The Lens Of The Eye

The Lens Of The Eye

Yoghi Julian

0

   “Tadi, gue dengar ditemukan satu mayat terbakar hangus dalam rumah itu.” Glen berkata sambil melihat ke arah rumah yang gosong terbakar dilalap si jago merah di hadapannya. Beberapa asap dirumah bertingkat itu seolah lenyap dihisap langit malam perlahan.

   Suci, yang berdiri disamping Glen yang juga menatap objek yang sama, hanya terdiam tanpa bicara. Entah sejak kapan bermula, Suci selalu bisa melihat kejadian secara rinci, entah ia yang berimajinasi atau itu sebuah karunia.

  Sejak Glen menceritakan bahwa penghuni di dalam rumah mati gosong terbakar, Ia bisa membayangkannya. Bahkan ia bisa merasakan bagaimana kesakitan orang tersebut saat api mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Teriakannya, susah payahnya berusaha memadamkan api yang menggerumuti pakaian, yang akhirnya terbakar bersama tubuhnya. Ia membayangkan dan merasakan hal itu. Ya, ia merasakannya.

   “Ci?” panggil Glen.

   “Suci?” panggil Glen lagi.

  Glen melihat Suci sedang menatap kosong. Ia mengibas-ibaskan tangannya tepat di depan mata Suci.

 “Suci?” panggil Glen yang ketiga kalinya. Kali ini ada penekanan dalam panggilannya.

   Suci merasa roh yang semula melebur entah kemana, tiba-tiba kembali ke jasadnya karena mendengar samar suara Glen.

   “Ya, Glen, ada apa?” Suci menengok ke samping ke arah Glen yang sedari tadi memperhatikannya.

   “Lo baik-baik aja, kan?”

 “Gue?” Suci menaruh telapak tangan kanannya di dada.   “Emangnya ada apa?” lanjut Suci bertanya dan heran.

   “Lo barusan melamun, apa yang lo pikirin?”

 “Oh ya?” ucap Suci yang nampak tak seperti memastikan apakah ia tadi melamun. Ia tahu bahwa ia sedang membayangkan kejadiannya. Perempuan muda yang tewas dibakar api, maka ia tahu, mungkin yang dilihat Glen bahwa ia sedang melamun.

   Glen mengangguk pasti.

   “Glen?”

   “Ya?”

 Sementara itu 1 mobil pemadam kebakaran mulai melaju pulang ke tempat asalnya. Oh atau ada kebakaran di tempat lain. Bunyi sirinenya terdengar nyaring dan lajunya amat cepat.

   Glen dan Suci memperhatikan mobil itu berlalu.

 “Lo tahu, bagaimana perempuan itu bisa terbakar? Atau maksud gue... gimana rumahnya bisa terbakar dan dia akhirnya terjebak di dalam?”

 Glen tampak mengelus dagunya. “Gue gak tahu pasti. Tapi menurut orang itu,” Glen menggerakkan dagunya menunjuk seorang perempuan paruh baya yang berdiri di depan pagar rumah yang juga sedang memperhatikan rumah yang nyaris menjadi arang itu. “katanya belakangan dia suka menjerit seperti orang kesurupan,” Glen melanjutkan.

   “Oh ya?” tanya Suci antusias.

   Glen mengangguk yakin.

   “Dan katanya, sering kali dia melihat perempuan itu tertawa sendiri atau berbicara sendiri.”

   Suci menaikan sebelah alisnya.

   “Jadi kesimpulannya, perempuan itu gak waras dan memang dengan sengaja membakar rumahnya, Dan ia mencoba bunuh diri dengan cara itu.”

 “Sinting. Bagaimana bisa ada orang yang mau bunuh diri dengan cara membakar diri? Banyak cara yang lebih elegan dan tidak terlalu menyiksa semacam itu.”

   Glen mengendikan bahunya. “entah lah.”

   Suci kembali menatap rumah gosong itu. Tapi tepukan tangan Glen di bahu Suci membuatnya tak lagi menatapnya. Ia menoleh ke Glen dengan ekspresi wajah seperti bertanya; ada apa?

   “Kita mau pulang atau terus lihat rumah itu?”

   Suci menyeringai. “Yuk?!”

                                                     ***

   Suci dan Glen tiba di rumah cluster yang tak jauh dari tempat kejadian rumah terbakar itu. Perlu kalian tahu, Glen dan Suci adalah kakak-beradik. Mereka hanya tinggal berdua. Dan itu selama 8 tahun lamanya.

 Saat mereka membuka pintu rumah, tampak Lily, anjing mereka yang berlari mengampiri sambil menggonggong. Lalu meminta untuk dimanja pada Suci. Dan Suci pun jongkok lalu mengelus kepalanya. Lily terus menjulurkan lidah sambil mengeluarkan suara seperti orang yang berhenti saat lari maraton.

   Sedangkan Glen buru-buru pergi menuju kamarnya.

 Suci menutup pintunya hingga deritnya terdengar karena malam itu sangat sunyi, lalu menguncinya. Ia melangkahkan kakinya menuju dapur, mengambil gelas, mengisinya dengan air dari dispenser dan meminumnya seteguk demi seteguk. Sampai habis dua gelas. Ia lalu berjalan ke ruang tamu, menaruh tas gendongnya di lantai kemudian ia membanting tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem. Matanya kini menatap langit-langit ruang tamu.

