The Happiness Room

The Happiness Room

Bora Kamala

5

SURAT PERNYATAAN


Saya, F Jannati, mengikuti uji nyali masuk ke "The Happiness Room" tanpa paksaan siapa pun. Jika terjadi sesuatu dengan saya, maka ini murni atas tindakan saya pribadi dan bukan kesalahan dari pihak "Hotel Mahkota Dewa". Hal-hal mengenai hadiah dan barang-barang saya, akan diwariskan ke adik saya, Joe Zalianty, dan akan diurus oleh Mister Albert Timmerman selaku manajer hotel jika saya meninggal dunia karena acara ini. 


Demikian surat pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan siapa pun. 


Air Jernih, 29 Januari 2021



F Jannati 


Aku menandatangani surat itu, lalu menyodorkannya kepada Mister Albert. Meskipun surat itu tak kurang dari 88 kata, tapi untuk menulisnya aku butuh 37 jam 12 menit 57 detik. Dan ketika menulisnya, pulpenku sering tergelincir karena keringat dari sela-sela jariku. Huruf-huruf yang kususun pun tak mampu berdiri tegak karena tanganku terus bergetar. Ini semua tak akan terjadi seandainya Mister Albert tak membayar cicilan utang ayahku kepada Om Senang tempo hari lalu. 


Kau tahu siapa anak paling sial sedunia? Jika kau menjadi aku, aku yakin kau akan merasa bayi-bayi yang diaborsi itu lebih beruntung–ya, setidaknya mereka tidak harus disiksa orang tua mereka terus-menerus atau dipaksa membayar utang yang mereka sendiri tak tahu untuk apa. Setiap hari, setiap embusan napasmu, kau akan selalu bertanya: kenapa aku harus menanggung semua?, kenapa utang-utang itu harus jadi bebanku?, kenapa aku tidak mati saja?. Ah, bahkan, untuk mati pun, kau harus berpikir ulang karena ada nyawa seseorang yang bergantung kepadamu. Ya, begitulah hidup yang kujalani selama dua puluh tiga tahun ini.


Mister Albert membaca suratku sambil memilin kumis. "Semoga Yesus melindungimu," ucapnya lantas turut membubuhkan tanda tangan di sebelah namaku.


"Tuhan saya bukan Yesus, Mister," balasku. Sebenarnya aku sendiri tak yakin, Tuhan yang mana, yang mau menerima hamba yang tak pernah menyebut nama-Nya? Ya, tapi kudengar dari siraman-siraman rohani, Tuhan itu Maha Pengasih. Meskipun aku tidak pernah menemui-Nya, tapi Dia mau saja kutulis sebagai Tuhanku di KTP.


"Baik. Saya harap kamu bisa membawa pulang dua miliarmu." Mister Albert mengulurkan tangan.


Aku menjabatnya ragu-ragu. Ini bukan pilihan yang kuinginkan. Namun, aku tak punya jalan lain. Mungkin dengan cara ini, mereka-mereka yang bergantung kepadaku akan bahagia: ayah dan ibu di alam sana, dan adikku yang masih tersangkut di awang-awang–kuharap ia tak segera menyusul ayah-ibu. "Sebelum membuat pilihan ini, saya membaca ramalan, Mister. Mungkin hidup saya selalu sial. Tapi saya punya umur panjang."


Mister Albert tertawa. "Bagus. Saya akan siapkan waktu untuk jalan-jalan dengan kamu."


Aku ikut tertawa. Tawa miris. Aku yang tidak pernah percaya ramalan, mendadak berharap kalau ramalan itu benar-benar terjadi. 


"Mari. Saya sendiri yang akan mengantar kamu ke sana." Mister Albert berdiri dan mengarahkanku mengikutinya.


Sebenarnya, aku sudah tahu di mana letak ruangan itu, bahkan teramat hafal. Hampir tiga tahun bekerja di sini, cukup untuk menghafal denah dan cerita-cerita tak masuk akal tentang hotel ini. Namun, ini adalah formalitas. Kuanggap Mister Albert sedang menggiring calon jenazah menuju liang lahat. Aku ingin bersikap sesantai mungkin, meskipun dari tadi tanganku tak henti mengucurkan keringat dingin. 


Kami menyusuri lorong. Kamar-kamar di blok Permata Biru sedang kosong. Hotel tua ini hanya penuh saat akhir pekan. Itu sudah cukup bagus daripada sebelum hotel ini ganti kepemilikan. Pemilik yang baru, memanfaatkan cerita-cerita mistis dari hotel ini untuk menarik pengunjung. Cukup efektif, tapi tidak bisa dibilang bagus juga. 


"Sebenarnya, saya sangat menyayangkan keputusan kamu. Padahal ada jembatan untuk melintasi jurang, kenapa kamu memilih akar lontar untuk berayun?" Mister Albert memecah keheningan di antara kami.


"Saya pernah membaca kutipan, tapi saya lupa siapa penulisnya. Semakin cerdas seseorang, semakin banyak kemungkinan-kemungkinan yang ia pikirkan."


"Ya, kamu memang cerdas. Karena itu saya ingin membuat jembatan untukmu lewat."


Aku menatap lurus ke depan. Tiga puluh delapan langkah lagi, kami akan sampai di tujuan. Ini baru jam sembilan malam. Namun, suasana di blok ini teramat hening. Aku bahkan bisa mendengar suara napas Tuan Albert dan juga detak jantungnya yang teratur. Kurasa, meskipun lelaki ini seumuran ayahku, jika masih hidup, tapi dia teramat sehat dan penuh tenaga. Tak heran kalau dia amat percaya diri bisa memeras keringatku semalaman di ranjangnya yang dingin semenjak istrinya menyerah digasak kanker payudara.


"Masih ada waktu jika kamu berubah pikiran." 


Kami telah sampai. Lampu lorong langsung menyala karena ketukan sepatu kami. Namun, itu hanya tiga puluh detik. Kemudian lampu itu mati lagi. Tuan Albert bertepuk tangan dua kali, lampu lorong menyala lagi.


"Tidak, Tuan. Saya sudah siap." Aku menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan lewat mulut. 


Tuan Albert memegang kedua pundakku. "Saya suka gadis pemberani seperti kamu." Dia memandangiku beberapa saat, lalu tangan kanannya menyentuh kening, dada kanan, dan dada kirinya sendiri. "Tuhan memberkatimu," ucapnya sebelum menyentuh kepalaku.


Aku berbalik menatap pintu itu. 705. The Happiness Room. Aku harap, ruangan ini tidak seseram cerita-cerita yang kudengar. 


Aku memutar handel pintu, lalu melangkah masuk. Ruangan itu gelap. Dan aroma kematian yang kuat menyedotku ke sana. Sungguh, aku ingin berbalik dan membatalkan semua perjanjian sialan itu. Namun, itu sudah terlambat ….