The Haunted Book Shop

The Haunted Book Shop

bukuditeras

0

Kepada Para Penjual Buku

 

Ketahuilah bahwa, dengan hati senang dan kebanggaan yang melimpah, buku kecil ini aku dedikasikan untuk kalian sepenuh cinta dan rasa hormat.

Ada kesalahan-kesalahan dari karangan ini yang akan dengan mudah kalian temukan. Aku mulai mengerjakan ini dengan harapan bisa menceritakan sesuatu yang lebih jauh lagi tentang kisah petualangan ROGER MIFFLIN, yang pemaparannya dalam buku Parnassus Keliling (Parnassus on Wheels) sudah mendapatkan pujian dari beberapa di antara kalian.

Namun kemudian, datanglah Nona Titania Chapman. Karyawan periklananku yang masih muda lantas jatuh cinta padanya, dan mereka berdua melarikan diri membawa kisah tersebut.

Kurasa aku harus menjelaskan bahwa tulisan di Bab VIII, berhubungan dengan Tuan Sidney Drew yang memiliki bakat mengagumkan, dan ditulis sebelum kematian tragis dari artis hebat itu. Akan tetapi karena ini merupakan penghormatan yang amat sangat tulus untuknya, aku tidak melihat alasan untuk menghapusnya.

Bab I, II, III, dan VI dimuat pertama kali di majalah ‘Penjual Buku’ (The Bookman), dan kepada editor dari majalah yang mengagumkan itu, aku berutang terima kasih padanya karena telah diizinkan untuk mencetak ulang kisah-kisah tersebut. Sekarang setelah Roger memiliki sepuluh ‘Parnassus’ yang

beredar, aku berani berpikir bahwa sebagian dari kalian mungkin akan menemukan kisah-kisah itu di jalan. Dan jika kalian bertemu dengan mereka, aku berharap kalian akan melihat bahwa para pengelana baru dari perusahaan Parnassus Keliling itu benar-benar memenuhi tradisi kuno dan terhormat dari profesi mulia kita.

 

 

CHRISTOPHER MORLEY

Philadelphia, April 28, 1919

 

***

 

Jika kau pernah berada di Brooklyn, dengan pemandangan matahari terbenam yang memukau dan pemandangan yang menarik dari kereta-kereta bayi yang didorong oleh para suami, semoga kau bisa menemukan seruas jalanan yang tenang, tempat sebuah toko buku yang sangat luar biasa berada.

Toko buku ini, yang beroperasi dengan nama yang cukup unik, “Parnassus di Rumah”, berada di salah satu bangunan tua berbatu cokelat, yang juga merupakan tempat menyenangkan bagi beberapa generasi tukang ledeng dan segerombolan kecoak. Pemilik tokonya telah bersusah payah merombak modelnya agar terlihat lebih menarik dan sesuai dengan bisnisnya, yang seluruhnya berurusan dengan buku-buku bekas. Tidak ada toko buku bekas di dunia yang lebih layak dihormati daripada toko ini.

Saat itu pukul enam sore di suatu petang di bulan November yang dingin, dengan semburan hujan memerciki trotoar, ketika seorang laki-laki muda berjalan dengan sikap bimbang di Jalan Gissing, sebentar-sebentar berhenti untuk melihat-lihat jendela-jendela toko, seolah tidak yakin ke arah mana ia hendak menuju. Di depan sebuah toko roti Prancis yang hangat dan bercahaya ia berhenti untuk memeriksa nomor bangunan yang terpatri di dinding dan mencocokkannya dengan catatan di tangannya. Ia lalu lanjut berjalan lagi, hingga akhirnya sampai di alamat yang dicari. Di pintu masuk, matanya terpaku melihat tanda:

 

 

PARNASSUS DI RUMAH

R. DAN H. MIFFLIN

SEMUA PECINTA BUKU BOLEH MASUK!

TOKO INI BERHANTU

 

 

Laki-laki itu terhuyung-huyung menuruni tiga anak tangga menuju toko tersebut, lalu menurunkan kerah mantelnya, dan melihat sekeliling. Rumah itu memiliki dua lantai yang dijadikan satu: ruang bawah dibagi menjadi ceruk-ceruk kecil; di atas, sebuah galeri dibangun mengelilingi dinding, yang penuh diisi dengan buku-buku hingga ke langit-langit. Udaranya terasa pekat dengan aroma menyenangkan; dari kertas lembut hingga kulit yang diisi dengan buket tembakau beraroma kuat. Di hadapannya, ia melihat sebuah plakat besar berbingkai dengan tulisan:

 

TOKO INI DIHANTUI,

oleh para hantu dari semua literatur hebat, mereka semua ada di sini,

 

Kami tidak menjual barang palsu atau murahan. Pecinta buku dipersilakan di sini,

Tidak ada pegawai yang akan mengoceh di telingamu, Bebas merokok – asal jangan membuang abunya sembarangan!

----

Silakan melihat-lihat sepuasnya. Semua harga buku sudah tertera jelas. Jika ada pertanyaan, carilah si pemilik Ikuti saja asap tebal tembakaunya.

Kami membayar tunai untuk buku

Kami punya apa yang Anda cari, walau mungkin Anda tidak tahu bahwa Anda menginginkannya

Malnutrisi bacaan adalah hal yang sangat serius. Biarkan kami mengobatimu.

 

 

Oleh R. & H. MIFFLIN,

Pemilik

 

Toko itu memiliki kesan remang-remang yang hangat dan nyaman, seperti senja yang menerbitkan rasa kantuk, dengan berkas cahaya kuning terang di sana sini dari lampu-lampu listrik bernuansa hijau. Aliran asap tembakau menyebar, berputar, dan berasap di bawah kap-kap lampu kaca. Waktu ia melewati lorong sempit di antara ceruk, si laki-laki pengunjung itu melihat bahwa beberapa kompartemen sepenuhnya dalam kegelapan. Di tempat lain, yang diterangi nyala lampu, ia bisa melihat sebuah meja dan beberapa kursi. Di salah satu sudut, di bawah papan bertuliskan ESAI-ESAI, seorang laki-laki tua sedang membaca dengan ekspresi penuh minat yang fanatik, sambil diterangi oleh silau tajam lampu. Akan tetapi, tidak ada lingkaran asap di sekelilingnya sehingga si pendatang baru itu menyimpulkan bahwa dia bukan pemiliknya.

