Pernahkah aku menyebut diriku membenci musim gugur?
Aku pernah bertanya pada Mom kemudian Dad dan mereka bilang aku sama sekali tak membenci musim gugur. Aku biasa menghabiskan waktu berlimpahku mengumpulkan dedaunan di halaman rumah apalagi di sore hari. Yah, rutinitas saat kebosanan melanda diriku. Aku menyimpan beberapa daun dan dibawa ke sekolah keesokan harinya, tapi Jessie, cewek pirang tolol itu malah mengejekku. “Dasar, konyol,” katanya.
Yup. Dia benar-benar memecahkan stoplesku. Tentu saja Jessie menertawakanku. Apakah aku menunjukkan tampang sedih atau apayang membuat mereka semakin menjadi-jadiTeman-teman ceweknya pun sama. Regina, Stacey, dan Monica. Terus terang saja, mereka bahkan jauh lebih bodoh nan tolol ketimbang Cassie dari kelas sebelah.
Rambutnya memang pirang. Panjang dan juga bergelombang. Disukai banyak cowok. Maksudku, siapa, sih yang tidak terpesona akan senyumannya? Tiap cewek itu muncul, menebar senyum manisnya, seketika cowok-cowok jatuh lemas ke lantai. LUCUNYA, CEWEK SEMANIS DIA MAU BERTEMAN DENGANKU ASTAGA.
Setidaknya masa remajaku di SMA tak terlalu mengerikan.
Aku masuk ke dalam rumah, langit sore mulai gelap, tidak mengejutkan tentang suara-suara heboh selalu terjadi terutama di dapur. “Hai, Dad,” kataku melewati Dad yang sedang memperbaiki kipas angin.
Dad tidak menatapku.
“Hai, Nak. Dari mana saja kau?”
Langkah kakiku terhenti, membalikkan tubuh lalu mendekati Dad. Dad duduk di sofa dengan banyak perkakas di bawah kakinya.
“Aku sudah dewasa, Dad. Tak bisakah Dad memanggil namaku saja atau apa?” rengekku kesal, mendengkus. Tapi aku duduk.
Dad tertawa. “Kau akan selalu jadi gadis kecilku, Adriana. Bagaimana kabar temanmu, Eva?”
“Dia oke.”
Yah, Eva adalah sahabatku. Satu-satunya orang di kampus yang mau berbaur denganku. Dia sama cantiknya seperti Cassie, hanya saja dia berambut cokelat.
Kudengar Cassie berkuliah di Pennsylvania. Kami jarang berkomunikasi. Tidak masalah sebetulnya, toh kami berdua sama-sama sibuk dan aku juga tidak peduli dia mau meneleponku atau tidak.
Setidaknya cewek itu tak mengencani cowok-cowok norak.
Pastinya aku prihatin.
“Oh,” ucap Dad, mengambil baut dari kardus di bawah kaki Dad. “baguslah.”
“Yep.”
“Kulihat kalian berdua sangat bersenang-senang tadi. Apa tidak ada permainan lain, misalnya pergi mencari cowok, jalan-jalan beli es krim, atau semacamnya.”
“Apakah aku terlihat seperti cewek haus para lelaki?” Aku memutar bola sarkastik ketika Dad tergelak. Oh, astaga, bisa-bisa aku gila berlama-lama dengan Dad. Aku bukan Stacey, bagaimanapun. “Sungguh. Pernahkah Dad ditolak gadis? Aku mengalaminya bertahun-tahun yang lalu saat di SMA, khususnya. Kalau Dad berpikir aku sedih, ugh, salah besar. Aku bukan Regina beserta pasukan tololnya, ya. ”
“Pernah. Hanya sekali. Sebelum akhirnya bertemu ibumu. Siapa laki-laki yang kau maksud?”
“Bukan siapa-siapa,” kataku mengedikkan bahu. “Dia berengsek. Aku tidak mau berurusan—”
“SAYANG, BISA KAU KEMARI SEBENTAR? AKU MEMANGGILMU, ADRIANA!”
Lagi, dan lagi, kuputar bola mata malas begitu Mom menyerukan namaku dari dapur.
Bangkit dari sofa. “Ya, Mom!” balasku sambil teriak. “Aku datang!” Lalu, menatap Dad sekali lagi. “Kurasa Mom butuh sesuatu. Makanya butuh bantuanku.”
