Mata tua itu memandangku lekat dan tajam. Manik hitamnya menghujam jantung. Rambut putih disanggul kecil dengan kulit hitam keriput seolah mengisyaratkan bilangan waktu yang telah banyak dilaluinya.
"Cintamu akan selalu kandas dan pergi. Tapi, jika kamu kuat menerima ujian itu dan bisa melewatinya, kebahagiaan pasti datang."
Telingaku menangkap kesungguhan ucapannya. Tiba-tiba sebuah perasaan takut membalut jiwa dan sanggup membuatku menggigil. Aku tidak mengenalnya. Bahkan, pertemuan ini pertama kali bagiku.
Entah kebetulan atau bukan, sebuah mantra yang diucapkannya seolah memanah hidupku. Aku terbelenggu dalam pusaran ketakutan. Tak ada yang tahu keadaan ini.
Persetan dengan ramalan atau mantra, atau apa pun. Itu kan hanya akal-akalan manusia lewat bisikan setan.
Sungguh, aku tidak ingin memercayai semua omongan nenek tua itu. Namun, seiring waktu, hidupku seolah berdampingan dengan ucapan nenek tua yang kutemui di pasar beberapa tahun yang lalu, saat aku belum memahami segalanya.
Bagiku kala itu, perkataannya hanyalah sekedar ocehan perempuan tua yang bawel dan ingin diperhatikan. Aku ingat, neneknya temanku sering mengomel tanpa sebab jika ada kemauannya yang tidak dipenuhi.
Tidak! Aku tidak ingin mengingat lagi ucapannya meskipun tahun-tahun telah berlalu dan memoriku masih mengikat kuat kenangan itu. Bagiku, apa yang terjadi adalah sebuah suratan takdir yang sudah tertulis. Semuanya berasal dari Allah. Aku yakin, takdir akan membawaku pada cinta yang indah!
Kata orang, senja itu indah. Sebuah mahakarya Sang Pencipta yang tidak akan pernah bisa ditiru oleh makhluk-Nya. Senja selalu mendambakan cinta rembulan tanpa harus meninggalkan kesetiaan pada matahari.
Demi matahari dan rembulan pula, senja selalu hadir di antara mereka. Kecantikannya yang abadi walaupun sesaat, mampu menghadirkan sebuah warna indah untuk mayapada.
Seperti saat ini, matahari tersenyum lembut tanpa pendar segarang siang. Perlahan tenggelam lalu meninggalkan cakrawala. Semburat warna oranye dengan gradasi ungu violet mulai terlihat. Senja melambai ditemani angin dingin.
Senja memang indah. Aku pun tidak akan menyanggahnya. Terkadang, lewat semilir angin yang berhembus di kala senja, bait-bait puisi tercipta indah. Aku ingin, bersama seseorang yang mencintaiku menikmati saat matahari kembali ke peraduan.
***
Perempuan dengan rambut hitam tergerai itu memandang buku harian merah muda bergambar laut dalam genggamannya. Seulas senyuman terlukis di wajah cantiknya. Sebelumnya, dia selesai membaca tulisan di halaman terakhir, hasil goresan pena yang dibuatnya sekitar dua tahun lalu. Sedetik kemudian, diletakkannya benda itu di meja kecil dekat jendela kaca, lalu bangkit dan melangkah menuju balkon.
Perempuan berbulu mata lentik itu melempar pandangan ke arah jauh. Sepertinya ada yang dia pikirkan. Hening merayapi waktu. Semilir angin malam mempermainkan rambut dan gaun malamnya. Namun, dia menikmati suasana ini. Hatinya sungguh damai.
Angin bertiup sepoi-sepoi, perempuan itu menarik napas panjang sambil terpejam, merasakan aliran hawa segar melesak ke rongga hidung, kemudian dia mengembuskan perlahan. Pikirannya melayang ke masa lalu yang telah dilewatkan dengan tertatih dan penuh derai air mata. Jejak kehidupannya ibarat dongeng menjelang tidur. Dia tidak menyangka, suratan takdir membawanya pada titik kebahagiaan.
Perlahan, dia membuka mata. Tangannya bersilang terlipat mengusap lengan. Menikmati desiran angin yang mengalun syahdu laksana orkestra alam di dari balik rimbunan dedaunan. Hawa dingin pegunungan menyentuh kulit putihnya yang tertutup sehelai kain tipis.
Menyebalkan!
Dia meringis, lalu teringat parka tebal warna pinggala dengan bulu-bulu halus di bagian dalam yang tergantung di lemari kamarnya, hadiah dari sang suami saat mereka mengunjungi Turki beberapa bulan silam.
"Suatu saat kamu pasti membutuhkannya untuk menghangatkan tubuh," kata lelaki tercinta saat dia keheranan dengan hadiah itu. Menurutnya, benda itu tidak akan terpakai di Jakarta yang bercuaca panas.
Sepertinya dia harus mengakui ujaran suaminya itu. Ada sedikit penyesalan karena tidak mengindahkan anjuran untuk membawanya saat mengunjungi tempat ini. Padahal dia tahu, cuaca Ciwidey memang sangat dingin, menusuk hingga tulang. Matanya yang indah menatap hamparan pucuk-pucuk dedaunan perkebunan teh Rancabali di bawah sinar rembulan.
Tanpa disadarinya, sosok tinggi dengan tubuh tegap memandangnya dari belakang, lalu berjalan mengendap-ngendap seolah takut diketahui. Laki-laki itu terpesona dengan tubuh indah berbalut gaun tipis yang bergerak-gerak dipermainkan angin nakal. Dadanya bergemuruh menahan hasrat yang selalu bergejolak. Sesekali dia memandang ke belakang, seolah takut ada seseorang dari keluarga perempuan itu datang dan memergokinya. Padahal, dia yakin, pintu masuk sudah dikunci sempurna.
Seolah tak ingin kehilangan kesempatan di malam indah, dia merencanakan sesuatu. Laki-laki itu tersenyum misteri dengan pandangan tajam, tak ingin buruannya hilang dari pandangan. Dia merogoh benda dari saku celana yang dikenakannya. Semakin mendekati target, hidungnya mengenali wangi eau de parfum yang dipakai perempuan itu. Aroma wewangian dari kesegaran bunga yang lembut dan sensual. Dia merasa, gairahnya semakin melambung.
Namun, kehadirannya diketahui perempuan itu. Sebuah teriakan memenuhi ruang hening kedap suara. Sia-sia, tak ada yang mendengar apalagi mengetahui apa yang sedang terjadi. Yang jelas, perempuan itu, Rima Damayanti, hanya bisa pasrah saat lelaki yang datang mengeluarkan benda yang sejak tadi digenggamnya.