Saat si laki-laki muda itu mendekati bagian belakang toko, efek yang ia rasakan menjadi semakin fantastis. Di langit-langit yang jauh di atas, dia bisa mendengar suara rintik-rintik hujan, tetapi sebaliknya tempat itu benar-benar sunyi, hanya dihuni (begitulah tampaknya) oleh pusaran asap yang mengepul dan ekspresi cerah dari si laki-laki tua yang sedang membaca tadi. Semuanya terasa seperti kuil rahasia, tempat yang khusus dibangun untuk melakukan sebuah ritual yang ganjil. Laki-laki muda itu merasa tenggorokannya seolah tercekik, setengah karena gelisah dan setengah lagi akibat asap tembakau. Dalam keremangan, menjulang di atasnya, terdapat rak-rak buku dan lebih banyak rak-rak buku, yang menggelap ke arah atap. Ia melihat meja dengan silinder kertas cokelat dan benang, jelas digunakan untuk membungkus buku yang dibeli, tapi tidak ada tanda-tanda penjaga tokonya.

“Jangan-jangan tempat ini benar-benar berhantu,” pikir laki-laki itu, “mungkin oleh arwah Sir Walter Raleigh yang riang, duta tanaman ganja, tapi sepertinya bukan dihantui pemiliknya.”

Matanya, yang mencari di antara uap kebiruan yang meliputi seluruh toko, akhirnya menangkap sebuah lingkaran cerah yang berkilat seperti kulit telur. Lingkaran itu bulat dan putih, kemilau akibat tertimpa cahaya dari lampu gantung, sebuah pulau terang di antara kepulan asap tembakau. Saat ia mendekatinya, ia baru mengetahui bahwa itu adalah sebuah kepala botak.

Kepala ini (yang lalu ia amati) berada di atas tubuh seorang laki-laki kecil, bermata tajam, yang sedang duduk miring ke belakang di atas kursi putar, di sebuah sudut yang tampaknya merupakan pusat kendali dari seluruh toko ini. Meja besar dengan lubang di tengahnya dipenuhi buku-buku yang disusun tinggi, bercampur dengan kaleng-kaleng tembakau, kliping-kliping surat kabar, dan surat-surat. Sebuah mesin tik antik, berbentuk seperti harpsichord, setengah terkubur dalam lembaran-lembaran manuskrip. Laki-laki kecil botak itu sedang mengisap pipa tongkol jagung sambil membaca buku masak.

“Permisi,” kata laki-laki pengunjung tadi dengan ramah, “Apakah Anda pemiliknya?”

Tuan Roger Mifflin, sang pemilik dari “Parnassus di Rumah”, mengangkat wajahnya, dan sang pengunjung bisa melihat bahwa ia memiliki sepasang mata biru yang tajam, janggut pendek berwarna merah, dan sebuah orisinalitas kompetensi yang meyakinkan.

“Ya, betul,” kata Tuan Mifflin. “Ada yang bisa kubantu?”

“Namaku Aubrey Gilbert,” kata laki-laki muda itu. “Aku mewakili Agensi Periklanan Grey-Matter. Aku ingin berdiskusi dengan Anda tentang kemungkinan agensi kami menangani urusan periklanan Anda, membuatkan slogan-slogan yang menarik untuk Anda, dan menempatkannya di sirkulasi media besar. Sekarang perang sudah berakhir, jadi Anda harus menyiapkan beberapa kampanye yang konstruktif untuk bisnis yang lebih besar.”

Wajah si pemilik toko buku itu langsung bersinar-sinar. Ia meletakkan buku masaknya, mengembuskan segumpal asap dari mulutnya, dan menatap dengan berseri-seri.

“Sayang sekali, Nak,” katanya, “Aku tidak butuh iklan.”

“Mana mungkin!” balas lawan bicaranya, terkejut mendengar keterus-terangan yang sembarangan itu.

“Tentunya bukan itu yang kumaksud. Periklanan yang paling menguntungkan bagiku, dilakukan untukku oleh para copywriter paling cerdas dalam bisnis ini.”

“Kurasa yang Anda maksud adalah Whitewash dan Gilt?” kata Tuan Gilbert dengan muram.

“Bukan. Orang-orang yang mengiklankan bisnisku adalah Stevenson, Browning, Conrad, dan teman-temannya.”

“Wah,” kata perwakilan dari Grey-Matter tersebut. “Aku tidak tahu agensi iklan itu sama sekali. Tetap saja, aku ragu kalau hasil kerja mereka lebih bagus daripada hasil kerja kami.”

“Kurasa Anda tidak mengerti maksudku. Yang kumaksud, iklanku dilakukan oleh buku-buku yang kujual. Jika aku menjual buku karangan Stevenson atau Conrad pada seseorang, buku itu bisa jadi membuatnya senang atau malah membuatnya takut. Orang itu dan buku tersebut menjadi iklan berjalanku.”

“Tapi iklan dengan cara mulut ke mulut begitu sudah usang,” kata Gilbert. “Anda tidak akan mendapatkan distribusi yang luas dengan cara itu. Anda harus menjaga merek dagang Anda di depan publik.”

“Demi tulang belulang Tauchnitz2!” seru Mifflin. “Coba dengar ya, Anda tidak akan pergi ke dokter spesialis dan mengatakan kepadanya bahwa dia harus beriklan di koran dan majalah, bukan? Seorang dokter diiklankan lewat orang-orang yang ia sembuhkan. Bisnisku diiklankan lewat pikiran-pikiran yang kutimbulkan. Dan izinkan aku memberi tahu Anda bahwa bisnis buku berbeda dari bisnis lain. Orang tidak tahu bahwa mereka menginginkan buku. Hanya dengan melihat Anda, aku langsung tahu bahwa pikiran Anda itu tidak sehat karena kekurangan buku, tetapi dengan santai Anda sendiri tidak menyadarinya!

