mengubah apa pun yang enggak bisa diubah.”
Saat di kantor, Kanaya sudah memikirkan ini. Dewa meminta waktu selama sebulan untuk meyakinkan perasaannya, yang berarti pria itu pasti akan melakukan segala cara agar dia kembali, tapi tidak. Keputusan Kanaya sudah sangat bulat untuk putus. Dia memberi Dewa kesempatan semata-mata supaya pria itu menyerah dengan sendirinya.
Alih-alih tersinggung, Dewa justru tersenyum yang membuat matanya menyipit dan lesung di pipi kanannya muncul.
“Memang kenapa? Kamu takut kalau sebelum waktu sebulan itu, perasaan kamu tumbuh kembali?”
Mata Kanaya seketika membola. Dia menggeleng cepat. “Enggak. Aku nggak ada kepikiran gitu.”
Dewa mendengkus geli melihat kepanikan Kanaya. “Lagi pula, kenapa kita harus putus, sih, Nay, kalau ternyata kita bisa memperbaiki hubungan kita kayak dulu?”
“Kamu udah tahu jawabannya, Wa.”
Dewa mengangguk, masih dengan senyumannya meski tak dipungkiri kalau kilat luka sempat membayang di bola matanya. Dia berganti posisi menghadap Kanaya lalu berkata, “Seperti yang aku bilang, Nay. Satu bulan. Kasih aku waktu sesingkat itu untuk memperjuangkan kamu kembali. Kamu nggak perlu lari, cukup berdiri di sisi aku, tapi kalau pada akhirnya kamu tetap memilih pergi, I will let you go.”