Ini terasa seperti berada di halaman awal.
"Selamat datang!"
Di mana semuanya bukan lagi tentang aturan sekolah atau pun tata tertib. Tak akan ada tugas yang membuat Jia pusing, guru yang menghukumnya karena terlambat, atau gangguan geng populer yang merasa menguasai sekolah.
Tidak ada.
Namun sayangnya, kehidupan di luar sekolah tak lebih dari mimpi buruk dengan mata terbuka. Bisa jadi malah lebih menyeramkan daripada itu. Mungkin pada awalnya ini akan terasa menyenangkan, bebas dari segala tekanan dan tuntutan mendapat nilai besar. Tapi beberapa waktu kemudian, dia baru sadar bahwa kehidupan nyata juga tak akan berjalan seramah yang dia bayangkan.
Jia tersenyum kecil, melewati pelayan toko yang baru saja menyambutnya. Sambil memicingkan mata, ia berjalan menyusuri rak-rak berisi barang elektronik yang tersusun rapi.
"Aku ingin satu earphone!"
Bola mata Jia beredar pada bidang di samping meja kasir. Di sana berbagai variasi earphone tertata hampir menyelimuti dinding. Matanya tak berhenti bergerak, mencari dengan agak kikuk. Dari satu model ke model lain, semuanya tampak menarik. Tapi… semuanya sama. Jadi, ia menahan diri untuk tidak asal menunjuk.
"Aku … ingin yang warna hitam."
"Yang ini?"
"O… oh… iya, yang itu."
Meski pada dasarnya, semuanya tampak hitam, sebagian abu-abu dan sebagian lagi putih.
"Semuanya seratus lima puluh ribu."
"Terima kasih."
Begitu keluar dari toko, suhu jalanan terasa jelas, begitu kontras dengan hawa ruangan yang sejuk oleh pendingin ruangan. Kota ini terasa pengap, kelembapan udara seperti menurun.
Jia mengembuskan napas pelan.
Deru mesin kendaraan menyusup ke dalam pendengarannya, bising yang membuat telinga Jia terasa penuh. Ketika berbalik, angin dari mobil yang melintas terasa menampar pipi, bersatu bersama debu dan hawa jalanan yang berdifusi dengan udara.
Jia mengedarkan pandang. Kali ini, entah mengapa semua orang terlihat lebih terburu-buru. Lalu… secara tiba-tiba rintik hujan membasahi kepalanya. Kian lama kian menderas. Semuanya basah kuyup, kecuali satu: earphone yang ia dekap erat.
***
Ketika pintu apartemen terbuka, wajah jengah August berada tepat di hadapannya. "Kau bilang hanya mengembalikan kotak bekal?"
Masih di ambang pintu, tetesan air dari baju Jia nyaris membentuk sebuah genangan di lantai. Napasnya terdengar payah, bibirnya menggigil, pucat, tidak ada yang mampu terlontar, bahkan untuk mengatur gemeletuk gigi saja sudah sulit.
"Masuk. Ganti pakaian."
"A-aku …."
"Cepat masuk!"
Jia berlalu. Dengan tubuh yang menggigil, ia berjalan ke arah kamar mandi. Masih sempat berjengit karena hentakan keras August pada pintu apartemen.
Plastik berisi earphone-nya masih di sana. Ditautkan pada gantungan handuk di belakang pintu kamar mandi, sebelum pada akhirnya Jia melepas pakaiannya satu per satu.
Pagi tadi, setelah meminta izin pada August dengan susah payah, ia baru bisa pergi ke rumah Amy, mengembalikan kotak bekal yang sempat dipinjamnya dulu semasa sekolah. Kepergiannya ke rumah Amy memang tidak terlalu lama. Jadi di jalan pulang, Jia memutuskan untuk mampir ke toko elektronik, membeli earphone.
***
"Sekarang jelaskan, kenapa kau bisa pulang terlambat?"
Jia berhenti berjalan menyeberangi ruang tengah, menoleh ke arah August yang sudah menantinya di dekat meja.
"Tadi aku—"
"Bukan hanya menyahut, tapi hampiri!"
Jia menelan ludah, mendekat.
"Di jalan aku melihat jam tanganku, masih pukul empat sore. Jadi, aku pikir ada beberapa jam lagi sebelum matahari tenggelam. Tapi tiba-tiba cuacanya," ia menunjuk ke arah luar, "hujan."
"Jadi kau?"
"Aku berteduh dulu. Tapi aku takut terlalu malam. Jadi—"
"Berapa lama kau di rumah Amy, hah? Kau bilang hanya mengembalikan kotak bekal!"
"Aku tadi—"
"Kau kehujanan," selanya cepat, memandang Jia tak sabar, "itu? Hujan! Kenapa kau tidak menghub—"
"Aku tidak tahu hujan akan turun," Jia berkata nyaris tanpa intonasi, matanya menyorot tembok di belakang pundak August. Kosong. "Cukup sulit memutuskan mana langit mendung ketika setiap hari aku melihat langit berwarna abu-abu. Itu … bagiku terlihat … sama saja."
