Suara bel kontrakan sudah berbunyi dua kali. Aku tetap duduk anggun menyisir rambut pendekku di kamar.
“The show must go on, Hanna. Biar dia pagi-pagi pensiun jadi induk koala,” gumamku kemudian menaikkan volume musik di headset yang sempat terjeda karena SMS masuk.
Baskara: Hann, setengah jam lagi ya.
Aku hanya membaca sekilas kemudian touch up kembali wajahku dengan powder foundation yang seperti bulan sabit. Hanya tersisa secuil di bagian tepi wadahnya. Paket internet juga habis semalam. Kuas lisptikku juga sudah mengering. Dan, sekarang adalah akhir bulan. Ini namanya habis jatuh tertimpa kerbau. Permasalahan ini lebih darurat daripada menemui tamu di depan yang sama sekali bukan ranah urusanku.
Terdengar langkah kaki seseorang melewati depan kamar, lalu sesaat kemudian pintu depan terbuka. Bukan siapa lagi, sudah pasti si induk koala, Belvina. Karena yang tinggal di kontrakan ini hanya kita berdua. Sepasang juragan dan penyewa kontrakan yang tidak bisa saling menyebutkan satu saja kesukaan satu sama lain.
Terdengar suara saling menyapa yang mengisi kesunyian pagi ini. Lebih tepatnya, kesunyian setiap hari. Sigap aku memeriksa waktu pada jam tangan, lalu menempelkan telingaku di daun pintu kamar. Mengerahkan seluruh energiku untuk menguping pembicaraan mereka yang terdengar samar-samar dari teras.
“Ini dengan Mbak Belvina?” tanya seorang cewek yang langsung duduk memangku anak perempuan.
“Iya, Saya sendiri. Ada apa, Mbak?” Suara Belvina sangat segar. Sama sekali bukan seperti baru bangun tidur.
“Perkenalkan, Saya Danita, Mbak. Dan ini anak saya, Lavina.”
“Halo, Tante!” sapa anak berkepang dua itu ceria.
Belvina hanya tersenyum enggan, meskipun poni yang menyentuh alis Lavina seperti bercermin pada dirinya waktu berumur lima tahun. Cepat-cepat ia menatap Danita kembali. Baginya, Danita masih tergolong cukup muda untuk menyandang status seorang ibu.
“Sepertinya Mbak Danita salah tempat. Kalau cari baby sitter, rumahnya yang di sebelah kontrakan ini.” Senyum tipis Belvina seperti ingin segera mengakhiri percakapan itu.
“Saya bukan nyari baby sitter, Mbak. Saya dan anak saya berminat untuk ngontrak di sini. Selain katanya tergolong murah untuk kontrakan di Jakarta, anak saya juga tidak perlu jauh-jauh pergi ke sekolahnya. Dia sekolah di TK favorit dekat sini.”
Anak? Ngontrak di sini? Pagi Belvina yang biasanya tenang tiba-tiba seperti lagi tinggal di lereng gunung berapi dan mendengar informasi status level siaga 3 dadakan. Jangankan pasang iklan di media sosial, pengumuman dari mulut ke mulut sama para tetangga yang hanya sebatas tahu wajahnya saja tidak pernah ia lakukan.
“Di ujung sana juga ada kontrakan, Mbak. Mungkin kontrakan yang di situ yang Mbak cari.” Belvina tetap saja berpikir jika Danita salah tempat.
Padahal aku yang sudah kehabisan energi untuk menguping, sangat paham jika Danita memang mencari juragan Belvina.
“Yang kontrakan di sana mahal, Mbak. Katanya, beda jauh sama harga di sini yang lebih bersahabat untuk perempuan single mom seperti Saya.” Danita berkata jujur tanpa beban.
Sedangkan aku terperanjat di balik pintu kamar. Dua kata itu menggambarkan bagaimana kerasnya hidup baik dari segi finansial atau pun mental yang tidak bisa kubayangkan.
