THE SECRET THROUGH HIS EYES

THE SECRET THROUGH HIS EYES

WidiSyah

0

Mungkin bagi sebagian orang, Braga naif. Semua yang ia lakukan selalu berada di dalam jalur. Jika memang bisa diselesaikan dengan baik-baik, untuk apa bersitegang? Prinsip yang terlalu datar, kurang menantang kata Zachary. Sahabat yang dulu sebelas dua belas dengan Braga itu sekarang merasa hidupnya seperti roller coaster semenjak berkawan dengan Fransiska, lebih tepatnya friend with benefit. Sang model ibaratnya magnet yang menarik Zachary untuk terus menempel pada wanita itu.

Sejak kecil, orang tua Braga di Mataram selalu mengingatkan untuk melakukan kebajikan. Apa lagi dengan statusnya sebagai penegak hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat. Tak dapat dimungkiri, sudah terlalu banyak berita miring yang mencoreng muka kesatuannya. Trust issue publik semakin meningkat. Bahkan dari cuitan di aplikasi burung biru menyebutkan jika polisi baru bertindak saat kasus diviralkan netizen. Miris sekali bukan? Meski begitu, tetap tunduk patuh pada empat kode etik Polri adalah pilihan paling benar yang dapat ia lakukan sekarang.

"Lo jadi ke Jogja besok, Ga?"

Sial! Braga menatap tidak rela pada rokoknya yang terjatuh mengenaskan. Batang kecil bernikotin itu bahkan belum habis setengah dan Zachary membuatnya harus kehilangan beberapa isapan berharga. Bola matanya bergerak naik, terangkat mengikuti gerakan kepala, Manik cokelat madu Braga menyorot tidak terima saat bertumbukan dengan iris sehitam jelaga milik Zachary, sahabatnya itu meringis penuh rasa bersalah.

Braga bersungut-sungut memberi jalan. Ia bangkit lantas membawa tungkainya beberapa langkah ke kiri. Selasar yang berhubungan dengan parkiran samping hanya bisa dilalui satu orang bertubuh tinggi besar serupa mereka berdua. Braga menarik dua kursi kayu yang ada di bawah pohon angsana kemudian merapatkannya ke dinding. Zachary ikut duduk di samping Braga sambil menyilangkan kaki kemudian melirik jam di pergelangan tangan.

"Hampir apel pagi, Ga. Lo enggak akan sempat ngabisin sebatang."

Sindiran Zachary memintas jari Braga yang bergerak merogoh saku. Pria itu mengekeh penuh kemenangan ketika Braga mendengkus pelan. See? Pengaruh wanita benar-benar membuat sahabatnya itu berubah.

"Kalau lo gak ngagetin gue, gue masih bisa ngabisin sebatang tadi, Zach," protes Braga.

"Padahal gue bukan hantu yang bisa bikin lo kaget, Ga." Ujung bibir melengkung lebar, senyum licik yang entah kapan Zachary miliki. "Pikiran lo tuh yang kemana-mana."

"Emang lo? Badan lo aja yang di sini-"

"Ya, ya, pikiran gue memang masih di Bandung," sela Zachary mengangguk memotong ucapannya, membenarkan tuduhan Braga yang menghela napas berat. Inilah yang paling berbahaya dari sebuah hubungan. Saat-saat di mana otak dan hati saling bertentangan.

"Lo seperti bukan Zachary yang gue kenal deh. Jangan-jangan yang di sini hanya wadah." Braga sok merinding ketakutan. Ia berusaha mengalihkan, Braga tidak ingin Zachary mulai berceramah, seolah pakar cinta sementara hubungan pria itu sendiri bisa dianggap tidak jelas.

"Lo yakin si Ara cinta lo? Jangan pernah lupa! Wanita itu berjarak ratusan kilometer dari lo, Bro."

"Emang lo yakin si Chika udah suka sama lo? Jaraknya juga ratusan kilometer dari Jakarta."

