MAIA
Gue melempar tas ke jok belakang dan menutup pintu mobil cepat-cepat.
Sebelum mesin dihidupkan, suara ketukan di kaca mobil membuat gue harus menoleh dan mendapati sosok itu di sana. Dia memandang gue dengan tatapan memohon. Berharap gue menurunkan kaca dan memberikan kesempatan kepada dia untuk bicara. Sejujurnya, gue merasa ogah banget untuk meladeni dia. Apalagi dalam keadaan genting begini. Tetapi dasar gue orangnya enggak tegaan, mau sekesal apapun perasaan gue ke orang tersebut, tetap saja gue ladeni.
“Mau apa lagi?” tanya gue, ketus.
“Kita bisa bahas ini baik-baik, kan?”
Gue enggak menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, gue pengin ngelus dada. “Gila lo ya. Sahabat gue kecelakaan, lo masih juga mentingin bahas masalah kita?”
Gue benar-benar enggak habis pikir. Ada ya orang yang enggak berperasaan kayak gitu? Tadinya gue pikir, dia mau menawarkan bantuan atau apa gitu. Nyatanya?
Daripada dia lanjut ngomong lagi, cepat-cepat gue naikin kaca mobil sambil menghidupkan mesin. Akan tetapi ketukan di jendela kembali terdengar. Gue sudah siap buat marah-marah ke dia kali ini. Untungnya… iya, masih ada untungnya, kali ini gue yang salah. Ketukan datang dari kaca mobil sebelah kiri, dan gue melihat Ucup di sana.
“Keluar dari mobil. Lo nggak mau nyetir dalam keadaan emosi nggak stabil gitu, kan? Bahaya tahu!” ujar Ucup, teriak keras-keras sampai gue bisa dengar walaupun kaca mobil enggak gue turunin.
Sekarang nih, gue cuma enggak sampai nangis saja pas ngelihat Ucup muncul. Padahal, di dalam hati, rasanya sudah mau meledak. Semua perasaan bercampur jadi satu. Gue bukan cuma lagi kesal banget sama lelaki di sebelah kanan gue, tetapi juga sama kabar yang barusan didapat dari sahabat gue, Regi.
Prioritas gue sekarang adalah pergi dari tempat ini. Jadi, alih-alih gue nangis karena dengar omongan Ucup yang enggak tahu kenapa kemunculannya sudah kayak pahlawan. Mending gue turun juga deh. Pindah posisi, duduk di jok penumpang.
Ketika gue turun, lelaki yang tadi gedor-gedor kaca mobil dan enggak berperasaan itu masih berdiri saja di sana. Dia dan Ucup sempat berserobok pandang tanpa tegur sapa. Sebelum Ucup masuk ke mobil, menggantikan posisi gue di balik kemudi.
“Lo nggak perlu ngomong apa-apa. Nggak perlu juga komentar kalo gue terlalu bego untuk jadi bucin,” ujar gue ke Ucup yang bikin dia cuma bengong doang.
“Gue nggak minta lo buat ngomong sepatah kata pun. Kecuali…”
“Kecuali apa?” tanya gue.
“Lo kasih tahu gue sekarang tujuan kita mau ke mana? Gue cuma mau mastiin aja lo pergi ke tempat yang tepat, dan gue bakal antar lo ke tujuan dengan selamat,” terang Ucup, sembari menarik persneling dan menginjak pedal gas pelan-pelan.
* * *
REGI
“You can take all this.”
Gua masih ingat banget kata-kata Selina tadi. Sempat-sempatnya dia datang ke sini waktu tahu kalau gua di IGD Rumah Sakit, dan mesti bayar uang jaminan supaya Alana bisa ditangani segera.
Alana menghubungi gua tadi dan memberi tahu kalau dia mengalami kecelakaan lalu lintas dan butuh bantuan segera. Ludi―pacarnya enggak bisa dihubungi. Dan sebagai seorang cowok sekaligus sahabat, gua enggak mikir panjang lagi buat langsung jemput Alana dan membawa dia ke Rumah Sakit terdekat.
“No need. Maia udah di jalan mau ke sini,” jawab gua. Terpaksa mesti bohong lagi ke Selina. Soalnya kalau enggak, Selina masih akan maksa gua untuk nerima uang di amplop yang enggak tahu jumlahnya ada berapa karena amplopnya kelihatan gemuk.
“Kamu masih berpikir harus mempertimbangkan pakai uang ini? Sahabat kamu butuh bantuan, Reg.”
“Sel, kamu tahu nggak sih, ini bukan soal uangnya. Aku nggak mau kamu berurusan lagi dengan masalah-masalah pribadi aku.”