“Orang-orang tidak akan datang ke toko buku sampai mereka mengalami masalah mental yang serius atau mendapatkan penyakit pikiran yang membuat mereka sadar bahwa diri mereka dalam bahaya. Barulah mereka akan datang ke sini. Bagiku, beriklan itu akan sama bermanfaatnya dengan memberi tahu orang-orang yang merasa sangat sehat bahwa mereka harus pergi ke dokter. Tahukah Anda mengapa sekarang orang membaca lebih banyak buku daripada sebelumnya? Karena bencana perang yang dahsyat telah membuat mereka sadar bahwa pikiran mereka sedang sakit.

“Dunia telah menderita segala macam demam mental dan sakit dan gangguan, dan tidak pernah menyadarinya. Sekarang, rasa sakit mental itu baru terasa nyata. Kami semua membaca, dengan lapar, tergesa-gesa, mencoba mencari tahu—setelah masalahnya selesai—apa yang salah dengan pikiran kami.”

Penjual buku kecil itu sekarang sedang berdiri, dan tamunya memperhatikannya dengan geli bercampur khawatir.

“Anda tahu,” kata Mifflin, “Aku jadi tertarik karena Anda benar-benar berpikir bahwa datang kemari itu ada gunanya. Hal ini justru memperkuat keyakinanku tentang masa depan bisnis buku yang menakjubkan. Tetapi akan kuberitahu pada Anda, bahwa masa depan tidak hanya terletak pada sistem bisnis ini sebagai perdagangan. Tapi terletak pada menjunjung martabatnya sebagai sebuah profesi. Tidak ada gunanya mengejek publik karena mendambakan buku-buku jelek, buku-buku perdukunan, buku-buku yang tidak benar. Wahai para tabib, sembuhkan saja dirimu sendiri! Biarkan si penjual buku belajar mengenal dan menghormati buku-buku bagus, lalu ia akan mengajari para pelanggannya. Rasa lapar akan buku-buku bagus lebih umum dan lebih mendesak daripada yang Anda sangka. Tapi, itu masih berada di alam bawah sadar. Orang membutuhkan buku, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka membutuhkannya. Umumnya, mereka tidak menyadari bahwa buku-buku yang mereka butuhkan itu ada.”

“Mengapa iklan tidak bisa menjadi cara untuk memberi tahu mereka?” tanya laki-laki muda itu, dengan sedikit ketus.

“Begini, Nak, aku mengerti nilai dari periklanan. Namun, untuk kasusku hal itu akan sia-sia saja. Aku bukan pedagang barang-barang, tapi seorang ahli dalam menyesuaikan buku dengan kebutuhan manusia. Di antara kami, tidak ada yang namanya istilah, secara abstrak, seperti ‘buku bagus’. Sebuah buku akan menjadi bagus hanya jika ia memenuhi rasa lapar manusia atau menyangkal beberapa kesalahan manusia. Buku yang kuanggap bagus bisa jadi hanya sampah buatmu. Kesenanganku ada pada meresepkan buku-buku yang cocok untuk para pasienku yang mampir ke sini dan rela memberi tahu apa gejala yang mereka alami. Beberapa orang sudah terlalu lama membiarkan kemampuan membaca mereka mati membusuk, sampai-sampai yang bisa kulakukan hanya melakukan analisis post mortem-nya saja. Tapi umumnya, mereka masih bisa disembuhkan. Tidak ada orang yang begitu bersyukur daripada orang yang kau berikan sebuah buku yang tepat, yang sangat dibutuhkan jiwanya dan ia tidak pernah mengetahuinya. Tidak ada cara beriklan yang paling hebat di dunia ini daripada seorang pelanggan yang bersyukur.”

“Aku akan memberitahu Anda satu alasan lagi mengapa aku tidak mau beriklan,” Mifflin melanjutkan. “Belakangan ini, saat semua orang menjaga merek dagang mereka di hadapan publik, seperti istilah yang Anda pakai tadi, tidak beriklan adalah hal paling orisinal dan tidak disangka-sangka yang bisa dilakukan seseorang untuk menarik perhatian. Fakta bahwa aku TIDAK beriklanlah yang menarikmu untuk datang kemari. Dan semua orang yang datang ke sini menyangka bahwa mereka menemukan tempat ini sendiri. Mereka lalu pergi dan berbicara kepada teman-teman mereka tentang toko buku rasa rumah sakit jiwa yang dikelola oleh orang gila yang pemarah, lalu teman-temannya itu juga datang kemari untuk melihat sendiri seperti apa tempat ini.”

“Aku memang tertarik untuk datang lagi ke sini sendirian dan melihat-lihat,” kata agen biro iklan itu. “Aku ingin tahu apa yang akan Anda resepkan untukku.”

“Hal pertama yang Anda butuhkan adalah rasa mengasihani diri sendiri. Dunia ini sudah mencetak buku selama empat ratus lima puluh tahun, dan tetap saja bubuk mesiu memiliki sirkulasi yang lebih besar. Tidak apa-apa! Tinta percetakan adalah bahan peledak yang lebih kuat: ia akan menang. Ya, aku punya beberapa buku yang bagus di sini. Di dunia ini hanya ada sekitar tiga puluh ribu buku yang sangat penting. Kurasa sekitar lima ribu di antara mereka ditulis dalam bahasa Inggris, dan lima ribu lainnya sudah diterjemahkan.”

“Anda juga buka di malam hari?”

“Sampai pukul sepuluh. Banyak dari pelanggan terbaikku yang bekerja seharian dan hanya bisa mengunjungi toko-toko buku di malam hari. Para pecinta buku tulen, Anda tahu, umumnya datang dari kelas yang lebih rendah. Seseorang yang memiliki hasrat besar untuk buku hanya punya sedikit waktu atau kesabaran untuk menjadi kaya dengan cara meramu skema-skema yang tujuannya mengakali rekan-rekannya.”

