The Mirror has Crack'd

The Mirror has Crack'd

IyoniAe

4.6

Sebentar lagi kami akan mati. Nggak ada yang akan menghentikannya. Semua akan terbunuh hanya karena luka kecil. Aku nggak bohong. Lihat saja darah yang terus mengalir dari nadi; merah dan segar. Tapi, tunggu dulu! Darah itu merembes pelan. Oh! Ya ampun, gobloknya! Dia menyayat bukan di nadi, melainkan di vena. Yah, perlu beberapa waktu untuk mati. Sementara itu aku akan menikmati rasanya sakit kelihangan banyak darah. Asal tahu aja, ini cara mati yang nggak asik.

Semua ini salah Hanna. Iya, salahnya. Bukan karena dia terjebak oleh seorang psikopat, melainkan dia sendiri yang psikopat. Hm ... kata psikopat rupanya lebih halus untuknya. Omong-omong, Hanna bukan seorang psikopat. Namun, dia jelas terganggu mentalnya.

Aku benci sekali pada Hanna. Kenapa? Karena nggak ada alasan untuk menyukainya. Itu saja. Coba kutanya, apa kalian suka dengan cewek penakut, terlalu gugup, kaku, dan nggak fleksibel? Kalau suka, kalian perlu meng-upgrade diri.  Ah, ya! Satu hal lagi yang membuat aku paling nggak suka, dia itu penurut. Mau tahu berapa level penurutnya? Jika kalian memintanya untuk menenggelamkan dirinya sendiri ke lumpur—dengan sedikit ramuan berisi rayuan dan ancaman—dengan senang hati dia bakal bilang oke. Dan, ya ... mampuslah dia di lumpur.

Hanya kecantikannyalah yang bisa mencegah orang-orang untuk tidak menyuruhnya bunuh diri. Tapi, kalau dilihat lagi lebih teliti, Hanna bukan cewek cantik. Memang dari segi fisik, dia cukup lumayan untuk kumpulan pemuda kurang ajar. Untuk laki-laki berkelas? Dia lebih mirip pengasuh bayi. Wajahnya yang bundar dengan sorot mata kuyu, bahu selalu melorot lesu, jalannya aja nggak lurus. Oh, aku tahu kalau jalan lurus terus bakalan nabrak. Bukan begitu maksudku. Dia berjalan seolah menghindari sesuatu yang tak nampak. Aku sempat mengira dia mempunyai indra ke-enam. Ah, pikiran gila. Nggak mungkin dia punya itu. Percayalah! Dan satu lagi, caranya berpakain itu, iyuh! Bagiku nggak banget.

 Dia nggak ngerti fashion. Rok pink dengan leging ungu beradu kaus kelombor hitam. Untung sepatu kasual membuatnya nggak terlihat seperti anak-anak saat bekerja. Omong-omong, dia bekerja di salah satu toko yang menjual perlengkapan adventure. Nah, ‘kan? Kalian bisa bayangkan, betapa cocoknya pakaian itu?  Aku nggak sarkas. Oke, cuma dikit.

Aku akan menceritakan bagaimana kami mati. Kenapa semua ini salah Hanna? Tentu saja salahnya, karena dia pingsan. Dia pingsan di saat aku belum siap mengambil alih sehingga memberi kesempatan Ella untuk keluar. Ella adalah gadis yang malang, yang depresi, dan yang kepingin mati. Dari semua yang ada di sini, dialah yang wajib diwaspadai. Jika terbangun, dia akan mulai menangis, meratapi diri di pojokan ruang, mengambil silet, lalu menyayat tangan dengan goresan sembarang, membuat darah menyembul dari kulit.

Untungnya, atau sialnya, aku nggak tahu mana yang cocok, dia itu bodoh. Dia nggak bisa membedakan mana nadi dan mana vena. Dia juga nggak bisa membedakan mana pisau roti dan mana pisau daging. Satu keuntungan yang nggak untung. Karena bagaimanapun, kami semua akan mati. Hore.

Oh, ya, omong-omong soal mati, kalian pasti bingung kenapa dia yang menyayat tangannya, tapi kita semua yang mati. Ya, sekarang aku akan beritahu alasan kenapa bisa seperti itu? Jawabnya simpel, pembaca yang budiman. Karena sebenarnya Hanna, Ella, dan aku adalah satu. Hanna, si pemilik tubuh, merupakan wanita luar biasa, memiliki kasus yang dikatakan oleh psikologis sebagai kasus MPD/DID. Apa itu MPD/DID? Bahasa mudahnya adalah kebribadian ganda. Kami adalah pribadi yang terpecah dari Hanna. Kenapa bisa begitu? Aku nggak mau cerita sekarang, meski akan mati sekalipun. 

Bicara soal MPD, kalian nggak bisa menentukan diri kalian sebagai penderita MPD dengan gampang, bahkan hanya untuk keren-kerenan. Kalian harus melalui pengujian-pengujian serius dengan ahli kejiwaan. Percayalah, itu nggak asik sama sekali. Sebagian ahli masih memperdebatkan bahwa penyakit ini ada atau tidak. Banyak alasan orang nggak percaya kami ada, menganggap kami hanya halusinasi, delusi, atau gejala-gejala yang timbul akibat peyakit lain seperti bipolar, skizofrenia, dll. Tapi percayalah, kami nyata. Aku ada, dan sekarang sedang mengetik naskah, menceritakan kisahku untuk kalian.

