The Venus Trap

The Venus Trap

bukuditeras

0

  Suara air yang menetes-netes dari keran membangunkannya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Tidak ingat di mana ia berada sekarang, sampai akhirnya kengerian dan ketakutan kembali mengambil alih. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berada di sini. Waktu sudah tidak berarti lagi. Tempat ini tempat terkutuk. Ia menebak, mungkin inilah yang dinamakan neraka. Seperti kisah-kisah yang diceritakan di naskah-naskah tua tentang agama-agama kuno. Bahkan, tempat ini mungkin lebih buruk. Padahal, tidak ada lagi yang percaya akan surga atau neraka. Tidak setelah Hari Kiamat.

Gadis yang disekap sekamar dengannya kemarin sudah tidak ada. Ia tidak kembali lagi ke kamar ini. Mereka membawanya pergi. Ia tidak tahu kapan mereka mengeluarkan gadis itu. Mungkin saat ia tak sadarkan diri setelah gilirannya selesai. Mungkin gadis itu telah mati. Akhirnya. Setelah siksaan yang tak ada habisnya. Jika gadis itu memang telah mati, ia sungguh beruntung.

Ia sudah letih menjerit. Suaranya hampir hilang. Toh tidak ada gunanya. Tidak ada yang mendengarnya. Awal mulanya, ia masih melawan. Ia sudah mencoba semua cara yang bisa ia pikiran untuk membela dirinya. Usaha-usahanya itu malah membuat mereka tambah terangsang. Mereka menyukai jika ia melawan, jika ia menjerit.

Lelaki-lelaki itu. Tertawa waktu ia menggeliat karena kesakitan. Beberapa dari mereka menontonnya sambil memuaskan diri mereka sendiri, bersorak-sorak saat yang lain menyetubuhinya. Dan suara tawa itu. Suara tawa mereka sama buruknya dengan perkosaan yang mereka lakukan. Ia pikir ia bisa mati mendengar suara tawa mereka. Ia kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan betapa ia membenci suara tawa mereka.

Namun, yang terburuk dari semuanya adalah siksaannya. Ia bahkan pernah berpikir bahwa diperkosa masih lebih baik daripada berbagai siksaan yang mereka lakukan. Mereka menggunakan alat. Rantai, kawat, cambuk, pisau, jarum tindik, silet, lilin, es batu, dan mainan seks lainnya. Mereka juga sepertinya tahu sampai di mana batas kekuatannya. Paling tidak sampai sekarang. Mereka akan berhenti, membiarkannya pulih sebelum memulai lagi dari awal.

Akan tetapi ia tahu, cepat atau lambat ia akan mencapai batas akhir dan akan mati seperti gadis-gadis lain sebelumnya. Menunggu waktu itu datang adalah hal yang menyiksa. Ia telah melewati berbagai tahap kesakitan, hingga dirinya kini sepenuhnya telah menjadi rasa sakit itu sendiri. Ia telah melupakan rasa aman dan rasa bahagia. Ia telah melupakan kehidupannya dulu. Kehidupan yang normal kini hanya seperti mimpi. Dunianya telah menjadi lebih gelap daripada hitam.

Pernah sekali ia mencoba untuk gantung diri dengan cara mengikat seprai ke sebilah besi yang melintang di langit-langit kamar dan melilitkan ujung seprai ke lehernya. Namun, salah satu penjaga masuk dan menghentikannya tepat sebelum ia kehilangan kesadaran. Mereka memukulinya sesudah itu dan membawanya ke sebuah kamar lain yang berbau rumah sakit.

Ia terkejut saat melihat orang yang memeriksa lukanya adalah salah satu dari mereka. Lelaki itu mungkin seorang dokter. Ia menyuntikkan obat tidur yang membuatnya kehilangan kesadaran selama beberapa hari. Waktu ia terbangun, ia telah kembali ke kamar terkutuk itu lagi.

Mereka memberinya makan dan minum yang cukup serta memberinya kesempatan untuk membersihkan diri dengan layak. Hal ini agar ia bisa terus melayani nafsu binatang mereka lebih lama lagi. Walau ia merasa tubuhnya hancur perlahan-lahan, mereka tetap menjaganya agar tetap sehat untuk menerima perlakuan-perlakuan biadab itu.

