Aku datang ke Korea Selatan tidak untuk membongkar kantung berisi sampah milik tetanggaku. Tapi inilah yang kulakukan sekarang. Aku melakukannya tanpa maksud buruk. Aku hanya tidak tahan melihat kantung sampah yang ditinggalkan begitu saja dan isinya tidak dipilah terlebih dahulu.
Sebenarnya, aku sudah melaporkan hal ini kepada Sajangnim kedai Jjangmyeon di lantai dasar yang sekaligus merupakan pemilik dari salah satu goshiwon yang kusewa di lantai atasnya. Dengan santainya Sajangnim bilang bahwa selama ini dia tidak keberatan mengurusi sampai milik Hyejin-Ssi—nama tetanggaku yang menyebalkan—karena selama ini dia selalu mentransfer biaya sewa sedikit lebih banyak dari yang seharusnya. Namun, Sajangnim melakukan hal itu seminggu sekali. Hasilnya tentu saja kantung-kantung sampah yang menumpuk di kamar sebelah akan dipenuhi lalat karena menguarkan aroma tak sedap.
Kutinggalkan sampahku sendiri di sisi pintu. Berbeda dengan milik tetangga sebelah, milikku sudah dipilah sejak awal dan tinggal dibuang saja. Aku mengambil sarung tangan plastik beserta masker sebelum kembali keluar. Sekali lagi aku terpaksa melakukannya, mengurusi sampah milik orang lain, milik tetanggaku yang menyebalkan.
Aku memisahkan bungkus-bungkus ramyeon dengan kuah sisa yang berbau luar biasa busuk. Ada juga remah kulit telur dan sampah-sampah lain yang beraroma tidak kalah menyengat.
“Tidak! Jangan muntah sekarang!” hardikku pada diri sendiri. “Sedikit lagi selesai. Bertahanlah!”
Setelah selesai mengurus sampah-sampah itu dan memisahkan sesuai kategorinya, aku membawa kantung demi kantung ke bawah. Di bagian belakang gedung, Sajangnim menyediakan wadah sampah besar yang tentu saja menjadi satu dengan sampah lain dari kedainya. Kebiasaan Sajangnim yang sudah kusadari sejak awal dirinya menjadi induk semangku adalah melakukan penghematan atas nama efisiensi. Padahal, sejauh yang aku tahu, negara ini dengan ketat mengatur urusan pemilahan antara sampah industri seperti yang dihasilkan oleh kedai milik Sajangnim dengan sampah rumah tangga biasa.
“Aigo, Yong-ssi! Kau mengurus sampah milik Hyejin-ssi lagi?” Aku mengangguk saja. “Sudah kubilang kau tidak perlu melakukan itu. Biar aku saja.”
“Aniyo. Gwaenchanayo, Sajangnim. Ini hanya hal kecil.” Aku melirik ke arahnya sekilas lalu kembali melempar kantung demi kantung pada wadah sampah yang sesuai dengan kategorinya. Sajangnim langsung menyadari arti tatapan dan ucapanku, dia lantas terkekeh lalu menggaruk kepalanya sendiri.
“Kau tidak tahan pada aromanya. Iya, iya. Seharusnya aku membersihkannya lebih sering, ya? Mau bagaimana lagi, lututku ini bermasalah. Mianhamnida.”
Ah, alasan klasik yang selalu digunakan oleh wanita paruh baya di negara ini.
“Kwenchanseumnida, Sajangnim,” ucapku seraya berjalan meninggalkannya.
Untung saja hari ini masih akhir pekan sehingga aku bisa bersantai sepanjang hari. Namun, seperti biasanya, akhir pekan berlalu begitu cepat dan hari berganti tanpa bisa kutahan. Aku kembali menjalani kegiatanku seperti biasanya. Kuliah, kursus bahasa, dan sesekali menongkrong dengan teman-teman kuliah yang kebanyakan orang asing juga sepertiku. Aku baru menyadari akhir pekan sudah kembali ketika melihat setumpuk sampah milik kamar sebelah. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pemiliknya. Melihat hal itu, aku baru menyadari satu hal. Hyejin-ssi alias tetanggaku yang misterius itu selalu meninggalkan sampahnya di depan pintu setiap hari-hari kerja berakhir. Apa dia hanya meninggalkan kamar dan tidak kembali setiap akhir pekan? Memangnya pekerjaan semacam apa yang dijalaninya?
Aku masuk ke kamarku sendiri lalu melemparkan barang-barangku ke atas ranjang. Setelah itu, aku keluar lagi dengan bermodalkan sarung tangan plastik dan masker. Aku harus menyingkirkan sampah-sampah itu lebih awal sebelum aromanya berubah jadi mematikan.
“Andwaeyo! Apa yang sedang kau lakukan dengan sampahku?!”
Teriakan itu datang dari seorang perempuan yang menyelimuti tubuh mungilnya dengan jaket tebal dari atas kepala sampai ke lututnya. Masker, topi, dan kacamata membuatnya tampak semakin tenggelam.
“Anu, aku... Hyejin-ssi?”
