Gadis itu meringkuk di depan jendela ketika salju turun dengan deras. Walau sudah pernah mendengar tentang salju, ia tidak pernah menyangka akan menonton dengan mata kepala sendiri musim yang misterius baginya itu. Ia tidak menyukai bentuk butirannya yang seperti hujan di samping ia menyukai suhu dingin yang datang seiring waktu di kamarnya.
Api perapian padam di ujung kamar gadis itu mulai melemah. Tubuhnya mulai merinding, tapi ia ragu-ragu ketika ingin menambah arang ketika tubuhnya masih berbaring nyaman di atas karpet. Maka ia pun mencoba menutup mata, sayangnya tidak bisa.
Suara ketukan terdengar dari seberang pintu. Seorang pemuda berdiri di baliknya segera setelah gadis tadi mengucapkan, "Masuk." Air muka pemuda itu tampak lelah, biru angkasa yang biasanya mewarnai matanya tampak kusam.
"Apa yang terjadi pada semua pelayan di sini?" tanya si pemuda sambil mengernyit. "Frey?"
Oh, iya. Gadis itu lupa kalau Frey adalah namanya saat ini. Gaunnya yang berantakan membuatnya susah berdiri, tapi ia berusaha untuk berdiri seanggun mungkin, setidaknya di depan pangeran dingin yang pernah diimpikannya.
"Kau tidak khawatir aku tidur di lantai?" tanya Frey setenang malam. Mata merahnya berkobar dalam kegelapan kamar tanpa lilin. "Oh, tentu saja itu yang kuharapkan dari pangeranku Cecil, begitu peduli dan—"
"Aku bertanya di mana semua pelayanmu!" bentak si pemuda itu jengkel. Frey menutup mulutnya dan tersenyum pahit, lalu ia kembali memandang ke arah jendela, kembali mengamati salju yang turun.
Ada jeda yang lumayan lama sebelum akhirnya Frey membuka bibirnya. "Aku memecat mereka semua." Ucapannya begitu ringan sehingga membuat si pemuda mengeratkan genggamannya.
Setelah mengucapkan alasan tadi, entah kenapa detak jantung Frey menjadi tidak karuan. Tidak. Seharusnya bukan itu yang diucapkannya! "Habis, mereka semua tidak menyukaiku, terutama Diana, dia berkali-kali mengatakan kalau aku bukan diriku… Ucapannya konyol… kan?"
Frey memutar kepalanya kembali untuk mengamati ekspresi wajah Cecil. Setengah hatinya berharap jika laki-laki itu bertanya mengenai perasaannya yang berantakan karena pelayan atau memang gaya hidup yang berbeda yang bisa saja membuat siapapun susah beradaptasi. Ternyata, kebalikan dari semua dugaannya yang terjadi.
"Kau pikir kau bisa bertahan tanpa mereka?" geram Cecil sekali lagi. Ekspresinya seolah mengatakan jika dirinya tidak ingin direpotkan lagi, lalu ia menambahkan dua kata penuh penekanan, "Orang sepertimu?"
Mulut Frey tidak bisa ditahan untuk ditutup. Harapannya pada Cecil pupus seketika seperti kapas yang tertimpa angin begitu saja. "Jaga mulutmu!" pekik sambil melotot.
Wajah Frey memanas. Cecil tidak pernah menyukainya, ataupun mengenalnya sedikitpun walau Frey sudah berbuat apapun untuknya! Ketika mendengar mengenai dirinya yang memang sedikit 'aneh', Frey bisa memakluminya, tapi kali ini berbeda. Gadis itu sudah muak. Ia sudah tahu mimpinya akan lebur menjadi kenyataan pahit.
"Kau mungkin tidak tahu, tapi aku pernah mengalami hidup yang lebih parah dari ini." tukas Frey dengan nada serendah mungkin.
