The Bride's Eating Persimmon

The Bride's Eating Persimmon

Liana Dewinta Sari

4.8

THE BRIDE'S EATING PERSIMMON

Liana Dewinta Sari

 

1

Rumah baru di perbatasan Baekseonchon itu menjulang megah, dibangun atas perintah seorang jenderal dari Hansong untuk putra-putrinya. Meski bisa dibilang berdarah biru, mereka yang beribukan selir terhalang dari memperoleh gelar kebangsawanan dan dipandang sebelah mata oleh keluarga besar. Si putra sulung gosipnya lebih pandai dibanding anak-anak istri pertama jenderal, tetapi lantaran kelewat baik, ia tidak mengantisipasi kelicikan saudara-saudaranya sehingga terusir ke pinggir Provinsi Jeolla ini. Kediaman sekeren miliknya pun pasti tidak dapat menandingi tempat tinggal para bangsawan ibukota.

Namun, Ryu Sujeong, mudang magang Desa Baekseonchon, telah menyaksikan sesuatu mengenai rumah itu yang lebih buruk ketimbang sejarahnya.

[Mudang: sebutan untuk dukun wanita di Korea.]

“Apa tempatnya semenyeramkan itu, Kak?” Hong Joochan, pemuda berambut jerami yang menenteng haegeum, bertanya cemas. “Mengapa kami yang cuma chaebi harus mempersiapkan diri segala untuk menghadapi kekuatan roh di sana?”

[Chaebi: musisi yang mengiringi ritual mudang; haegeum: rebab bersenar dua.]

“Jangan takut,” senyum Sujeong. “Ini sekadar peringatan awal agar kalian terus menjaga fokus walaupun nanti 'dicolek' satu-dua arwah jahil.”

“Bagaimana Kakak bisa mengatakan hal itu dengan muka ceria, sih?” Kim Jibeom yang memanggul janggo merapat pada Joochan dan kontan didorong jijik. Sujeong terkekeh.

[Janggo: gendang berbentuk jam pasir.]

“Kalianlah yang berlebihan. Sudah sering ikut ritual, masa masih tidak paham kalau para roh 'mengganggu' karena butuh pemurnian?  Urusan itu biar aku dan Nona Mijoo yang bereskan, tetapi untuk jaga-jaga, ada baiknya kalian tahu apa yang akan kami hadapi lebih dulu.”

“Lagi pula, kalian laki-laki yang bugar dan bahagia. Roh-roh tidak berbadan itu mustahil mengalahkan kalian.” Pemimpin rombongan, Lee Mijoo sang mudang senior, melirik tajam para musisinya. “Arwah penjaga dapurku saja tidak sanggup mencegah kalian mencuri daging sapi.”

Para musisi remaja di belakang menelan ludah gugup.

Dia masih kesal gara-gara kehabisan daging kemarin, ya?, ringis Sujeong.

“Nona Mijoo, menyimpan dendam bisa mengganggu kesetimbangan energi. Anda akan melakukan ritual sebentar lagi, lho.”

Mijoo memencet hidung Kim Donghyun, si keriting peniup seruling yang baru saja bicara, menggunakan ujung kipas sampai si kurus itu mengaduh-aduh.

“Dan, menurutmu, siapa yang harus bertanggung jawab kalau misalnya ritual ini gagal karena 'ketidakseimbangan energiku', hah? Dasar anak-anak rakus!”

Orang-orang yang berjalan dekat mereka menoleh penasaran akibat omelan lantang Mijoo, tetapi justru Sujeong yang malu berat.

“Sudahlah, nanti saya belikan daging sepulang dari rumah Tabib Jung. Tenang dulu, dong ....”

Mijoo mendengus sebelum mempercepat langkah, memaksa muridnya dan para chaebi bergegas. Tak seberapa lama, jalannya melambat dan ia berpaling pada Sujeong.

“Daripada aku, kau lebih mungkin mengalami ketidakseimbangan energi. Jangan terus menyalahkan dirimu. Aku tidak membiarkanmu memimpin ritual ini bukan karena kurangnya kemampuanmu, tetapi karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Melalui beberapa kali kunjungan ke rumah Tabib Jung, kau pasti paham betapa kotornya tempat itu.” Pilihan kata Mijoo memancing bisik-bisik khawatir para musisinya kembali. “Hampir menyempurnakan latihanmu sebagai mudang tidak berarti kau harus memimpin semua ritual, apalagi kau masih berada di bawah pengawasanku.”