Kepala botak si penjual buku kecil itu berkilau akibat cahaya lampu bohlam yang tergantung di atas meja pembungkus. Matanya memancarkan cahaya dan kesungguhan, janggut pendeknya yang berwarna merah kaku seperti kawat. Ia mengenakan jaket Norfolk cokelat yang sudah usang, dengan dua kancing yang hilang.

Ia sendiri seorang fanatik, pikir si pengunjung itu, tapi seorang yang sangat menghibur. “Kalau begitu, Tuan,” ia berkata, “Aku sangat berterima kasih padamu. Aku akan datang lagi. Selamat malam.” Ia lalu mulai berjalan menyusuri selasar menuju pintu.

Waktu ia sudah mendekati bagian depan toko, Mifflin menyalakan sekelompok lampu yang tergantung tinggi, dan laki-laki muda itu melihat bahwa dirinya sedang berdiri di sisi sebuah papan buletin besar yang dipenuhi berbagai kliping, pengumuman, brosur, dan pesan-pesan yang ditulis di kartu-kartu dengan tulisan sambung yang kecil dan rapi. Ada yang menarik perhatiannya:

 

RX

Jika pikiranmu membutuhkan fosfor, coba Trivia karya Logan Pearsall Smith.

Jika pikiranmu membutuhkan aroma udara yang kuat, biru, dan membersihkan, dari puncak bukit dan lembah berhamparan mawar, coba Kisah Tentang Hatiku3 karya Richard Jefferies.

Jika pikiranmu membutuhkan asupan tonik dari campuran besi dan anggur, dan guncangan keras yang menyeluruh, cobalah Buku-Buku Catatan4 karya Samuel Butler atau Lelaki Bernama Kamis5 oleh Chesterton.

Jika Anda membutuhkan “serba-serbi Irlandia,” dan sedang kambuh kebiasaan anehnya secara tak terkendali, cobalah Para Setengah Dewa6     karya James Stephens. Ini adalah buku yang lebih baik dari semua buku yang menurutmu wajib kau baca atau harapkan.

Adalah hal yang baik untuk sesekali membuat pikiranmu jungkir balik, seperti jam pasir, biarkan partikel-partikel itu berlari ke arah yang berlawanan.

Seseorang yang menyukai bahasa Inggris akan bisa sangat menikmati kamus bahasa Latin.

 

 

ROGER MIFFLIN.

 

Manusia biasanya enggan memperhatikan apa yang diberitahukan kepada mereka kecuali mereka sudah mengetahui sesuatu tentang hal itu. Laki-laki muda itu belum pernah mendengar satu pun judul dari buku-buku ini yang diresepkan oleh si praktisi biblioterapi tadi. Ia sudah akan membuka pintu ketika Mifflin muncul di sampingnya.

“Begini,” ia berkata, dengan sikap sedikit malu. “Aku benar-benar tertarik dengan diskusi kita. Aku sendirian saja malam ini – istriku sedang pergi berlibur. Maukah Anda tinggal dan makan malam bersamaku? Aku tadi sedang melihat-lihat beberapa resep masakan baru waktu Anda masuk.”

Lawan bicaranya merasa sama-sama kaget sekaligus senang akan undangan yang tidak biasa ini. “Wah–Anda baik sekali,” ia berkata. “Apakah Anda yakin aku tidak akan mengganggumu?” “Tentu saja tidak!” seru si penjual buku. “Aku tidak suka makan sendirian. Aku memang berharap ada yang mampir. Aku selalu berusaha mengajak tamu untuk makan malam bersama waktu istriku sedang tidak ada. Aku harus tinggal di rumah terus, Anda tahu, untuk menjaga toko. Kami tidak punya pelayan, dan aku selalu masak sendiri. Itu sangat menyenangkan. Nah sekarang nyalakan pipa Anda dan buat diri Anda nyaman selama beberapa menit sementara aku bersiap-siap. Sebaiknya Anda ikut aku ke rumahku.”

Di meja penuh buku di bagian depan toko, Mifflin meletakkan sebuah kartu besar yang bertuliskan:

 

PEMILIK SEDANG MAKAN MALAM JIKA ANDA BUTUH SESUATU BUNYIKAN BEL INI

 

Di sebelah kartu itu ia meletakkan sebuah bel makan malam model kuno, lalu memimpin jalan ke bagian belakang toko. Di belakang kantor kecil, tempat si penjual yang nyentrik itu tadi mempelajari buku masaknya, ada dua anak tangga sempit di masing-masing sisi yang mengarah ke galeri. Di belakang anak tangga ada beberapa anak tangga pendek yang mengarah ke ruang tempat tinggal. Si pengunjung dibawa hingga sampai ke sebuah ruang kecil di sebelah kiri, dengan sederet jeruji arang yang bersinar di bawah perapian suram dari marmer kekuning-kuningan. Di atas perapian berdiri deretan pipa tongkol jagung yang menghitam dan sekaleng tembakau. Di atasnya, terdapat sebuah lukisan dari cat minyak di sebuah kanvas yang mencolok, menggambarkan sebuah gerobak biru besar yang ditarik oleh binatang putih kekar—tampaknya seekor kuda.

Latar belakang pemandangan yang rimbun ditingkatkan dengan menggunakan teknik limner yang kuat.

Dindingnya dipenuhi buku. Dua kursi lusuh tapi nyaman disusun dekat jeruji perapian, dan seekor anjing terrier berwarna kuning moster tergeletak begitu dekat dengan api sehingga tercium sedikit bau rambut yang hangus.

“Nah,” kata tuan rumah, “ini adalah rak-rak milikku, kapel tempat aku bersantai. Lepaskan mantelmu dan duduklah.”

“Sungguh,” Gilbert memulai, “Aku khawatir ini–”

“Omong kosong! Sekarang duduklah dan pasrahkan jiwamu kepada Tuhan dan kompor dapur. Aku akan sibuk dan menyediakan makan malam.”