Jia menoleh, memandangi mata sempit August yang balas menatapnya malas.
"Bagaimana caranya?" Jia berkata pelan, bernapas, menciptakan melodi di antara keheningan apartemen yang sempit. "Bagaimana caranya membedakan langit mendung dan cerah, jika pada saat itu aku tidak mendengar ada petir atau gemuruh?" Ia mengerling, mengarah ke langit-langit, seperti sedang mengingat sesuatu. "Tiba-tiba saja suhu kota membuatku berkeringat, orang-orang bergerak lebih cepat. Kupikir ada apa. Kemudian hujan turun tanpa peringatan sekaligus."
August mengancam. "Jangan mengulanginya lagi kalau kau masih ingin tinggal di sini." Ia kemudian berlalu, dengan langkah gontai dan ekspresi wajah sinis. Meninggalkan Jia di ruang tengah dan rambut basahnya yang kacau. Kakinya masih terlipat di sana, sementara matanya memandang lantai penuh kebingungan.
***
August melarikan diri ke kamar mandi. Seorang lelaki yang terlihat dingin dan tak tersentuh.
"Hhh …."
Ia membasuh wajahnya dengan air keran. Menunduk sebentar, perlahan bangkit dan geraknya terhenti—begitu saja, secara tiba-tiba, memandang pantulan benda di cermin tepat di belakangnya. Ia berbalik, menatap masih dengan wajah yang basah, bahwa plastik berwarna buram menggantung di pengait handuk.
Sebuah earphone.
Kotaknya masih kering dan di balik sisi transparan. August mengetahui ini warna hitam. Berbeda dengan kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika itu sebuah kotak hadir bersama barang-barang lainnya di meja. Sebuah hadiah ulang tahun dari Jia tampak sederhana, berbalut kertas kado yang terlipat kurang rapi. Namun waktu itu, isinya adalah earphone berwarna merah muda, terlampau feminin untuk August.
"Astaga! Aku lupa menanyakan warnanya," tutur Jia khawatir, hari itu. "Aku akan menggantinya kalau aku sudah punya uang, Kak!"
Inilah dia, August si lelaki sinis, si apatis palsu karena nyatanya ia masih peduli. Seperti terjerumus dalam lorong yang hitam. Tapi dia tidak bisa berhenti. Dia malah mendengar suaranya sendiri berdengung, pertanyaannya beberapa bulan yang lalu. "Kenapa earphone?"
"Karena kau selalu terlihat bosan dan aku tidak ingin kau seperti itu. Kelihatannya buruk, seperti abu-abu. Jadi kupikir, musik bisa membuatmu lebih hidup."
***
Pagi itu Jia bangun dengan badan yang demam. Ia masih meringkuk di dalam selimut ketika August berteriak di ambang pintu, mengatakan bahwa hari ini ia akan pulang kerja sekitar jam delapan malam.
Dalam suasana apartemen yang sepi, Jia berbalik, menatap langit-langit. Merasakan suhu panas tubuhnya dan kepala yang terasa berat. Mencoba mengingat-ingat, ia merasa sebuah tangan dingin menyentuh dahi dan lehernya waktu tertidur tadi.
Mungkin August?
Memangnya siapa lagi?
Jia bangkit dan berjalan keluar dari kamar menuju kulkas. Menghampiri benda setinggi pinggangnya hanya untuk mengecek catatan baru. Tertulis dengan pulpen gel di atas memo berwarna kuning cerah. Jangan menyalakan kompor, kau bisa meledakkannya. Telepon Bibi Nam kalau ada apa-apa (tekan tombol 2 agak lama).
Matanya kembali beredar. Satu memo lagi di sisi lain. Paracetamol untuk demam. Jangan meminumnya bersama susu.
***
August mengaku bekerja di supermarket, lalu pada malam hari ia bekerja paruh waktu di sebuah toko ramen sebagai pencuci piring. Di saat orang lain hidup untuk meraih mimpi, ia hanya tahu bekerja untuk bertahan hidup. Di malam hari yang melelahkan, matanya terasa kesat. Dan jika diizinkan meminta sesuatu, ia hanya ingin tidur nyenyak.
Terkadang, selesai menyuci piring, wanita pemilik toko ramen itu memberikan makanan sebagai bonus, selain memuji kinerjanya yang bagus. Ada kalanya ia pulang membawa ramen hangat, atau sesekali beberapa botol soda kalau udara terasa begitu panas. Mungkin buah-buahan di beberapa kesempatan. Terkadang apel atau jeruk.
Malam ini ia pulang membawa apel, cocok sekali. Begitu pintu apartemen terbuka, semuanya masih tampak rapi dan senyap, kecuali sayup-sayup gelak tawa dari ruang apartemen lain.