Menanggapi itu, Sujeong mengangguk lemah. Benar kata Mijoo; beberapa hari terakhir, ia terus mencari dan berusaha memperbaiki apa yang mungkin melemahkannya sebagai mudang. Tidak biasanya ia sakit parah gara-gara padatnya roh jahat yang mendiami sebuah rumah, apalagi pada kunjungan pertama, maka ia mengerapkan meditasi dan berdoa kepada dewa untuk meningkatkan energi rohaniahnya. Ini bekerja selama kunjungan-kunjungan berikutnya, tetapi tidak lantas menghapus rasa bersalahnya yang merasa kurang berlatih.

“Omong-omong, Kak Sujeong sungguhan sudah sembuh, kan?” Bong Jaehyun, si tembam yang juga meniup seruling, tumben turut ketakutan. Sebagaimana kawan-kawannya, ia juga menyaksikan betapa Sujeong seolah mengalami shinbyeong kedua setelah mengunjungi rumah Tabib Jung.

[Shinbyeong: sakit fisik yang diikuti halusinasi dan kerasukan, terjadi pada calon mudang yang baru 'dipanggil' oleh dewa, umumnya terjadi sekali seumur hidup.]

“Kalau masih sakit, aku tidak bakal sesemangat ini!” Kepalan tangan Sujeong teracung untuk menunjukkan betapa sehat dia. “Terima kasih sudah memperhatikanku, Bongjae.”

Pipi Jaehyun merona. Ia tertunduk, lalu mengusap-usap tengkuk canggung. Jibeom dan Joochan menyikut-nyikut iganya iseng, paling paham soal kekaguman Jaehyun pada gadis berlesung pipi tunggal di depan mereka, sementara Donghyun berusaha meredam keriuhan. Mencairnya suasana antara pemuda-pemuda yang ia anggap adik sendiri ini menghangatkan hati Sujeong, meyakinkannya bahwa ritual pembersihan Kediaman Jung akan sama dengan puluhan ritual yang telah ia dan Mijoo laksanakan sebelumnya.

***

Keramahan sambutan Kepala Pelayan Seo tidak mengubah kenyataan bahwa rumah majikannya disesaki arwah gentayangan. Musisi-musisi Mijoo beruntung tidak perlu melihat sehitam apa setiap dinding dan ceruk bangunan itu meskipun mereka mengaku terusik oleh sesuatu yang tak kasatmata. Sujeong menghela napas dalam. Jujur, sepanjang pengalaman belajarnya, Kediaman Jung merupakan lokasi ritual dengan roh gelap terbanyak, tetapi Mijoo bilang ada yang lebih buruk, maka Sujeong mesti mampu menangani situasi tersebut untuk simulasi.

“Tabib Jung di rumah?” tanya Mijoo. Beberapa kali bertamu, kedua mudang hanya menjumpai adik perempuan dan pelayan-pelayan si tuan rumah sebab sang tabib sibuk menghampiri pasien. Kendati demikian, Mijoo ingin menghindarkan seluruh pemghuni dari mala, terutama kepala rumah tangganya, maka semua orang yang berdiam di sana harus hadir pada hari ritual.

“Sesuai permintaan Anda, Nona Mijoo. Beliau bersama penghuni rumah lainnya telah berkumpul di ruang tengah.”

Napas Sujeong memberat. Ia begitu iri pada manusia biasa yang tak peka akan kekentalan aura mistis ini, juga Mijoo yang pantang ciut nyali. Sempat Sujeong merapal nukilan mantra sembari mengibas arwah-arwah kasar sesamar mungkin agar para chaebi tidak panik. Sumpah, arwah-arwah itu menjalarkan kebencian dan nafsu ganas yang meremangkan bulu roma.

Tiba-tiba, Mijoo menepuk lehernya sendiri.

“Banyak sekali nyamuk di sini.”

Kepala Pelayan Seo meminta maaf dan berjanji akan segera membasmi serangga-serangga itu. Ketika Sujeong menengok, ia melihat asap hitam menyelip keluar dari celah jemari Mijoo sebelum lenyap sebentar kemudian.

“Anda juga merasakannya? Roh-roh ini haus akan energi kita.”