“Tapi kamu bayar IGD pakai uang kantor. Apa nggak nambah masalah lagi nanti?”
“Terus kalo keluarga kamu tahu uang kamu dipakai buat aku lagi, itu nggak jadi masalah buat kamu? Nggak jadi masalah buat mereka?”
Uluran tangan Selina enggak turun juga. Amplop itu, masih aja ada di hadapan gua. Dia memohon, tapi gua enggak mau menerima. Gua enggak bisa menerima.
“Mereka nggak perlu tahu, Reg.” Selina meyakinkan gua lagi.
“Ya jelas, mereka nggak perlu tahu. Karena buat mereka, uang itu bukan masalah. Bahkan mungkin nggak berarti apa-apa. Kecuali kalo uang melibatkan hubungan kita.”
“Kenapa kamu ngomong gitu sih, Reg?”
“Ya karena semuanya udah jelas, Sel. Kamu juga pasti paham.”
Selina akhirnya menurunkan kedua tangannya. Dia menyelipkan amplop itu kembali ke dalam tasnya. Lalu melangkah mundur, pergi meninggalkan gua yang berada di muka IGD dan milih untuk enggak ngejar dia sama sekali.
Sorry, Sel. I have to do this. Gua berucap dalam hati. Karena kalo nggak. Bukan cuma aku yang dalam masalah. Kamu juga. Ini masalah aku dan nggak seharusnya jadi masalah kamu. Kamu nggak perlu melibatkan aku yang nggak pantas untuk jadi bagian dari hidup kamu, Sel. Nggak perlu.
Shit, ngapain sih gua jadi ngelamun begini. Kalau enggak gara-gara suara Maia yang teriak manggil gua sambil lari-larian bareng si Ucup, mungkin gua masih ngelamun aja.
“Gimana kondisi Alana?” tanya Maia.
* * *
ALANA
Bagaimana caranya agar bisa lari dari masalah ini?
Aku menekan ponselku berkali-kali, berusaha menghubungi Ludi yang entah kenapa tak kunjung menjawab panggilanku. Mobilku dipacu kencang, berusaha tiba di Rumah Sakit secepat-cepatnya. Aretta, kakak perempuanku, memberi tahu kalau Mama kolaps setelah berseteru mulut dengan Ardhan. Dan aku sangat khawatir kalau terjadi sesuatu yang tak kuinginkan sekalipun Aretta memberi tahuku kalau Mama akan baik-baik saja.
Aretta seorang dokter, dan aku tahu, arti baik-baik saja di tengah kabar genting malah bisa bermakna sebaliknya. Mungkin saja Aretta hanya berusaha membuatku tidak panik meskipun sejujurnya aku sudah panik sejak saat ia menelepon dan memintaku menyusul ke Rumah Sakit tempatnya praktik.
Aku butuh Ludi. Aku butuh ia untuk menenangkanku. Menemaniku jika setibanya di Rumah Sakit nanti, aku menemukan sesuatu yang tidak mengenakkan. Entah itu kabar tentang Mama, atau malah keberadaan Ardhan di sana. I hate him. Aku benci kakakku yang satu itu. Dan setelah tahu kalau penyebab Mama kolaps adalah karena pertengkaran dengannya, membuat kebencianku kepadanya semakin bertambah.
Sialnya, emosi yang menguasaiku membuat aku tak mampu mengendalikan laju mobil dengan baik. Di pintu keluar tol dalam kota, aku menabrak pembatas jalan. Mobilku tergelincir belasan meter. Arah lajuku berubah dan moncong mobilku menabrak pembatas jalan sekali lagi hingga akhirnya tak bergerak.
Aku tak ingat seberapa besar goncangan yang kualami di dalam mobil. Sebab kejadian tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat cepat, sementara pikiranku masih terus tertuju pada Mama.
Di balik kemudi, aku hanya bisa menahan napas. Shock dengan semua yang terjadi barusan. Aku bahkan tak sadar kalau sebelah kakiku terhimpit pedal rem yang kuinjak kuat-kuat tadi, dan sekarang rasanya seperti nyaris tak bisa digerakkan.
I need help. Pikiranku tak bisa bekerja dengan normal. Yang kuingat tadi, hanyalah kelebat nama-nama yang tumpang tindih. Bukan kontak darurat, bukan nomor layanan ambulans. Namun Tuhan betul-betul baik padaku. Regi, satu-satunya orang yang berhasil kuhubungi, datang tak lama setelah itu.
Dan saat ia datang, aku merasakan pusing dan pandangan yang perlahan kabur. Aku tak mengkhawatirkan diriku. Yang kuingat hanyalah Mama, dan tetap Mama. Serta bayang-bayang wajah Ardhan yang membuat perutku terasa mual.
* * *