Gilbert mengeluarkan pipanya, dan dengan perasaan gembira bersiap untuk menikmati malam yang tidak biasa ini. Pada dasarnya, ia adalah seorang laki-laki muda yang menyenangkan, ramah, dan sensitif. Ia tahu kekurangannya dalam bidang sastra, karena ia pernah kuliah di perguruan tinggi yang bagus, tempat klub paduan suara dan klub teater hanya memberinya sedikit waktu untuk membaca. Akan tetapi, tetap saja ia adalah seorang pecinta buku-buku bagus, meskipun umumnya, ia mengetahuinya hanya dari kata orang. Usianya dua puluh lima tahun dan sudah bekerja sebagai copywriter di agen periklanan Grey-Matter.

Ruangan kecil tempatnya berada sekarang jelas merupakan tempat suci si penjual buku, dan berisi perpustakaan pribadinya sendiri. Gilbert melihat-lihat rak dengan rasa ingin tahu. Koleksinya sebagian besar lusuh dan compang-camping; jelas mereka didapatkan satu demi satu dari peti-peti sederhana milik para penjual buku bekas. Buku-buku itu semuanya memiliki tanda-tanda sudah dibaca dan dibalik-balik berulang kali.

Gilbert sendiri juga seseorang yang memiliki obsesi terhadap perbaikan diri, yang telah mengacaukan hidup banyak laki-laki muda—sebuah gairah yang, bagaimanapun, layak dihargai apalagi bagi mereka yang merasa dirinya kurang beruntung dalam prestasi di perguruan tinggi maupun status dalam kelompok persaudaraan kampus kelas tinggi. Tiba-tiba terpikir olehnya bahwa akan bermanfaat untuk membuat daftar beberapa judul dari koleksi Mifflin, sebagai saran untuk bacaannya sendiri. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan dan mulai mencatat buku-buku yang membuatnya tertarik:

 

Karya-Karya Francis Thompson (3 volume)

Sejarah Sosial Merokok: Apperson

Jalan Menuju Roma: Hilaire Belloc

Buku Tentang Teh: Kakuzo

Pikiran-Pikiran Bahagia: F.C. Burnand

Doa-Doa dan Meditasi karya Dr. Johnson. Margaret Ogilvy: J.M. Barrie

Pengakuan Seorang Bajingan: Taylor

Katalog Umum Percetakan Universitas Oxford Perang di Pagi Hari: C.E. Montague

Jiwa Manusia: diedit oleh Robert Bridges Sang Gipsi: Borrow

Puisi-Puisi: Emily Dickinson

Puisi-Puisi: George Herbert

Rumah Sarang Laba-Laba: George Gissing

 

Setelah menyadari ia mendapatkan banyak hal malam ini, ia mulai berkata pada dirinya sendiri bahwa minat untuk melanjutkan urusan periklanan (yang mulai merasa cemburu seperti layaknya seorang perempuan simpanan) sebaiknya ditunda terlebih dahulu, tepat ketika si tuan rumah masuk ruangan, wajah kecilnya terlihat antusias, mata birunya terlihat bersinar.

“Ayo, Tuan Aubrey Gilbert!” ia berseru. “Makanan sudah siap. Kau mau cuci tangan? Ayo cepatlah, lewat sini. Telurnya masih panas dan sudah menunggumu.”

Ruang makan yang diarahkan kepada sang tamu memiliki sentuhan wanita yang tidak terlihat di ruangan toko, seolah mengkhianati keremangan ruang tersebut, beserta rak-raknya yang penuh asap itu. Di jendela terpasang tirai bercorak warna-warni ceria dan disusun pot-pot berisi geranium merah muda. Mejanya, diletakkan di bawah lampu gantung bersinar redup dengan tudung lampu sutra berwarna kobaran api, sudah tampak meriah dengan piring dan mangkuk porselen berwarna biru dan perak. Di dalam sebuah karaf kaca, terisi anggur dengan warna cokelat gelap. Si penjaja periklanan yang gigih itu merasa semangatnya, yang tak diragukan lagi, melesat naik.

“Duduklah, Tuan,” kata Mifflin, sambil membuka penutup hidangan. “Ini adalah Telur ala Samuel Butler, sebuah ciptaanku sendiri, wujud dewa dari buah ayam betina.”

Gilbert menyambut ciptaan itu dengan tepuk tangan. Telur Samuel Butler, untuk catatan para ibu rumah tangga, bisa diringkas sebagai sebuah piramida makanan, yang dasarnya adalah roti panggang, lalu serpihan daging babi asap yang ditumpuk dengan keahlian sekelas kepala tukang batu, telur yang direbus hingga keras, selingkaran jamur, setumpuk paprika merah, yang seluruhnya disiram saus berwarna merah muda yang hangat dan menetes-netes, yang bahan bakunya dirahasiakan oleh penciptanya. Si koki penjual buku ini masih menambahkan kentang goreng ke tumpukan makanan ini dari piring yang berbeda, dan menuangkan segelas anggur untuk tamunya.

“Ini anggur Catawba dari California,” ujar Mifflin, “yang di dalamnya perpaduan anggur dan sinar matahari sedang memenuhi takdir yang diberikan kepada mereka dengan penuh kesenangan, dan harga murah. Aku mendoakan kemakmuran untuk seni hitam-putih dunia periklanan!”

Psikologi seni dan misteri periklanan berhenti untuk dibahas demi kebaikan bersama. Sebuah kesimpulan sederhana yang muncul setelah terdengar nada bicara dan aksen yang sesuai dengan suasana hati sang pendengar. Gilbert menyadari hal ini, dan merasa bahwa kemungkinan besar si tuan rumah lebih bangga dengan keahlian anehnya sebagai juru masak daripada profesi sucinya sebagai penjual buku.