Mata merah Frey berkilat merah. Cecil menelan ludahnya dan hendak melawan, sayangnya terlambat karena Frey sudah menekankan jarinya pada dada Cecil yang membuat pria itu mundur beberapa langkah.
"Jangan katakan kalau aku bisa bertahan tanpa pelayan atau apapun itu—aku bukan putri manja lagi, aku calon ratu di kerajaan ini!"
Begitulah percakapan mereka yang pertama berakhir. Cecil melangkah tanpa berbicara setelah Frey kembali duduk dan mengatakan, "Jangan sampai kau masuk kembali sebelum ibu datang!"
Ruangan menjadi senyap kembali. Gadis itu meringkuk kembali di depan jendela yang sudah dibasahi salju. Obor-obor yang menyala di depan gerbang berbaris menerangi jalan, dan tidak ada siapapun di sana. Frey berharap ia bisa melihat satu orang yang mencarinya dan mengajaknya melakukan sesuatu.
Gadis itu sudah mendapatkan semua yang diinginkannya, dan sekarang malah tidak ada satupun orang yang menginginkannya. Ia kembali terlelap. Berharap semua yang terjadi saat ini hanyalah mimpi.
—-
Tengah hutan belantara itu memantulkan sinar rembulan yang sama seperti jendela kamar gadis itu seperti biasanya. Pandangannya mulai buram, hal yang biasa terjadi ketika dirinya melamun, dan lamunannya tadi langsung buyar ketika seseorang meletakkan sesuatu yang super dingin ke pipinya.
"Dingin! Kau gila, ya!" pekik gadis itu hingga hampir membangunkan satu hutan, cepat-cepat ia menutup mulut.
Segelas jeruk dingin disodorkan padanya. Pemuda yang menyodorkannya hanya tersenyum tanpa dosa, lalu ikut duduk di depan api unggun yang sedari tadi digunakan oleh si gadis untuk menghangatkan diri. Keduanya minum dalam kesunyian dengan santai, seolah minum es jeruk di tengah hutan adalah hal yang normal.
"Sarah? Kau baik-baik saja?"
Gadis yang dipanggil Sarah mengangguk-angguk. Mata hijaunya terfokus pada bara api di depannya yang menari nari. Dirinya tidak menyangka jika jiwanya tertukar dengan anak yang baru ditemuinya selama sehari, di tambah, sekarang menjadi buronan lagi!
Sarah berkedip beberapa kali kemudian berkata, "Aku tidak apa-apa." Lalu ia meneguk es jeruknya lagi. Sebagian cahaya bulan membuat ekspresi bingungnya semakin terlihat.
"Kita harus mendapatkan kembali tubuhmu." ucap si pria sambil mengacak-acak rambutnya. "Sori, andai saja hari itu aku nggak menerimanya…"
"Tidak masalah, Leon." jawab Sarah cepat. "Kau membelinya untuk Sarah. Tidak ada yang salah membelikan sesuatu untuk… seorang gadis."
Leon dan Sarah kembali memandangi api yang menari-nari berkat kekuatan angin. Untung saja gadis itu mengenakan pakaian berlengan panjang dan celana panjang sehingga memudahkannya untuk bergerak di tengah hutan, jadi ia tidak kedinginan.
Sarah sebenarnya sudah sangat bahagia saat ini. Ia bebas dari penjara istana. Ia tidak perlu menjaga imejnya sebagai penerus kerajaan Pyre. Ia bahkan tidak perlu memikirkan tentang pertunangannya dengan Cecil lagi… Senyumannya bisa saja timbul di bibirnya saat ini, tapi…
Tidak ada yang bisa diajak tersenyum dengannya saat ini.
Angin malam semakin menusuk sehingga membuyarkan acara minum mereka malam itu. Sarah kembali tidur di dalam tendanya dan berpikir keras sebelum akhirnya dirinya terlelap.
Jika saja… Jika saja hari itu ia tidak menginginkan 'doa' seperti itu, apakah semuanya akan kembali menjadi seharusnya?