
Untuk menunjang kehidupannya, beberapa beban dibebaskan dan diberikan satu set pakaiannya sendiri. Baginya sebagaian dari kehidupannya adalah sampah, namun sepenuhnya kehidupannya sudah mirip seperti sampah di jalanan yang terbelangah tanpa ada yang memberinya sentuhan kasih sayang sedikitpun.
Sekarang mungkin dia harus lebih mengatur hidupnya untuk menghindari penderitaan yang akan diberikan oleh penguasa baru itu. Ketatnya pasukan yang berjajar di berbatasan tembok timur, membuat dirinya mempunyai waktu lebih lama untuk membiasakan dirinya.
Sering kulihat dari seberang pohon pisang yang membujur dan hampir menyamai pohon mangga milik Pak Harto, dia memakai sarung dan telanjang dada di tengah sore yang hampir membuat semua orang terbirit-birit untuk tidak keluar dari rumahnya masing-masing. Kadang juga ia keluar saat terik matahari menyentuh ujung kepala, membilas sebagai dari bebannya yang sudah tertutup pakaian dengan kain putih yang terlihat masih bersih, hal itu sering terjadi dan terekam oleh sebagian fungsi otak berdarah dingin ini.
"Dan bagimu agamamu." Tepat terhentinya suara Ratno, suara lain yang amat keras berhasil menggema dalam ruangan putih ini, menerka gendang telinga secara bersamaan, hingga menusuk jantung.
Wajah Ratno begitu manis, bibir merah yang menggerlap, kulit putih kemerahan, tahi lalat di dibawah mata, dan kini lidah merah pajang dengan ujungnya yang hampir bisa menyentuh spidol yang terlempar ke arahnya. Tak sampai situ, matanya berkedip sekali dan terasa pengunjung kedai teh Mbok Siti terasa mengamuk diakibatkannya. Dia tak bergeming, dan berdiam diri ditempatnya. Matanya menggeser putaran arah yang akan dituju, mata pandanya mengikutinya dengan sangat taat. Sekali, dia memandang spidol yang terjatuh di lantai.
Untuk meniadakan keheningan di sini, dia meraih sendi-sendi lehernya, melihat wajah-wajah anak-anaknya yang begitu tua, mungkin. Mulutnya mendercak sekali, hidungnya kempa kempis tak beraturan, amandelnya masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Hingga hitungan ke 23 yang terukur dari angka 12, oleh jarum pangjam nan tipis yang dimiliki oleh jam yang kini sedang menempel tepat di bagian atas tembok kayu, barulah ia memulai untuk membuka dan menutup mulutnya. Perlahan terasa nafasnya panas, dan kata-kata yang diucapkan terbata-bata hingga semua orang yang masih bergeming setelah suara itu terjadi, belum bisa menanggapinya.
Beni meraih kartunya tepat ditengah-tengah jari tengah dan telunjuknya. Pupil hitamnya mulai bergerak setelah kehilangan kontrol atas pengelihatannya. Dia meluruskan sendi-sendi lehernya. Kakinya dia angkat setinggi-tinggi mungkin, membuatnya terbebas dari kekangan kursi-kursi yang mengapit kaki kanannya. Perlahan kaki kanannya meluruskan jarak dengan kaki kirinya, dengan kecepatan tinggi, dia mulai membalik badanya dan kedua kakinya mulai terangkat secara bergantian hingga menyentuh kecepatan larinya, tujuannya adalah menuju perbatasan ruangan ini dengan dunia luar. Dengan sekejap mata badannya sudah menghilang ditelan tembok-tembok putih yang berjajar ini. Semuanya kembali normal, mata mereka berhasil dikembalikan oleh iblis.
Ratno yang tercengang dengan kepergian Beni dari kelasnya, dan segeralah ia mengejar ketertinggalannya dan berteriak, "Beni...." Dengan suara yang cukup pada tingkatan yang bisa dikatakan sebagai sebuah teriakan. Namun dalam hitungan detik menggunakan jari, alias belum lama dia menghilang, tubuhnya menampilkan dirinya lagi, diperbatasan pintu coklat itu dengan wajah yang kini terlihat hanyut.
"Untuk semuanya mohon untuk tetap di dalam kelas!" perintahnya dengan sedikit pelafalan yang tidak terdengat baik dan nafas yang terasa lebih cepat dari sebelumnya, namun dengan pembawaan yang tetap tegas. Dia menutup rapat pintu coklat itu, dari luar ke dalam dan setelah itu bunyi sepatu hak terdengar nyari di luar hingga perlahan menghilang dan tak terdengar sedikitpun tanda-tanda keberadaananya.
Barisan meja palinh kanan mulai riuh dengan polusi suaranya. Beberapa orang berdecak dengan sangat keras, mulut-mulut kecil mereka senang tiasa berbicara.