“Sialan. Tanah bekas pembantaian saja tidak 'serusuh' ini,” umpat Mijoo di bawah napasnya. “Sesuatu—tidak—seseorang pasti menarik dan merangsang mereka.”

Begitu pintu ruang tengah digeser membuka, Sujeong dan Mijoo memicing. Dari dalam, menghambur arwah-arwah kecil yang menjerit mengerikan atau menggeliut kelaparan. Pucatlah wajah Sujeong, sementara Mijoo mengatupkan rahang tak suka. Sebuah umpatan terlontar lagi darinya diam-diam.

Lima orang duduk melingkar. Satu pelayan dan satu koki wanita duduk paling jauh dari pintu; murid belia si tabib di depan mereka; nona muda Jung di depannya lagi. Sujeong dan Mijoo sudah pernah bertemu mereka. Hanya pria pemberi salam dekat pintu yang belum mereka lihat ... si pemicu.

“Maafkan saya baru bisa menemui Anda berdua hari ini, Nona Lee Mijoo, Nona Ryu Sujeong. Saya Jung Yoonoh.”

Leher Sujeong tercekat. Ia menyaksikan begitu banyak roh gelap berukuran sedang hingga besar meliputi sang kepala keluarga: meradang, memekik, menggerogoti jiwa lelaki itu seakan cuma ada satu jiwa di dunia yang boleh mereka santap. Anehnya, Yoonoh tidak menampakkan gejala kelemahan tubuh atau kerasukan—dan seketika, Sujeong paham bahwa sumber masalah rumah ini bukan tanah atau bangunannya.

Mijoo memasuki ruangan usai mengatur napas.

“Terima kasih telah meluangkan waktu Anda, Tabib Jung. Kami akan segera memulai ritualnya.”

Altar dipersiapkan, sesaji untuk para dewa ditata rapi, dan Mijoo mengenakan jubah ritual warna-warninya. Sujeong mengatur posisi para chaebi, lalu  mengawali ritual dengan memanjatkan doa serta puji-pujian di depan altar. Mijoo, kelompok chaebi, dan para penghuni rumah bersujud selagi Sujeong melantunkan puja.

Syukurlah, arwah-arwah itu sudah terkendali, batin Sujeong. Indra keenamnya tidak lagi menangkap pergerakan mengancam. Ukuran roh-roh itu pun mengecil dan mereka tidak sebrutal sebelumnya.

Tahap kedua, musik dimainkan. Peserta ritual minggir, memberikan cukup ruang bagi Mijoo untuk menari dan menyanyikan mantra-mantra, mengundang dewi perapian Jowangshin—pelindung rumah baru—merasuki tubuhnya. Sujeong membunyikan lonceng secara berirama, menciptakan melodi yang memudahkan seniornya memasuki keadaan trans. Darahnya berdesir seiring geliang api lilin-lilin di altar.

Jowangshin akan datang.

Prediksi Sujeong terbukti. Api semua lilin membesar, nyaris membakar bunga-bunga kertas penghias altar, dan nyanyian Mijoo yang menegangkan berhenti mendadak. Perempuan berjubah warna-warni itu pingsan dan biarpun ini mengagetkan penghuni rumah, Sujeong tidak mengizinkan seorang pun menolong. Mijoo bangkit sendiri selang beberapa waktu, mengedarkan pandang saksama ke seluruh penjuru. Mata itu memang mata si wanita nyentrik, tetapi Jowangshin-lah yang tengah menggunakannya. Pada Yoonoh, tatapan sang dewi tertambat lama sekali dan selama itu pula, sang tabib bergeming.

Jowangshin berbalik.

“Kemuraman yang pekat akan menyambangi rumah ini selama putra Miryeon masih menghuninya. Walaupun begitu, aku, Jowangshin, akan memberikan perlindunganku tanpa kecuali.”

Pikiran Sujeong berkecamuk.

Miryeon ... dewi kegelapan? Bagaimana mungkin anaknya ada di rumah ini? Apa mungkin penghuni nirwana mempunyai keturunan seorang manusia biasa? Andai bisa, siapa di antara sekian penghuni rumah ini yang merupakan putra Miryeon?