Mungkin kalian pernah merasakan suatu saat di mana kalian lupa telah berbuat sesuatu? Atau nggak kenal seseorang yang tiba-tiba sok akrab? Atau sadar kalau kalian ada di suatu tempat asing, nggak tahu kapan kalian datang, dan bagaimana, serta untuk apa kalian ada di sana? Lalu kalian menganggap kalau itu berkepribadian ganda. Oh, tidak segampang itu, Esmeralda. Memang, hal pertama yang paling sering dialami penderita ini adalah ketidakmampuan untuk mengingat dalam jangka waktu tertentu. Bisa selama setahun, sebulan, atau seminggu, bahkan sehari atau beberapa jam. Tergantung berapa lama kepribadian lain mengambil alih.

Aku nggak tahu berapa kasus yang ada di Indonesia, tapi kalau di dunia, ada cukup lumayan. Contoh yang paling fenomenal tentu saja ada Billi Milligan yang membunuh, memperkosa, merampok, dan banyak kejahatan lainnya, tetapi, dia divonis bebas karena yang melakukannya adalah kepribadian lain, dan mendapat perawatan intensif untuk penyembuhan peyakit itu. Asal kalian tahu aja, kisahku ini nggak se-ekstreem itu. Aku nggak akan memmbunuh, kok. Tapi nggak bisa janji juga, karena aku nggak tahu kepribadian yang lain mau bunuh orang atau nggak. Mungkin nanti kalau ada yang mau bunuh orang, bisa lapor dulu kepadaku biar bisa kusensor dan masukkan kisah ini ke rating 21+.

Baiklah, kita kembali ke saat-saat kematianku. Sudah beberapa tarikan napas terdengar, detikan jam di dinding berlalu, menit-menit berjalan. Suara dering ponsel yang berbunyi nyaring masih diabaikan. Dapur lembap yang rapi sekaligus berantakan terlihat lebih muram dengan cahaya lampu yang temaram. Aku mencoba mengambil alih. Memaksa Ella kembali tidur. Namun, depresi dan keinginannya untuk mengakhiri kami semua sangat kuat.

Dari semua kepribadian, aku yang tahu dan kenal dengan semuanya. Kecuali Hanna. Dia nggak mau bertemu atau mengenalku. Tapi aku selalu memperhatikannya dan tahu betul apa yang dilakukannya. Biasanya, aku yang menentukan siapa yang berhak keluar saat Hanna tertidur. Itulah kesempatan untuk kami melakukan kegemaran masing-masing. Nah, seharusnya, Ella nggak boleh keluar sekarang. Dia sedang dalam keadaan payah. Meski selalu payah, anyway.

Hanna juga nggak boleh pingsan tiba-tiba. Bisa dibilang kalau aku kecolongan. Hari ini, akulah yang seharusnya bersenang-senang; mengunjungi pesta-pesta ulang tahun teman, mabuk-mabukan, bergaul ke cafe-cafe hits. Seandainya Hanna tidak mengacaukannya dengan pingsan. Kalau dipikir-pikir, dia pingsan hanya karena melihat bajunya nyembul dari lemari. Iya, serius! Memang aku pernah bercanda?

Jadi, beberapa menit yang lalu, dia mendengar suara gaduh dari lemari. Jika itu kalian, apa kiranya yang kalian pikir sebagai penyebab kegaduhan itu? Tikus? Kecoak yang sedang berpesta cooktail? Atau Dewa Yunani yang nyasar? Nah, kalau Hanna, dia pasti berpikir itu ulah penyusup, pencuri, atau perampok. Ugh! Tolong! Memang, seberapa kecil tubuh perampoknya? Apa nggak ada tempat persembunyian lain?

Hanna, dengan membawa tongkat, berhati-hati melangkah ke depan lemari, kemudian membuka lemari itu pelan-pelan. Dan, benar, tikus kecil berlari keluar dengan menyeret salah satu bajunya. Dia kaget, lalu out—pingsan.

Saat aku akan mengambil alih, sudah terlambat. Ella terbangun di lantai depan lemari. Dengan tangisan yang sanggup menyayat hati para pendengar, Ella berlari ke dapur, mengambil pisau dan memotong pergelangan tangannya. Dia berbaring begitu saja ke lantai, meringkuk sembari menyaksikan tetes demi tetes cairan kental nan amis itu mengalir.

Nggak berseni sama sekali menurutku. Alangkah lebih baik jika dia kembali ke kamar, memasang bunga-bunga, kemudian berbaring tenang, menutup mata, menunggu datangnya kematian. Lebih berkelas, kan?