“Apakah mungkin, Tuan,” dia memulai, dalam gaya bicara Johnson yang jelas, “bahwa kau dapat meramu hidangan pembuka yang begitu lezat dalam beberapa menit? Kau tidak menipuku, bukan? Tidak ada jalan rahasia antara Jalan Gissing dengan dapur Hotel Ritz?”

“Ah, kau seharusnya mencicipi masakan Nyonya Mifflin!” kata si penjual buku. “Aku ini cuma amatiran, yang hanya mencoba-coba ilmunya saat ia tidak ada. Ia sedang mengunjungi sepupunya di Boston. Ia menjadi, bukan salahnya, bosan dengan aroma tembakau di tempat ini, dan sekali atau dua kali dalam setahun, akan bagus baginya untuk menghirup kedamaian murni di Bukit Beacon. Selama ketidakhadirannya, hak istimewa dalam mengurus rumah tangga menjadi milikku. Aku menganggap hal ini sangat menenangkan setelah berkutat dengan berbagai kehebohan dan spekulasi di toko yang tidak ada henti-hentinya.” “Kupikir selama ini,” kata Gilbert, “hidup di sebuah toko buku bakalan sangat tenang.”

“Jauh sekali. Hidup di dalam toko buku mirip dengan hidup di dalam gudang bahan peledak. Rak-rak itu disusun oleh bahan peledak terkuat di dunia–otak manusia. Aku bisa menghabiskan waktuku dengan membaca sepanjang petang yang hujan, dan pikiranku akan bekerja sendiri hingga mencapai suatu gairah sekaligus kecemasan tentang masalah-masalah fana, sampai-sampai hal itu membuatku takut sendiri. Benar-benar menegangkan. Jika seseorang dikelilingi oleh Carlyle, Emerson, Thoreau, Chesterton, Shaw, Nietzsche, dan George Ade— apakah kau bakal heran jika ia menjadi sangat bersemangat? Apa yang akan terjadi pada seekor kucing jika ia harus tinggal di sebuah ruangan yang dilapisi dengan catnip? Ia akan menjadi gila!”

“Sungguh, aku tidak pernah memikirkan aspek itu dalam penjualan buku,” kata si laki-laki muda. “Namun, bagaimana bisa sebuah perpustakaan bisa menjadi tempat suci yang begitu tenang? Jika buku-bukunya seprovokatif seperti yang kau sarankan, seseorang akan mengharapkan setiap pustakawan bakal melontarkan jeritan melengking ala seorang pendeta agung, untuk membunyikan kastanyet yang berisik di ceruknya yang sunyi!”

“Ah, anakku, kau melupakan kartu indeks! Para pustakawan menciptakan alat yang menenangkan itu untuk menurunkan panas demam jiwa mereka, sama seperti aku menggunakan ritualku di dapur. Semua pustakawan akan menjadi gila, mereka yang mampu berkonsentrasi penuh dalam berpikir, jika mereka tidak memiliki kartu indeks yang mendinginkan dan menyembuhkan sebagai obat! Mau tambah telurnya lagi?”

“Terima kasih,” kata Gilbert. “Siapakah Butler yang namanya kau gunakan untuk menamai masakan ini?”

“Apa?” sentak Mifflin dengan jengkel, “Kau belum pernah mendengar nama Samuel Butler, penulis buku The Way of All Flesh? Aduh, anak muda, siapa pun yang membiarkan dirinya mati sebelum ia membaca buku itu, dan juga Erewhon, itu artinya dengan sengaja menghilangkan kesempatannya untuk merasakan surga. Surga di dunia yang akan datang, itu tidak pasti, tetapi memang ada surga di Bumi ini, surga yang kita huni ketika kita membaca buku yang bagus. Tuangkan segelas anggur untuk dirimu sendiri, dan izinkan aku—”

(Dimulailah sebuah perkembangan yang sangat antusias dari filosofi sesat milik Samuel Butler, yang untuk menghormati para pembaca, sengaja kuhilangkan. Gilbert mencatat percakapan itu di buku catatannya, dan aku dengan senang hati menyatakan bahwa hatinya tergerak dalam menyadari kesalahannya, karena beberapa hari kemudian ia terlihat sedang berada di perpustakaan umum untuk meminjam buku The Way of All Flesh. Setelah bertanya di empat perpustakaan, dan menemukan semua salinan buku yang beredar, ia merasa harus membeli satu. Ia tidak pernah menyesal melakukannya.)

“Tapi aku melupakan tugasku sebagai tuan rumah,” kata Mifflin. “Hidangan pencuci mulut kita adalah saus apel, kue jahe, dan kopi.” Dengan cepat ia membersihkan meja dari piring-piring dan mengeluarkan hidangan kedua.

“Aku dari tadi mengamati peringatan yang ada di atas bufet itu,” kata Gilbert. “Kuharap kau mau membiarkanku membantumu malam ini?” Ia menunjuk sebuah kartu yang digantung di dekat pintu dapur. Bunyinya:

 

SELALU CUCI PIRING SEGERA SETELAH MAKAN

UNTUK MENGHINDARI MASALAH

 

“Sayangnya, aku tidak selalu menuruti aturan itu,” kata si penjual buku sambil menuangkan kopi. “Nyonya Mifflin menggantungnya di situ tiap kali ia bepergian, untuk mengingatkanku. Tapi, seperti yang dikatakan teman kita Samuel Butler, orang yang bodoh dalam sedikit hal pasti juga bodoh dalam banyak hal. Aku memiliki teori yang berbeda soal pencucian piring, dan aku mempercayainya untuk menghibur diri.

