"Brownies lagi?" Billy menatap Bianca yang sedang tersenyum ke arahnya. Seloyang brownies sudah ada dalam genggamannya. Bukannya Billy tidak suka, hampir setiap hari perempuan itu memberikannya brownies. Ia mengerti, Indira punya usaha kue yang masih terbilang kecil. Namun, banyak pesanan yang datang padanya membuat Bianca berpikir untuk mencoba membuat rasa baru setiap harinya.
"Iya. Kali ini aku membuat resep baru. Aku menambahkan selai kacang di tengahnya. Kamu harus coba." Bianca terlihat sangat bersemangat. Matanya berbinar. Berharap mendapatkan review yang membangun dari sang kekasih.
"Aku lelah." Kata-kata itu terucap dari pria berkacamata itu. Raut wajahnya berubah. Ia tampak tak suka. Terlihat jelas dari paras tampannya yang kini sedang mengerutkan kening.
Bianca diam mematung. Rambutnya yang sempat ditutup sudah ia buka. Kini terlihat jelas rambut panjangnya sedikit lepek karena terlalu lama berada di depan oven yang panas. Wajahnya yang lelah seketika merasa kaget. Bianca tahu, Billy adalah orang yang jujur dalam segala hal. Bahkan, jika hal itu menyakitkan. Ia mencoba terbiasa dan menerima sifat Billy. Karena kekasihnya itu adalah orang pertama yang mencoba brownies buatannya. Namun, kini pria itu menolaknya untuk memakannya.
"Lelah kenapa? Apa karena aku?" Bianca menaruh brownies yang masih mengeluarkan asap tipis karena baru saja keluar dari oven.
"Iya! Aku tahu brownies buatanmu enak. Tapi, harus mencoba setiap hari, aku rasa sudah cukup! Aku juga bisa bosan, Bianca. Bosan dengan browniesmu dan juga denganmu!" Billy langsung beranjak pergi namun Bianca mengejarnya.
"Maksudmu apa bosan denganku? Aku minta maaf kalau aku sering membuatkanmu brownies. Itu keahlianku dan juga usahaku. Aku hanya ingin kamu mencobanya sedikit karena aku baru saja membuat rasa baru. Tapi, kalau kamu keberatan, kamu bisa menolaknya tanpa menyakiti hatiku seperti ini!" Tak terasa air mata Bianca mengalir.
Billy menatap wajah Bianca yang terlihat terkejut. Wanita berambut panjang dan berwajah manis itu memang masih menjadi kekasihnya. Tapi, Billy merasa mereka perlu mengakhiri semuanya.
"Aku mau kita putus." Billy memandangi wajah Bianca dengan tatapan serius.
"Putus? Hanya karena aku membuatkan brownies untukmu? Tidak masuk akal." Bibir wanita itu bergetar. Tak menyangka jika Billy akan mengatakan hal yang tak pernah ia bayangkan.
"Aku sudah lama memendamnya, Bianca. Ini bukan hanya tentang brownies. Tapi, karena kita sudah tidak ada kecocokan."
Bianca tersenyum. "Kecocokan apa? Kalau tidak cocok, seharusnya kita saling menerima dan melengkapi. Aku sudah berusah menerima sifatnya yang selalu berkata kasar bahkan menyakitkan hati! Aku pikir, hubungan kita bisa seperti brownies. Walaupun ada kekurangan, kita bisa menjadikan hubungan ini indah."
"Terlalu banyak kekurangan, Bianca. Apa kamu tak sadar? Seluruh waktumu hanya untuk memasak dan mengurusi pesanan orang-orang. Ketika aku mengajakmu berkencan, kamu selalu beralasan ada pesanan brownies. Kamu selalu di dapur. Tak ada waktu untukku. Tak ada waktu untuk hubungan kita yang terlalu banyak kekurangan. Ini tidak bisa di ibaratkan menjadi sebuah brownies. Mungkin, hubungan kita akan menjadi kue gagal yang tidak enak karena terlalu banyak bahan yang kurang." Billy langsung berjalan menuju mobilnya.
"Kamu lupa, aku hanya tinggal seorang diri. Orang tuaku sudah meninggal. Ini satu-satunya pekerjaan yang aku tekuni untuk mendapatkan penghasilan. Kalau kamu mengeluh karena aku tak ada waktu, kita bisa bicarakan baik-baik kan? Bukannya malah seperti ini!" Bianca berteriak namun Billy sudah mengendarai mobilnya dan pergi menjauh.
"Oke. Kita putus! Pergilah!" Bianca masih berteriak dan tak lama ia masuk kembali ke dalam rumah. Sebuah rumah sederhana peninggalan orang tuanya. Hanya itu harta yang ia punya dan sekaligus sebagai tempatnya berjualan brownies. Bianca melangkah dengan lunglai. Ia duduk di kursi ruang tamu. Namun tiba-tiba ada telepon masuk. Ada customer yang akan mengambil pesanan 20 loyang brownies rasa almond.
"Browniesnya sudah siap. Bisa di ambil sekarang." Bianca mencoba tersenyum sambil menjawab telepon masuk. Walaupun hatinya masih terasa sakit. Tapi, dari berjualan brownies inilah, rezekinya mengalir. Dan Bianca akan tetap mensyukurinya.
Bianca membawa beberapa kotak di tangannya. Mencoba membawanya dari dalam dapur menuju etalase depan. Namun saat membawa sepuluh kotak di tangannya, ada seseorang yang menyenggol tangannya. Seketika itu juga, kotak brownies itu berserakan di lantai.
"Aaaaaa..." Teriakannya sangat kencang. Bianca merasa sangat kaget sambil menatap pria di hadapannya dan juga kue browniesnya yang hancur di lantai.