 Ia berpikir keras, dengan membayangkan bagaimana perempuan itu mati terbakar atau membakar dirinya sendiri, Suci jadi mengingat-ingat perempuan pemilik rumah itu.

   Aku pernah bertemu dengannya, tapi lupa dimana.

   Suci masih berpikir keras.

   “Ah, aku tahu!” Batinnya berucap

 Suci akhirnya mengingat dimana ia pernah bertemu perempuan itu. Namanya... Lisna. Ya, Lisna. Aku ingat.

   Tempo hari yang lalu, di hari minggu, Suci mengejar Lily yang tengah sulit dikendalikan karena Lily berambisi untuk mengejar seekor Kucing Persia berwarna abu-abu. Dan saat Suci mengejarnya, ia melihat Lisna tengah menggendong seekor kucing yang berusaha Lily kejar. Lily terus menggonggong, semakin agresif. Suci pun menenangkannya, namun sulit. Hingga saat Lisna bersimpu menghadap Lily, baru lah Lily tenang. Oh, tunggu, mungkin lebih terlihat takut. Bukan tenang.

 “Halo, mbak, maaf ini anjing saya, gak akan bermaksud melukai kucing mbak, kok.” Kata Suci bersikap ramah.

 Lisna yang saat itu bersimpu, perlahan berdiri tetap sambil menggendong kucing persianya. Lalu Lisna melempar senyum pada Suci. “Gak apa-apa kok, mbak.”

   Suci balas melempar senyum.

 “Oh, ya, saya Lisna.” Lisna memperkenalkan diri dengan menyodorkan tangan kanannya.

 Suci memperhatikan wajah Lisna. Perempuan itu cantik, terlebih matanya yang disematkan lensa berwarna biru.

  Suci pun menerima jabatan tangan itu dengan menjabatnya. “Saya Suci Ananta, panggil saja Suci.”

 Lisna pun melepaskan jabatan tangannya. Lalu secara mengejutkan ia berkata, “dan ini suami saya, Hendra. Tapi ia tidak biasa berjabat tangan.”

  Saat itu, Suci hanya mengira bahwa kucing Persia itu yang Lisna gendong yang ia bilang adalah suaminya. Suci hanya berpikir itu adalah candaan saja. Banyak bukan yang seperti itu? Terkadang menganggap hewan peliharaannya sebagai anak?!

   “Kamu mau kemana?” tanya Lisna

  “Aku mau pulang, Mbak, rumahku di cluster bunga mawar,” jawab Suci.

   “Oh... aku tinggal di tempat sebelum cluster kamu tinggal, Kita searah, Mau bareng?”

 Suci mengangguk ramah. Kemudian mereka berjalan berbarengan. Tangan Suci sambil memegang tali yang mengikat di leher Lily, terkadang menariknya. Karena tak biasanya Lily tak bersemangat jalan. Sedangkan Lisna, yang Suci lihat tengah sibuk mengajak ngobrol kucing yang digendongnya, sesekali Suci melihat Lisna menengok ke samping lalu berbicara yang tak terlalu terdengar oleh Suci.

  Jadi, sejak saat itu lah Suci ingat bahwa pemilik rumah itu adalah Lisna. Yang mati terbakar atau sengaja membakar rumah dan tubuhnya. Entahlah, pikir Suci.

   Suci masih terus menatap langit-langit ruang tamu. Kemudian teralihkan oleh suara ketukan pintu.

   Tok...tok...tok!!

  Suara ketukan pintu yang tak biasa. Seperti yang kita tahu, orang normal akan mengetuk pintu tidak sepelan itu.

  “Glen...?” panggil Suci memastikan. Namun, Suci tahu kalau Glen sejak tiba di rumah, ia langsung bergegas ke kamarnya. Lalu, siapa yang mengetuk pintu malam begini?

  Suci melihat jam dinding yang terpajang di dinding ruang tamunya. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke arah 8 dan jarum panjangnya ke arah 5.

  Sudah 8 tahun rumah mereka tak pernah kedatangan tamu, bahkan saudaranya sekali pun. Karena saudara mereka tinggal di lain pulau. Terkecuali yang biasanya bertamu adalah Sales asuransi atau Sales kartu kredit, itu pun tak pernah di malam hari begini.

   Tok...tok...tok!!

   Pintu itu diketuk kembali. Pelan.

 Suci akhirnya berjalan menuju pintu beranda lalu membukanya dengan santai. Namun, tak ada seorang pun disana. Suci memastikan dengan memandang ke seluruh area. Tak ada siapapun juga. Maka, ia pun menutup kembali pintunya. Namun, sebelum menutup rapat, pandangannya teralihkan oleh benda yang tak asing ia lihat dan ia pun mencoba mengambilnya. Benda itu tempat lensa. Suci terus memperhatikannya. Ada sedikit lecet, karena tempat berbahan plastik itu sedikit terbakar. Dan ia juga mencium bau plastik terbakar pula tentunya.

   Suci menatap benda itu penuh tanda tanya.