Mereka juga memberikan waktu untuk tidur dan beristirahat yang cukup untuknya dan gadis-gadis lain. Makanan yang disajikan juga lumayan enak dan bergizi. Di kamar mandi disediakan sabun, sampo, sikat, dan pasta gigi. Mereka bahkan juga menyediakan sisir dan pembalut jika salah satu dari mereka sedang haid, sebuah kesempatan melegakan bagi mereka karena itu artinya mereka tidak akan dipaksa melayani lelaki-lelaki itu hingga haid mereka selesai.

Mereka diberikan jadwal untuk membersihkan diri. Jika mereka menolak untuk membersihkan tubuh sebelum dibawa keluar, para penjaga itu akan melakukannya untuk mereka dengan kasar. Kadang, hanya hal itu yang memberi tahunya bahwa satu hari lagi telah lewat. Mandi dan bebersih merupakan tanda bahwa sebentar lagi mereka akan membawanya untuk melayani lelaki-lelaki itu. Sudah tak terhitung berapa banyak dari mereka. Ia sempat menandai beberapa wajah mereka yang kembali lagi, tapi pada akhirnya, semua terlihat sama saja. Tidak ada lagi bedanya.

Satu kali, ia dan seorang gadis lain mencoba kabur. Mereka sudah membuka paksa saluran udara di langit-langit menggunakan potongan besi yang mereka patahkan dari sebuah kaki kursi, tapi ternyata lorong itu terlalu sempit. Mereka mencoba membuka jendela kamar mandi, tapi jendela itu hanya mengarah ke dinding tertutup. Semua usaha sia-sia. Selain itu, para penjaga selalu berada di sekitar, tidak pernah memberikan sedikit saja kesempatan bagi mereka untuk menjelajah lebih jauh.

Jika mereka membawanya keluar untuk melayani para pelanggan, kadang sendirian, kadang dengan beberapa gadis lain, mereka menggunakan van tanpa jendela. Dokter di klinik itu akan menyuntikkan sesuatu kepada mereka sehingga mereka lemas tak berdaya dan tak kuat melawan. Ia juga tidak tahu ke mana mereka pergi. Yang ia tahu hanyalah kamar tidur tempat mereka membawanya. Semuanya tampak sama. Sebuah tempat tidur besar di tengah ruangan, dilengkapi pengikat tangan dan kaki di sudut-sudutnya dan berbagai alat. Di situ mereka akan mengikatnya dan bersenang-senang dengan tubuhnya.

Kini ia terbaring, lemah dan sendirian.  Bibirnya mengucap permohonan yang putus asa, menginginkan kematian untuk mengunjunginya lebih cepat. Ia khawatir, mungkinkah kematian pun telah melupakannya?

Pintu terbuka. Tubuhnya menegang. Ronde baru siksaan tanpa henti hampir dimulai lagi. Mungkin kali ini doanya akan dikabulkan. Mungkin kali ini, kematian akan bermurah hati dan memeluknya.

**

“Perkiraan waktu kematian, Dok?” Patricia Donahue tiba-tiba sudah berdiri di belakang dr. Kemal Yazid, kepala divisi patologi forensik Kepolisian Erabiya, dan berbisik di telinganya.

Dr. Yazid berteriak terkejut.

“Patricia! Kau mengagetkanku!”

“Maafkan aku, Kemal. Hanya berusaha agar suasana di sini tidak terlalu muram,” ujar Patricia sambil menepuk-nepuk punggung dokter itu.

Dr. Kemal Yazid adalah lelaki berusia di pertengahan lima puluhan, tapi ia tampak jauh lebih muda. Tubuhnya langsing dan jangkung, dengan kulitnya yang berwarna zaitun. Hidungnya mancung, matanya bersinar memancarkan kecerdasan, bahkan di balik kacamatanya yang berbingkai tanduk. Dr. Yazid adalah seseorang yang penuh antusiasme. Selalu riang dan penuh pengamatan walau hampir seluruh waktunya dikelilingi tubuh-tubuh tak bernyawa.

“Jangan lakukan itu lagi, Nona. Kau nyaris membuatku terkena serangan jantung!” Ia memarahi Patricia. “Aku sudah berada di sini sejak pukul enam pagi saat mereka bilang mereka sudah membawa mayatnya untuk diotopsi. Aku juga tidak bisa tidur nyenyak semalam. Padahal ini baru hari Senin. Kau nakal sekali!” Ia menyikut Patricia dengan dengan gaya bercanda.

Patricia mengangkat sebelah alisnya.