“Dulu aku menganggap mencuci piring hanya sebagai tugas yang tercela, semacam hukuman kedisiplinan penuh kebencian yang harus dijalani dengan alis berkerut dan penuh ketabahan. Ketika istriku bepergian untuk pertama kalinya, aku membuat dudukan buku dan lampu listrik di atas bak cuci piring, lalu membaca sementara tanganku secara otomatis melakukan gerakan-gerakan dasar pembersihan. Aku membuat roh-roh agung para sastrawan menjadi mitra kesedihanku, dan aku menghafal banyak tentang Paradise Lost karya Walt Mason, sementara aku mabuk dan berkubang di antara panci dan wajan. Aku biasa menghibur diriku dengan dua baris kalimat karya Keats:

 

Air yang bergerak menunaikan tugas berat mereka

Untuk mendapatkan pengampunan murni dari hamparan manusia

 

Tiba-tiba saja, sebuah konsepsi baru tentang masalah ini mengejutkanku. Sungguh suatu hal yang tidak dapat ditoleransi jika ada manusia yang harus melakukan tugas penebusan dosa semacam ini di bawah tekanan. Tidak peduli apa pekerjaannya, seseorang harus mengubahnya menjadi sesuatu yang spiritual dengan cara tertentu, menghancurkan tujuan lamanya menjadi potongan-potongan kecil dan membangunnya kembali agar lebih sesuai dengan keinginan hatinya. Bagaimana cara aku melakukan ini melalui kegiatan mencuci piring?

“Aku memecahkan banyak piring saat memikirkan hal ini masak-masak. Lalu terlintas dalam pikiranku bahwa di sini yang kubutuhkan adalah semacam relaksasi. Sepanjang hari, pikiranku sudah terbebani dengan kekhawatiran tentang buku-buku yang gaduh, meneriakkan kepadaku pandangan-pandangan mereka yang saling bertentangan tentang kemuliaan dan penderitaan hidup. Mengapa tidak menjadikan pencuci piring sebagai ramuan dan obatku?

“Ketika seseorang melihat fakta mutlak dari sudut yang baru, sungguh menakjubkan bagaimana semua kontur dan ujung-ujungnya berubah bentuk! Segera saja, perabotan kotorku mulai bersinar dengan lingkaran cahaya filosofis! Air sabun yang hangat menjadi obat yang berkuasa untuk menarik darah panas dari kepala; tindakan sederhana dari mencuci dan mengeringkan cangkir dan piring menjadi simbol keteraturan dan kebersihan yang diterapkan manusia pada dunia miliknya. Aku langsung merobohkan dudukan buku dan lampu baca yang kupasang di atas bak cuci piring.”

“Tuan Gilbert,” lanjutnya, “jangan menertawakanku ketika aku mengatakan bahwa aku telah mengembangkan seluruh filosofi dapurku sendiri. Aku kini melihat dapur sebagai kuil peradaban kita, fokus dari semua yang indah di dalam hidup. Kilauan kompor yang kemerahan sama indahnya dengan matahari terbenam mana pun. Kendi atau sendok yang dipoles dengan mengilap sama bersinar, lengkap, dan indah seperti soneta mana pun. Kain lap piring, yang dibilas dan diperas dengan benar, dan digantung di luar pintu belakang agar kering, adalah keseluruhan khotbah itu sendiri. Bintang-bintang tidak pernah terlihat begitu terang seperti yang kita lihat melalui pintu dapur setelah peti es dikosongkan dan seluruh tempat ‘kinclong’, seperti yang biasa dikatakan orang Skotlandia.”

“Sungguh, itu adalah filosofi yang sangat menyenangkan,” kata Gilbert. “Dan sekarang setelah kita selesai makan, aku bersikeras agar kau mengizinkanku untuk membantumu mencuci piring. Aku ingin sekali menguji filosofi panteisme piringmu ini!”

“Temanku yang baik,” kata Mifflin, meletakkan tangan menahan tamunya yang terlihat sudah tidak sabar, “sebuah filosofi akan menjadi buruk jika tidak bisa menerima penolakan satu dua kali. Tidak, tidak—akutidak memintamu menghabiskan malam bersamaku untuk berkubang dalam cucian piring.” Dan ia memimpin jalan kembali ke ruang duduknya.

“Ketika aku melihatmu masuk,” kata Mifflin, “aku khawatir jika kau adalah seorang wartawan yang hendak melakukan wawancara. Seorang jurnalis muda pernah datang menemui kami sekali, dengan hasil yang sangat tidak menyenangkan. Ia memanfaatkan keramahan Nyonya Mifflin agar dirinya diterima dengan baik, lalu memasukkan kami berdua ke dalam sebuah buku, berjudul Roda Parnassus, yang telah menjadi cobaan bagiku. Dalam buku itu ia mengaitkanku pada sejumlah pengamatan dangkal dan remeh tentang penjualan buku yang sempat mengganggu bisnisku. Untungnya, aku senang untuk mengatakan ini, bukunya tidak laku.”

“Aku juga tidak pernah mendengarnya,” kata Gilbert.

“Jika kau benar-benar tertarik dengan penjualan buku, kau harus datang ke sini suatu malam untuk menghadiri pertemuan Klub Tongkol Jagung. Sebulan sekali, sejumlah penjual buku berkumpul di sini dan kami membahas masalah-masalah khas para kutu buku sambil mengisap pipa cangklong tongkol jagung dan minum sider apel. Para anggota kami adalah para penjual buku yang beragam dengan segala macam kondisi: ada yang fanatik dengan topik perpustakaan. Ia berpikir bahwa setiap perpustakaan umum harus dibom. Yang lain berpikir bahwa film akan menghancurkan bisnis buku. Benar-benar kurang ajar! Pastinya, semua yang menggugah pikiran orang, yang membuat mereka waspada dan banyak mempertanyakan, akan meningkatkan minat mereka pada buku.”