Ella masih meringkuk di lantai dapur. Meja makan yang besar menghalangi tubuhnya terlihat dari luar. Dari jauh terdengar ketukan. Mula-mula pelan, tiga ketukan. Kemudian dering ponsel menyala nyaring lagi. Ella bergeming, menangis, masih menikmati perih dari tangannya. Setelah dering ponsel meredam, ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, kemudian hening beberapa lama. Aku mengira si pengetuk sudah bosan dan memilih pergi.

Beberapa waktu selanjutnya aku mencoba membujuk Ella, tetapi dia masih anteng melihat darah segar membasahi lantai, membuat genangan. Dari pintu depan terdengar suara congkelan dan tubrukan benda besar beberapa kali. Aku menduga, entah siapapun yang ada di luar rumah, telah berusaha mendobrak masuk. Derap langkah bergema di lantai yang artinya usahanya untuk masuk berhasil. Dan di saat begini, Ella memilih menutup mata, tertidur. Mau nggak mau aku keluar, menghadapi penyusup. Aku memang sial, selalu kebagian yang nggak enak-enak.

Aku berusaha bangkit, perih terasa di pergelangan tanganku. Bekas yang ditinggalkan Ella membuat tubuh terasa lemah. Hal pertama yang aku lakukan tentu saja meraih serbet, membebat pergelangan tangan, mencoba menghentikan darah keluar lebih banyak. Aku mengambil botol minum di meja, menenggaknya hingga habis. Hei, aku juga butuh minum.

Derap langkah yang masuk tadi terdengar menjauh dari dapur, kuduga ia menuju bagian belakang rumah. Apakah dia pencuri? Oh, aku bukan Hanna. Kalau aku Hanna, pasti aku akan pingsan alih-alih melarikan diri. Yah, meski sekarang dia memang sedang pingsan.

Aku bukan seorang pengecut. Jadi, yang kulakukan berikutnya tentu saja mengambil pisau bekas Ella gunakan untuk menyayat tangan. Namun, kalau aku yang pegang, pisau itu berfungsi untuk memotong sayur. Nah, untuk saat ini, mungkin lebih berguna untuk memotong penyusup yang kurang ajar memasuki sarang kami. Tapi kalau dia ganteng, bisa dinego bagaimana enaknya.

Aku melangkah keluar dapur, mengacungkan pisau sayur stainlist yang besar dengan ujung runcing. Mataku awas, telingaku tajam setajam silet—maaf. Aku melangkah menyusuri ruang depan tempat sofa empuk panjang serta TV yang mati berada. Aku melirik jam dinding yang sedari tadi bertik-tok ria. Rupanya sudah pukul sembilan malam lebih empat puluh lima. Pantas saja Hanna begitu ketakutan. Dia selalu tidur tepat waktu, jika tidak, beginilah akibatnya—panikan.

Omong-omong, sarangku ini kecil. Berada di ujung gang. Aku tinggal sendiri—kepribadian lain nggak dihitung. Tetanggaku banyak, tapi semua egois, nggak mau sekadar bertegur sapa. Setelah pulang ke rumah, mereka menutup pintu rapat, nggak memedulikan satu sama lain, nggak mau ikut campur urusan orang lain, kecuali ibu-ibu penjual warung yang ada di depan gang. Dia tipe orang yang berdiam diri di rumah, tapi pengetahuannya tentang skandal dan gosip adalah yang paling top di sini. Mengamati sifat tetangga-tetanggaku yang wah itu, bisa kusimpulkan kalau mereka akan masa bodoh mendengar pintu rumahku didobrak.

  Aku memicingkan mata, menatap pintu rumah yang terbuka. Ada godaan untuk keluar saja, mengunci si penyusup, kemudian menelepon polisi. Namun, aku lupa di mana meletakkan ponselku. Kalau didengar dari deringnya tadi, aku menduga ponselku berada di kamar belakang. Jadi, kuurungkan niatku, memilih kembali memeriksa kemana si kurang ajar itu berada.

Di samping kanan dapur merupakan lorong ke arah kamar mandi. Aku rasa bukan ke sanalah si penyusup. Akan lucu sekali jika orang mendobrak pintu hanya untuk numpang pipis.

Suara langkah kembali terdengar. Bukan dari arah yang baru saja kutinggalkan melainkan dari kamar belakang—kamarku. Meski kami sebenarnya satu tubuh, tetapi kami memiliki kamar masing-masing. Kamar Hanna berada di depan, samping ruang sofa. Aku memilih kamar belakang, dekat dapur. Di sana lebih tenang. Nah, untuk Ella, dia bisa tidur sembarangan. Seperti tadi, di lantai dapur, lantai ruang depan, bahkan di loster pintu dengan syal yang melilit lehernya.

Aku melangkah pelan ke kamar belakang. Dengan menyentak, pintu kamar terbuka. Seorang laki-laki berdiri di tengahnya, tertegun menatap pisau yang teracung di tanganku. Tatapannya beralih ke tanganku satunya yang berlumur cairan kental berwarna merah. Mulutnya menganga. “Apa yang kamu lakukan?”

Badanku terasa lemas, entah karena lega atau kehilangan banyak darah. Pandanganku berputar, gelap. Bisa diduga, aku menyusul Hanna alias pingsan.

***