Alih-alih menjawab, Dad mengangguk saja. Tetap melanjutkan pekerjaan yang menurut Dad cukup penting serta darurat.
Kutinggalkan Dad karena Mom terus-menerus memanggilku.
Ketika melewati pintu dapur, hal pertama yang kulihat adalah kotoran tepung dan kulit telur berserakan di lantai. Meja konter kotor tak keruan sampai-sampai aku bingung harus duduk di mana. Tidak ada kursi di sini. Tentu saja aku bakal mati kalau Mom melihatku duduk di atas kulkas. Jadi, kukumpulkan seluruh sampah kemudian memasukkannya ke plastik sampah dekat kompor.
Aku bertanya-tanya bagaimana Mom dapat memasak dalam keadaan luar biasa kacau seperti ini. Kapal bajak laut saja tidak sekotor seperti dapur ini.
“Hai, Mom. Butuh bantuan lagi?”
Mom menjawab ketika aku mencuci tangan di wastafel, “Tidak ada. Tapi, kau bisa bantu Mom membawa makanan-makanan ini ke meja makan, kalau kau tak keberatan.”
“Mana mungkin aku bisa menolak permintaan Mom yang satu ini.” Mom sedikit histeris aku memeluknya dari belakang. Tampaknya Mom kaget; bukan salahku aku melakukan ini karena Mom punya tubuh yang indah.
“Kau selalu saja mengagetkanku, Adri,” ucap Mom saat menarik diri, menangkup wajahku dengan tangan Mom yang kotor. “Kau mau sesuatu, Sayang?”
Aku menggeleng, “Tidak,” jawabku. “Aku tak mau apa-apa sekarang. Aku hanya sedikit bosan saja.”
“Sungguh?” Aku mengangguk mantap. “Baiklah. Oh, ya, kenapa kau tidak ajak Eva makan malam bersama kita?”
“Dia sangat menginginkannya, tapi orangtuanya menelepon dia sewaktu kita sedang menumpuk dedaunan kering dekat sungai itu yang mana orang-orang Crimson Creek biasa memancing di sana. Mom tentu tahu.”
“Ahh ...”
Mom dan aku ke meja makan, menempatkan makanan di meja sementara Dad rupanya sudah menunggu sembari membaca koran harian. Kutinggalkan Mom dan Dad ke dapur. Orangtua yang sedang dimabuk asmara untuk kesekian kali.
Tidak banyak hal menyenangkan hari ini. Usai membaca doa, menyantap chili garlic dough balls, Mom dan Dad mendiskusikan soal pemilihan suara antara Mr. Montgomery—tetangga kami yang begitu murah hati dan seorang duda—dan Mr. Sanchèz. Dia pindahan dari Meksiko sekaligus rekan kerja Dad. Dua pria itu sama-sama disiplin, bertanggungjawab, disegani masyarakat, sopan, apapun itu. Ini juga menyebabkan Mom dan Dad bingung memilih salah satunya.
Bahkan aku sendiri.
“Tapi, Mom sudah yakin?” tanyaku sekali lagi, ragu-ragu. “Aku tahu mereka keren, tapi aku takut kalau salah satu dari mereka ternyata pengkhianat. Tahu sendiri dunia itu seperti apa.”
“Mom tahu. Itulah kenapa kami berdua perlu membicarakannya.”
“Kedengarannya masuk akal.” Menggigit bola-bola, bawang putih masih terasa di ujung kerongkongan. Luar biasa enak, pikirku. Kugigit makanan itu sekali lagi sampai tak menyisakan secuil pun di piring.
“Kita tidak bisa mencurigai keduanya, Nancy.”
Kelihatannya Mom kecewa. Entahlah.
“Sayang, kita kenal betul siapa mereka. Aku tetap akan memilih Mr. Montgomery.”
Alih-alih lanjut mendebat, Dad mengulaskan senyum kepada Mom. “Ya. Aku tidak pernah melarangmu, kok.” Sembari mengusap punggung tangan Mom, sejujurnya pemandangan ini benar-benar ngeri.
Tidak. Salah besar. Bukannya bermaksud begitu. Memiliki orang dewasa yang punya hubungan baik dengan pasangannya sungguh sangat mengagumkan. Ini hanya tentang masa laluku—dan terus terang saja, aku muak mengingat-ingat si berengsek yang telah membuatku begini.
Yah, kau tahu, perasaan insecure itu menjengkelkan.