Alih-alih menjawab, Braga malah balik bertanya. Ia nyaman dengan Aleira, meski mereka berhubungan jarak jauh. Hubungan Braga dan Aleira jelas, mereka sepasang kekasih. Sementara Zachary? Chika bahkan pernah mengultimatum pria itu jika mereka tidak cukup dekat untuk saling melarang.

Braga dan Aleira memang terpisah jarak, tetapi mereka berkomunikasi setiap hari. Video call rutin Braga lakukan saat bangun pagi dan menjelang tidur. Tidak ada yang salah dengan wanitanya. Ia jangan sampai terpengaruh dengan semua celotehan Zachary.

"Ya, gue enggak tahu seperti apa hubungan kami." Pria itu menunduk, menatap jemarinya meremas paha sambil mengembuskan napas panjang.

"Ya, sudah!" sahut Braga cepat, ia sudah menang telak. Jelas sekali. Braga bangkit lantas menepuk bahu sahabatnya. "Sebaiknya lo pastikan sebelum diambil orang, Man. Dah! Gue mau ketemu Pak Denny dulu."

Bertemu Atasan memang menjadi senjata paling ampuh untuk melarikan diri dari cecaran pertanyaan Zachary Joseph. Awalnya pria itu berlagak mengasihani, padahal dirinya sendiri yang butuh penghiburan. Licik memang. Namun, Braga juga bisa lebih culas.

Seperti saat ini. Alih-alih ke lantai dua untuk ketemu AKBP Denny Arisandi, ia malah belok kiri ke toilet, memastikan semua bilik kosong lalu menjawab perangkat jemala yang sejak tadi bergetar halus di dalam saku celananya.

[Lama amat!]

Suara Aleira tegas, tetapi merajuk sekaligus. Andai Braga punya sayap, ia pasti sudah terbang menemui wanita itu detik ini juga.

"Abis ngerokok di samping," sahut Braga kalem, tetapi jangan salah, dadanya bertalu dua kali lebih cepat dari biasanya. Kerinduan itu memang bisa ia sembunyikan dari siapa pun, tetapi tidak dengan Aleira. Braga missed her a lot, like gonna die. Kerinduan itu seperti dua sisi pedang. Menyenangkan, tetapi menyesakkan sekaligus.

[Kamu jadi kan ke Jogja?]

Braga melirik jam tangan di pergelangan tangan. Bulu-bulu halus menegak di sepanjang lengannya. Look at that, hanya mendengar suara Aleira saja, ia sudah seperti ini. Deep voice yang membuat semua rambut di permukaan tubuh Braga berdiri kaku.

"Aku ke sana dengan pesawat terakhir, ada yang harus aku selesaiin dulu."

[Ok, Sayang. See you tom....]

"Btw Ra, backsound-nya ribut banget," sela Braga sambil menjauhkan layar ponsel dari telinga lalu mengaktifkan pelantang.

Wanita di seberang sana tertawa lepas, Braga bisa membayangkan poni khas Dora bergoyang menutupi mata Aleira yang mengatup.

[Iya, ini lagi di Mal, mau ketemu Vendor. Trus ada check sound gitu. Udah, ya, Ga. Aku tutup, missed you.]

"Miss you more, see you tomorrow."

Layar ponsel Braga menghitam menandakan panggilan berakhir. Ia menggaruk tengkuk, alisnya tertekuk diikuti bola mata yang berotasi. Braga memijat pangkal hidung, ia masih kepikiran Aleira. Sambil memejamkan mata, Braga mengingat kembali percakapan mereka barusan. Ada yang aneh, tetapi apa?

Bahkan sepanjang perjalanan 552 km Trans Jawa keesokan harinya, otak Braga masih dipenuhi sekelumit pertanyaan. Backsound Aleira saat menghubunginya terdengar familiar, tetapi ia tidak yakin pernah mendengarnya di mana. Bahkan dengan waktu tempuh delapan jam Jakarta - Yogyakarta pun tidak mampu menjawabnya. Namun, penat di raga dan otak yang Braga rasakan terbayar lunas ketika Honda Jazz hitamnya melewati gerbang kota Yogyakarta.