"Aku pulang." August melepas baju hangat dan menggantung tasnya, mencari-cari keberadaan Jia setelah dua tangannya menggenggam masing-masing satu apel merah. "Jia!"
"Kak? Kau kah itu?"
"Ya." August berjalan mendekat. Jia tengah duduk memunggunginya, memeluk lutut menghadap pintu geser yang merangkap sebagai jendela. "Sedang apa?"
"Oh?" Jia menoleh sekilas. "Aku hanya diam, memperhatikan langit."
Keadaan mendadak jadi canggung. Malu bercampur dengan keremangan. Sayup-sayup suara percakapan di luar apartemen berubah semakin samar. August tidak tahu harus memulai dari mana.
"Aku," ujarnya, terjeda, "minta maaf."
Jia menoleh, mengangkat alis dan menekan-nekan bibirnya sendiri. "Ya?"
August menyodorkan apel. "Maaf."
"Tidak apa-apa." Jia menerimanya sambil tersenyum. "Terima kasih." August tidak akan suka kalau ia berbicara sambil makan, jadi Jia putuskan untuk memutar apel itu di tangannya, pelan, seperti sedang mencari cacat. "Orang-orang bilang bintang itu indah." Alisnya mengernyit beberapa kali. "Apa iya?"
August melirik sekilas.
"Dari mataku, itu terlihat seperti titik-titik putih di antara hitam. Apa memang begitu, Kak? Atau aku melewatkan sesuatu?"
"Mereka bersinar. Ada pendar."
Jia mencibir, "Sayang sekali aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Dan—oh iya, aku juga yakin, langit malam tidak sepenuhnya berwarna hitam, kan? Apa itu cenderung seperti warna pagi namun lebih pekat? Terkadang aku melihatnya seperti gradasi warna hitam, abu-abu gelap sampai abu-abu terang. Aku jadi penasaran seperti apa war—"
"Jia."
Ia menoleh. "Hm?"
“Maafkan aku. Aku tidak tahu rasanya jadi dirimu. Yang kemarin itu—” August menggaruk tengkuk serba salah, meralat ucapannya tergesa, "Aku ... maksudku, aku hanya ingin—"
"Tidak masalah." Jia menghela napas. "Ini terasa seperti aku tinggal di tiga lembar kertas. Di lembar pertama aku hidup, di lembar kedua aku berkembang, dan di lembar ketiga aku mati. Dan semuanya berwarna abu-abu. Semuanya. Tidak ada warna lain. Tiga kertas abu-abu." Jia menerawang. "Tapi, aku tidak menyalahkanmu. Bahwa kau yang selamat, bukannya aku. Bahkan jika aku diberi kesempatan untuk lahir kembali, aku tidak akan memohon tinggal di badan yang lain. Yang ini saja, tidak apa-apa." Ia mengembuskan napas, mengatur suaranya yang nyaris bergetar. "Tapi, di kehidupan yang lain, aku berharap Tuhan bisa memberitahuku apa yang selama di dunia ini aku tidak tahu. Tentang warna-warna itu. Tentang warna yang kau bilang terlihat seperti wanita. Tentang warna apel ini. Tentang warna api yang kau bilang membara dan berbahaya."
August tak menjawab.
"Di kehidupan yang lain, aku ingin punya alasan yang kuat untuk tidak berkata 'aku buta warna total', 'aku tidak bisa membantumu memilih baju yang sesuai', 'jangan menyuruhku mengambil sesuatu dengan menyebutkan warnanya saja'. Aku tidak ingin mengatakan hal-hal semacam itu lagi." Jia tertawa sendiri, mencoba mengurai kacanggungan yang terlanjur. "Dan, tentang kulit kita, apa warnanya, Kak?"
August menoleh, mereka bersitatap. "Terang," jawabnya, tanpa sadar. "Putih, kulitku lebih pucat, seperti orang sakit. Dan milikmu agak lebih baik."
"Seperti kertas?"
"Tidak, bukan kertas. Ini seperti… maksudku…."
Jia tak mempedulikannya, karena percuma. Sejelas apa pun, ia tak akan tahu warna apa yang August maksud. Tapi dia tetap penasaran. "Dan iris mataku, apa warnanya?"
Mereka berpandangan. Hal sepele yang tak pernah August perhatikan, hingga ia butuh menatap jauh ke dalam. "Cokelat gelap."
Jia tersenyum kecil, meski ia tidak tahu warna dirinya sendiri. "Dan jika aku bisa melihat, kira-kira warna apa yang akan aku sukai, Kak?"
"Biru."
"Biru?"
"Seperti warna langit yang cerah."
Entah mengapa, meski Jia tidak tahu biru itu seperti apa. Namun, mulai detik ini ia merasa telah jatuh cinta pada warna biru. Jatuh cinta karena ia percaya. Ia percaya August memilih warna terbaik untuknya. Karena ia percaya, selama itu adalah August.
***