“Kehidupan seorang penjual buku sangat merusak moral orang-orang yang berakal,” lanjutnya setelah jeda. “Ia dikelilingi oleh buku-buku yang tak terhitung banyaknya; ia tidak mungkin membaca semuanya; ia mencoba membaca satu lalu meneruskan dari yang lain. Pikirannya secara bertahap terisi dengan potongan-potongan, dengan pendapat yang masih dangkal, dengan seribu pengetahuan yang tidak utuh. Tanpa ia sadari, dirinya mulai menilai sastra menurut apa yang diminta orang. Ia mulai bertanya-tanya apakah Ralph Waldo Trine tidak benar-benar lebih hebat dari Ralph Waldo Emerson, apakah J. M. Chapple bukan laki-laki sebesar J. M. Barrie. Di situlah terjadi kematian intelektual dengan cara bunuh diri.“Namun, satu hal, kau harus menghargai seorang penjual buku yang baik. Ia adalah seorang yang toleran. Ia sabar dengan semua ide dan teori. Walau dikelilingi, diliputi oleh semburan kata-kata karya manusia, ia bersedia mendengarkan semuanya. Bahkan terhadap para penerbit, ia tetap dengan sabar mendengarkan. Ia rela direndahkan demi kesejahteraan umat manusia. Ia tidak pernah berhenti berharap pada lahirnya buku-buku bagus.

“Bisnisku, seperti yang kau lihat, berbeda dari yang lain. Aku hanya berurusan dengan buku-buku bekas; Aku hanya membeli buku yang kuanggap memiliki alasan yang tulus untuk diciptakan. Sejauh penilaian manusia yang dapat membedakan, aku mencoba untuk menghindari buku-buku sampah dari rak-rakku. Seorang dokter tidak akan menjual ramuan dukun. Aku tidak menjual buku gadungan. Hal yang lucu terjadi tempo hari. Ada seorang yang kaya raya bernama Tuan Chapman, yang sering mendatangi toko ini–”

“Apakah ia Tuan Chapman pemilik perusahaan Pernik-Cantik Chapman?” kata Gilbert, merasa tidak asing dengan nama itu.

“Kurasa ya, ia orangnya,” kata Mifflin. “Kau mengenalnya?”

“Ah,” seru laki-laki muda itu dengan hormat. “Ia adalah orang yang bisa memberitahumu tentang manfaat periklanan. Jika ia tertarik pada buku, itu adalah berkat iklan. Kami yang menangani semua iklannya—aku banyak membuatkan slogannya. Kami telah membuat buah prem merek Chapman menjadi kebutuhan pokok dalam peradaban. Aku sendiri yang membuatkan slogan ‘Prem Kami Sangat Keren’ yang bisa kau lihat di setiap majalah besar. Buah prem Chapman dikenal di seluruh dunia. Keluarga Mikado memakannya seminggu sekali. Paus juga memakannya. Bahkan, kami baru saja mendengar bahwa tiga belas peti buah itu akan dimasukkan ke dalam kapal George Washington dalam perjalanannya menuju konferensi perdamaian. Tentara Ceko-Slovakia juga mengonsumsi banyak sekali buah prem. Orang-orang di kantor kami percaya bahwa kampanye iklan kami untuk buah prem Chapman berperan besar dalam memenangkan perang.”

“Aku membaca iklan lain tempo hari, jangan-jangan kau juga yang membuatnya?” kata si penjual buku, “Bahwa jam tangan merek Elgin lah yang memenangkan perang. Namun, Tuan Chapman sudah lama menjadi salah satu pelanggan terbaikku. Ia mendengar tentang Klub Tongkol Jagung kami, dan walaupun ia bukan penjual buku, ia memohon agar diperbolehkan menghadiri pertemuan klub. Kami senang menerimanya, jadi ia bergabung dalam diskusi-diskusi kami dengan penuh semangat. Seringkali, ia melontarkan komentar-komentar yang cerdas. Ia menjadi sangat antusias dengan gaya hidup para penjual buku hingga waktu itu ia menyuratiku tentang anak perempuannya (ia seorang duda). Anaknya itu bersekolah di sebuah sekolah bergengsi, ia berkata, di sana mereka memenuhi isi kepalanya dengan ide-ide yang absurd, sia-sia, dan congkak. Ia berkata bahwa anaknya itu tidak tahu lagi arti kegunaan dan keindahan hidup selain seekor anjing Pomeranian. Alih-alih mengirimnya ke perguruan tinggi, ia bertanya apakah aku dan Nyonya Mifflin bisa menerimanya di sini untuk belajar menjual buku. Ia ingin kalau anaknya mengira ia akan mendapatkan penghasilan di sini, dan diam-diam berencana akan memberikan kami uang sebagai imbalan telah membiarkan anaknya berada di sini. Ia yakin bahwa jika dikelilingi oleh buku-buku, anaknya akan bisa kembali berpikir waras. Aku agak gugup akan eksperimen itu, tapi itu semacam penghargaan untuk tokoku, bukan begitu?”

“Ya, Tuhan,” seru Gilbert, “itu akan menjadi iklan yang amat dahsyat!”

Tepat pada saat itu bel toko berbunyi, dan Mifflin melompat berdiri. “Ini adalah bagian dari malam yang agak sibuk,” ia berkata. “Sayang sekali aku harus berada di toko. Beberapa dari langgananku mengharapkan aku ada di sana dan siap untuk bergosip tentang buku.”

“Aku tidak bisa mengungkapkan betapa senangnya aku di sini,” kata Gilbert. “Aku akan datang lagi dan mempelajari isi rak-rak Anda.”

“Yah, tapi jangan cerita ke siapa-siapa tentang anak gadis itu,” kata si penjual buku. “Aku tidak ingin semua laki-laki muda di sekitar sini datang kemari dan membuatnya pusing. Jika ia jatuh cinta dengan seseorang di toko ini, itu harus dengan Joseph Conrad atau John Keats!”

Selagi ia jalan keluar, Gilbert melihat Roger Mifflin sedang beradu argumen dengan seorang laki-laki berjenggot yang terlihat seperti profesor di universitas. “Buku Oliver Cromwell karya Carlyle?” ia berkata. “Ya, tentu! Bukunya ada di sini! Ya ampun, aneh sekali! Ternyata bukunya tidak ada di sini.”

 

----

 

2 Christian Bernhard Tauchnitz adalah salah satu legenda penerbitan buku di Jerman yang dikenal menerbitkan seri Collection of British Authors sejak 1841.

3 The Story of My Heart

4 Notebooks

5 The Man Who Was Thursday

6 The Demi-Gods