Selendang putih Jowangshin melambai seritme dengan gerak api lilin. Sujeong bersujud, membiarkan punggungnya disapu selendang sebagai bentuk pemberkatan. Para penghuni rumah menirunya. Satu demi satu perisai spiritual terbentuk, tetapi ketika sampai pada Yoonoh, Jowangshin mengerutkan kening. Gerakannya menjadi lebih cepat, begitu pula lantunan mantranya. Api lilin menggeliat makin besar seiring dengan makin kuatnya Jowangshin menyabetkan selendang ke punggung Yoonoh. Yang mengejutkan, pada sabetan kesepuluh, selendang Jowangshin memercikkan api.

Jangan mengganggu Jowangshin. Titik-titik peluh membasahi telapak tangan Sujeong yang saling mencengkeram. Kalau Tabib Jung cedera, itu setimpal dengan perlindungan yang akan ia terima dari dewa.

Namun, percikan merah tadi lambat laun bertumbuh, menyalakan punggung Yoonoh. Sang tabib tampaknya mengerti bahwa ritual tidak boleh disela, maka masih dalam keadaan bersujud, ia hanya dapat mengerang kesakitan dan mengepalkan tangan.

“Tuan ....”

Lengan Sujeong terentang di hadapan Kepala Pelayan Seo yang hampir beranjak dari duduknya. Manusia biasa cuma akan menyakiti diri mereka sendiri jika mencoba menghentikan kekuatan nirwana dengan tangan kosong.

“Nona Ryu Sujeong, Ka-Kakak terbakar ....” Kecemasan sang pelayan merembet pada Jung Yein, adik perempuan Yoonoh. “T-Tolong hentikan ritualnya ....”

Jangan bertindak gegabah. Kembalilah ke tempat masing-masing.”

“Tapi, Kak Yoonoh—“

Dari sudut netranya saja, Sujeong tahu Jowangshin belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Kendatipun ritual semacam ini bukan sekali-dua kali memakan korban, sebagai murid Mijoo, Sujeong memastikan tidak ada nyawa terenggut dalam ritual pimpinan gurunya, bahkan jika ia harus menanggung kemarahan dewa akibat tersendatnya prosesi. Jadi, Sujeong merangsek ke tengah, mendentingkan loncengnya di luar irama para chaebi, dan menyiramkan segelas air ke punggung Yoonoh sembari mendorong tubuh si senior. Kacaunya bebunyian pengiring melepaskan Jowangshin dari sang mudang—dan Mijoo pun jatuh di atas pantatnya.

“Tabib Jung, Anda baik-baik saja?”

Napas Yoonoh memburu ketika ia menengadah. Segera Sujeong menangkap raga gemetar yang limbung itu supaya tak menumbuk lantai. Yoonoh mengernyit menahan nyeri; desisannya sama sekali bukan pertanda baik, terlebih sekujur badan itu mulai lembab oleh keringat. Tumpahan air yang Sujeong guyurkan tadi menampakkan dengan buram lepuhan kulit punggung dan beberapa bercak gosong. Belum lagi, arwah-arwah yang sebelum ini melipir karena segan pada Jowangshin kembali menyerang. Mendidih, Sujeong meniupkan mantra ke punggung tangan, meminjam kekuatan Habaek—dewa air—untuk menggambar segel pembunuh dari tumpahan air. Arwah-arwah itu dimusnahkan begitu saja tanpa pilih-pilih, sebuah langkah yang sejatinya kurang bijaksana. Mijoo melotot, tetapi toh ritual ini kepalang berantakan, jadi sekalian saja dibancuhkan.

Sujeong mengganti kekuatan yang menempeli tangannya dengan milik Magu, dewi penyembuhan, dan menyentuh luka Yoonoh dengan telapak penyembuh itu. Kerutan nyeri di kening sang tabib bertambah, sejenak kemudian menghilang kembali. Panas dan pedih dirasanya terus berkurang hingga ia cukup kuat untuk menegakkan badan.

“Nona Ryu Sujeong, terima ka—“

“Cukup!!!”

Alangkah kagetnya sang calon mudang begitu gurunya membentak. Kekuatan Magu menguap dari telapaknya sebelum luka Yoonoh sembuh benar. Hendak menghadap Mijoo untuk mohon ampun, Sujeong mendadak tak bisa mengangkat kaki dan penglihatannya mengabur.

Gawat, energiku terkuras terlalu banyak ....

Sebelum kehilangan kesadaran, Sujeong mendengar panggilan panik Yoonoh melatarbelakangi suara dingin Mijoo.

“Mengecewakan! Anak-anak, bawa kakak kalian keluar!”

***