Tidak ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan Yogyakarta selain sebagai pusat tradisi yang berkompromi dengan modernisasi. Gedung pencakar langit berdampingan dengan permukiman lawas yang mengapit gang sempit. Hiruk pikuk aktivitas futuristik berbaur tradisi klasik. Sebuah harmoni yang menciptakan rindu. Braga tak akan pernah bosan untuk berkunjung ke sini walau harus menghabiskan setengah hari berkendara. Namun, terlepas dari segala keindahan Yogyakarta, satu alasan terbesar untuknya tak mampu berpaling adalah Aleira Hartanto. Wanita yang selama dua tahun terakhir mengisi sudut kosong di hatinya.

Petugas keamanan yang berjaga membuka portal setelah melihat lampu mobil berkelip sekali. Pria bertubuh tegap itu membungkuk hormat saat Braga menurunkan kaca mobil.

"Liburan, Pak?" tanya sang petugas berbasa-basi.

Pria berpakaian serba hitam itu tertawa meski hanya dijawab anggukan dan senyum tipis Braga. Ia suka komplek Aleira, para tetangga tidak ada julid. Semuanya sibuk, pulang pun hanya sekadar beristirahat melepas lelah setelah seharian beraktivitas.

Mobil Braga melaju pelan melindas konblok, melewati bundaran dengan trek menanjak hingga sampai ke ujung jalan. Lampu teras Aleira belum menyala saat Braga menepikan kendaraan di depan pagar besi tinggi dicat hitam itu. Ia melirik Police Black Dial di pergelangan tangan. Hampir tengah malam. Apa Aleira belum pulang?

Braga turun dari mobil lalu mengambil ransel dari jok belakang. Tatapan Braga berotasi ke sekeliling sebelum membawa langkahnya ke pagar. Tidak terkunci. Sejak kapan Aleira seteledor ini? Atau jangan-jangan ada maling? Perasaannya tidak enak. Braga menyampirkan ransel di kedua bahu lantas melangkah cepat ke teras, ia mencelus saat mencoba membuka pintu.

Keadaan di dalam rumah tidak jauh berbeda. Ruang tamu gelap gulita, akses penerangan hanya dari lampu akuarium yang jadi partisi ruang tengah dan dapur. Braga meninggalkan ransel di sofa, pelan, tanpa suara, lalu berjingkat menaiki tangga. Tujuannya adalah kamar Aleira yang ada di ujung selasar. Rongga dadanya seperti digedor sesuatu tak kasat mata saat pintu kayu jati dipelitur itu terbuka perlahan.

Gelap. Tak ada siapa pun.

Beberapa jenak, Braga gunakan untuk beradaptasi. Pintu ke arah balkon terbuka, kelap kelip lampu dari alun-alun kota tampak cemerlang, seakan bersentuhan dengan langit kota Yogyakarta yang sehitam jelaga. Aroma khas tanah basah menguar dari embusan angin, sesekali mengibarkan tirai perlahan.

"Kamu sudah datang, Sayang? Katanya pesawat terakhir, kok pake mobil?"

Jika saja Braga tidak mengenali suara itu, suara yang dominan ngebass dan berat untuk ukuran wanita, mungkin Braga akan menarik lengan ramping yang kini mengalung di perutnya lantas membantingnya ke lantai.

Braga menunduk, tatapannya jatuh pada jari jemari Aleira yang merambat naik lalu bertaut di dadanya. Braga mengembuskan napas lega sambil mengelus permukaan kulit sehalus sutra itu. Ia berbalik, mendapati wanitanya tersenyum, tatapan mata Aleira yang tajam, membiusnya beberapa saat. Tubuh Braga mendadak kaku, terlebih ketika wanita itu menemui bibirnya dengan amat buru-buru.

"Aku rindu, Ga."

***