“Kata siapa, Mbak?” Belvina juga kaget, tapi ia mencoba menemukan dalang di balik mood paginya yang tiba-tiba hancur.
“Kata ibu-ibu di depan gang sana.”
Duh, sekali pun Danita menyebutkan nama ibu-ibu itu, Belvina tetap tidak akan bisa membayangkan wajah mana yang dimaksud. Maklum, ia hanya hafal wajah kasir minimarket yang didatanginya tiap isi ulang kulkas.
Aku yang menyerah dengan agenda menguping, akhirnya keluar. Jadi tahu dengan wajah Danita dan Lavina yang lebih cocok disebut sebagai tante dan keponakan. Juga kulihat wajah Belvina yang terakhir kali berpapasan denganku kemarin pagi di tempat jemuran. Wajah yang jika direkrut oleh sutradara, masih cocok untuk dapat peran cewek cantik yang tajir.
“Halo, Tante!” Lavina tiba-tiba menyapaku.
Diriku yang baru selesai memasang sepatu terpaksa menunda kabur. Kabur dari kekikukan.
“Hai,” sapaku balik dengan melempar senyum lebar.
“Mau ngontrak di sini, Mbak?” tanyaku pada Danita.
“Iya, Mbak.” Nada bicaranya ramah sekali. Bahkan ia tersenyum tulus kepadaku.
Dari sikap dan aura yang kutelaah dalam sesaat, kayaknya Danita adalah wanita baik. Buktinya Lavina diam saja selama mamanya membahas masalah kontrakan. Dan kalau Danita masuk nominasi the bad mother, pasti Lavina tidak akan ada di sini saat ini. Bisa kupastikan, mantan suaminya minta diikutkan rombongan ke Bulan dan ditinggal pulang.
“Masih ada satu kamar paling depan, tapi jika Mbak Belvin berkenan sih," kataku ringan.
Mata Belvina seketika melotot. Kita sudah jarang berkomunikasi. Tapi sekalinya aku nimbrung, malah sengaja membuatnya kesal. Karena bagiku, Danita harus sekali dapat jatah sebagai pemilik kamar paling depan. Untungnya panggilan telepon dari Baskara menyelamatkanku.
“Maaf, saya ke kampus dulu. Mari, Mbak.” Aku pamit tanpa berani menatap bola mata Belvina yang mulai memercikkan api.
Rasanya aku semakin ingin ngereog sambil menjulurkan lidah berulang kali kepadanya. Puas sekali menempatkan Belvina di posisi yang sulit.
Gerak kakiku sengaja dipercepat agar obrolanku dengan Baskara tidak tertangkap telinga mereka. Terakhir kudengar Danita sedikit memohon.
“Saya siap bantu pekerjaan rumah apapun di sini.”
Ketika diriku sudah menghilang dari jangkauan penglihatan mereka, barulah aku berani mengangkat telepon.
“Bas, pagi-pagi kontrakan kayak syuting FTV dan aku tokoh antagonisnya.” Aku sudah tidak sabar untuk membuka pembicaraan lebih dahulu. Lihat kiri-kanan tak ada orang. Jadi suaraku tidak perlu lirih.
“Memangnya ada apa?” Baskara terdengar sangat penasaran.
“Aku pasang bom waktu. Paling entar meledak, boom, duar!”
“Masalah Mbak Belvina lagi?”
“Siapa lagi kalau bukan si Induk Koala yang double triple introver. Tadi aku terang-terangan ngajak anggota baru, biar aku gak jadi jangkrik sendirian di kontrakan. Apalagi orang baru itu bawa anak. Jadi habis ini kontrakanku bakalan double triple trouble.” Aku girang sekali membayangkan wajah Belvina yang stres di hari-hari berikutnya karena Lavina.
“Lebih seru cerita langsung. Cepetan ke sini. Antreannya udah mengular nih.”
“What?! Pokoknya harus kebagian,” lalu panggilan itu pun kuakhiri dan segera berlari menuju pangkalan ojek.
***