“Tidak bisa tidur nyenyak katamu? Mengapa? Terlalu banyak aksi di tempat tidur?” Patricia menggodanya.

“Oh, dasar kalian anak-anak muda. Kalian tidak tahu rasanya menjadi tua. Punggungku sering sakit dan tidak hilang-hilang. Padahal aku sudah ikut yoga, pijat, siropraktik, dan lain-lain. Itu makanya aku tidak bisa tidur.” Dr. Yazid menjawab dengan gusar.

Patricia terkekeh kecil.

“Baiklah, maafkan aku, Kemal. Kita mulai saja sekarang.”

Patricia Donahue menjabat sebagai kapten dari Divisi Pembunuhan di Kepolisian kota Erabiya. Kecantikannya membuat semua kepala tertuju padanya tiap kali ia lewat. Tubuhnya tinggi dan proporsional. Kulitnya halus kecokelatan, rambutnya tebal berombak berwarna cokelat tua yang sering ia sanggul dengan gaya chignon sederhana. Matanya berwarna hijau, memancarkan intelegensi dan keberanian.

Sebagai seorang perempuan di Kepolisian, berwajah cantik bisa jadi kekurangan, karena orang akan cenderung meremehkanmu. Namun, Patricia tidak pernah membiarkan hal itu menghalanginya. Ia tangguh, gigih, sangat metodis dan penuh ambisi. Dengan demikian, ia tetap dihormati rekan-rekan seprofesinya.

Patricia dan dr. Yazid berdiri bersisian di depan meja otopsi, tempat tubuh seorang perempuan muda terbaring di atasnya. Ini adalah kasus ketiga yang diterima Patricia. Semua korban adalah perempuan muda, berusia remaja hingga awal 20-an. Semuanya tidak memiliki identitas. Patricia menatap kulit pucat gadis itu yang sudah terbuka dari tulang belikat hingga ke tengah-tengah dada dengan rangka rusuk yang sudah dipotong, saat dr. Yazid membuat irisan-Y untuk memeriksa organ dalamnya.

“Tambah satu lagi,” ucap dr. Yazid dengan nada sedih.

“Ya. Sudah tiga korban hingga hari ini,” jawab Patricia.

“Aku memperkirakan ia tewas paling tidak sekitar 15 sampai 20 jam yang lalu. Air di kanal suhunya dingin sekali, jadi hal itu membantu mengawetkan tubuhnya. Kemungkinan ia meninggal kemarin sore, atau lebih cepat. Mirip dengan dua korban sebelumnya, di tubuhnya ditemukan luka-luka serius, memar, sayatan. Di vagina dan anusnya ditemukan trauma hebat, yang artinya ia diperkosa berulang kali. Bisa jadi oleh satu orang berulang kali atau banyak orang yang berbeda.” Dr. Yazid menunjuk ke konter di sebelah kanan, di mana terdapat beberapa wadah logam disusun di sana yang berisi jantung, paru-paru, hati, ginjal yang berwarna kehitaman. “Hampir semua organ dalamnya terbakar secara kimiawi.”

Tubuh Patricia terasa dingin mendengarnya.

“Aku belum bisa mengkonfirmasinya. Kita akan mengetahuinya setelah mendapatkan hasil tes darah, juga hasil tes obat-obatan dan toksikologi. Namun, seperti yang sudah kuduga….” Ia menyuruh Patricia mendekat. “Aku menemukan bekas tusukan jarum.” Ia berjalan dan berdiri di hadapan Patricia sekarang.

“Jadi, persis seperti dua korban sebelumnya?” tanya Patricia.

“Ya.” Dr. Yazid mengambil kaca pembesar dan mengangkat jari telunjuk di tangan kiri mayat gadis itu.

Ia menunjukkannya kepada Patricia, yang membungkuk di atas kaca pembesar.

“Bekas tusukan yang sangat kecil, di balik kukunya.” Dr. Yazid menunjukkannya ke Patricia.

Bekas tusukan itu kecil sekali. Begitu kecil hingga mudah terlewatkan, kecuali jika yang memeriksanya adalah seseorang seperti dr. Yazid.

“Sama seperti di kedua mayat sebelumnya. Disuntikkan di balik kuku.” Dr Yazid memberitahu.

Kuku gadis itu sudah membiru. Jemarinya lentik, tapi kulitnya berkerut akibat terendam di air dingin cukup lama. Sekujur tubuhnya tampak seperti peta. Jalur-jalur merah muda dan memar-memar hitam menyelimuti hampir seluruh permukaan kulitnya. Bekas-bekas sayatan akibat torehan benda tajam terlihat jelas, mungkin akibat silet, di sekitar payudara, perut, lengan, paha dan punggung, mirip dengan kedua mayat sebelumnya. 

“Aku menduga, walau aku masih menunggu hasil tes-tes itu, kita akan kembali menemukan jejak Cergenoxic yang pekat di dalam darahnya,” ujar dr. Yazid. “Sebenarnya tanpa menunggu hasil tes pun, deduksiku sudah hampir pasti benar, berdasarkan bekas tusukan ini dan organ-organ dalamnya yang terbakar.”

Cergenoxic adalah obat yang biasa digunakan untuk mengobati pasien penderita kanker. Dr. Yazid sudah menjelaskan hal ini kepada Patricia waktu ia menemukan jejak-jejak obat ini di tubuh korban pertama. Hampir seluruh organ dalamnya terbakar akibat kandungan Cergenoxic di dalam tubuhnya. Dr. Yazid tidak tahu banyak tentang obat ini, kecuali fakta bahwa obat ini masih dalam tahap akhir uji coba klinis dalam pemakaian terbatas. Ia menyarankan agar Patricia berkonsultasi dengan spesialis onkologi yang mungkin lebih tahu mengenai cara kerja obat ini.

Patricia mengirim surat perintah penyelidikan ke seluruh perusahaan farmasi yang dikendalikan oleh Persekutuan, total berjumlah lima perusahaan, untuk melaporkan siapa saja pembeli dan pemakai obat tersebut. Lima perusahaan ini merupakan perusahaan farmasi resmi yang mengantongi izin untuk memproduksi dan mendistribusikan obat-obatan di seluruh Erabiya. Obat seperti Cergenoxic belum resmi diedarkan karena masih dalam tahap uji coba dan hanya digunakan di rumah sakit-rumah sakit tertentu saja. Bahkan obat ini belum beredar di klinik-klinik yang lebih kecil, yang membuat pencarian Patricia seharusnya akan lebih mudah. Patricia berharap hari ini ia sudah mendapatkan jawaban dari perusahaan-perusahaan itu.

“Selebihnya juga sama dengan dua korban sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga atau kenalan yang mencari mereka. Tidak ada identitas.” Patricia sudah berkecimpung di divisi ini selama lebih dari 10 tahun, tapi tidak ada yang bisa memudahkannya menghadapi kasus seperti ini.

Dr. Yazid menghela napas dan dengan murung menatap mayat gadis itu, terbuka, telanjang, dan rusak.

Serangkaian protes kepada Kepolisian mengalir deras, baik lewat portal-portal berita maupun lewat media sosial, menuntut agar Kepolisian segera menangkap pelakunya. Patricia juga masih membuka kemungkinan bahwa pelakunya adalah seorang pembunuh berantai dengan fantasi sakit jiwa yang suka menyiksa dan membunuh para gadis. Namun, instingnya sebagai polisi mengatakan bahwa kasus ini tidak dilakukan oleh pembunuh berantai.

Satu hal yang pasti, pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan secara profesional. Mayat-mayat ini telah dibersihkan secara hati-hati dan teliti sebelum dibuang. Tidak ada barang-barang pribadi yang tertinggal, tidak ada sidik jari, serat rambut, jejak DNA dan apa pun yang bisa memberikan informasi kepada polisi tentang keberadaan mereka sebelum mereka dibunuh. Pelakunya menutup jejak dengan rapi.

“Semoga ia kini telah tenang, Patricia. Gadis ini mungkin lebih baik mati daripada hidup. Aku yakin ia adalah gadis yang sangat kuat, hingga ia bisa menanggung semua siksaan itu selama ini, sebelum mereka melemparkan tubuhnya ke kanal dingin di luar sana.” Mata dr. Yazid yang biasanya terlihat ramah itu kini tampak berapi-api.

Dr. Yazid menatap Patricia dengan tiba-tiba. Keputusasaan dan kemarahan masih terpatri di wajahnya.

“Mereka dibunuh oleh orang yang sama. Metodenya sama persis. Kau harus menemukan pelakunya, Pat. Bagaimana pun caranya,” ujarnya, suaranya bergetar sedikit.

“Aku berjanji, Kemal. Aku berjanji.” Patricia menjawab dengan sungguh-sungguh.