“Eh?”
“Aku tetanggamu, Hyejin-ssi. Aku tinggal di sana,” ucapku seraya menunjuk pintu kamarku yang berada tepat di sebelah perempuan itu. “Mianhamnida, aku sedang memilah sampahmu. Seperti biasanya.”
“Seperti biasa?” Wajah Hyejin yang semula disembunyikan oleh masker dan kacamata seketika tanpa jelas karena dia membuka kedua benda itu. Membuatku bisa menyaksikan langsung ekspresi di wajahnya yang polos tanpa riasan. Entah mengapa aku merasa tak asing. Barangkali aku pernah melihat wajahnya di suatu tempat. “Eomeona! Kupikir selama ini ada petugas kebersihan atau semacamnya yang melakukan untukku. Dan aku sudah membayar untuk jasa itu kepada Sajangnim! Maafkan aku....”
“Yong. Namaku Yong. Lee Yong,” sahutku cepat.
“Sekali lagi maafkan aku, Yong-ssi. Sepertinya aku harus membuat perhitungan dengan Sajangnim. Dan tentu saja aku harus mengganti rugi kerja kerasmu selama ini.”
“Kwenchanseumnida, Hyejin-ssi. Hal itu tidak perlu. Aku saja yang terlalu sensitif sampai harus mengurusi urusan tetangga seperti ini.”
“An chotha! Ini tidak bisa dibiarkan. Lagipula aku sudah membayar,” kilahnya.
Aku mengerang ketika Hyejin memutar tubuhnya. “Sial banget gue, sudah pindah sejauh ini masih aja dapet tetangga yang keras kepala begini.”
Keluhanku rupanya sampai ke telinga Hyejin. Dia mengurungkan niatnya untuk turun dan menemui Sajangnim. "Kau bilang apa barusan?”
“Aniyo. Aku cuma mengucapkan sesuatu dalam bahasa ibuku. Bukan sesuatu yang penting.”
“Cheongmalimnikka?” Aku berusaha keras tidak balas menatap mata Hyejin yang kini menyipit ke arahku. Melihatnya dengan ekspresi seperti ini membuatku semakin yakin bahwa aku pernah melihatnya di suatu tempat. “Keojitmal hajimara!”
Bentakan itu membuatku terpaksa mengaku kepadanya. Kuungkapkan dengan sejujurnya takdir yang mengikat diriku dan tetangga yang menyebalkan. Hyejin menggelengkan kepalanya tak percaya pada apa yang kuucapkan. Ah, ternyata dia! Tidak salah lagi, pasti dia!
“Ini pertama kalinya aku dianggap menyebalkan oleh orang lain. Kuharap aku bisa melakukan sesuatu sebagai permintaan maafku kepadamu, Yong-ssi.”
Aku berpikir sejenak, tetapi langsung tahu apa yang akan kupinta darinya. “Truffle Jjang Ramyeon,” putusku saat itu juga.
Mata Hyejin membola. Dia tahu bahwa aku telah mengenali dirinya. Dalam seketika wajahnya merona. Tersipu malu. “Kau tahu siapa aku, Yong-ssi.”
Aku mengangguk cepat. “Tidak sulit mengenali bintang besar yang membuat standar kecantikannya sendiri. Aku tidak menyangka akan seberuntung ini bisa menjadi tetanggamu.”
“Kuharap kau tetangga yang bisa menjaga rahasia, Yong-ssi. Atau aku akan pindah sesegera mungkin dan kuharap kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
Setelah berjanji dengan sepenuh hati, Hwasa, ah, dia memintaku untuk terus memanggilnya Hyejin, mendorongku masuk ke kamarku sendiri. Goshiwon yang kusewa ini memang sedikit lebih besar daripada goshiwon yang umumnya berukuran 3,5 meter. Hyejin seharusnya tidak perlu seterkejut itu melihat isi kamarku karena tidak ada hal yang aneh dan luasnya pun sama persis dengan kamar yang dia sewa di sebelah, tetapi dia tidak bisa menyembunyikan tatapan herannya selama mengamati seisi kamarku.
“Kenapa?”
“Untuk ukuran tempat tinggal pria lajang, kamar ini terlalu rapi,” sindirnya.
Aku tersenyum rikuh. “Mau bagaimana lagi, aku memang paling tidak tahan melihat segala hal yang tidak rapi atau tidak sesuai dengan peraturan.”
“Termasuk sampah-sampahku?”
Sekali lagi aku tersenyum lalu mengangguk untuk membenarkan ucapannya.
Hyejin menatapku terlalu lama sebelum akhirnya dia berseru, “Baiklah. Kalau kau memang menginginkannya, mari kita buat Truffle Jjang Ramyeon. Akan kuambilkan bahan-bahannya di kamarku, kurasa aku masih punya sedikit minyak truffle.”
“Tidak perlu! Aku punya semuanya.”
Langkah Hyejin terhenti dan berjalan mendekatiku. Kubuka lemari kecil yang berada tepat di atas kompor. Karena perbedaan tinggi badan kami yang cukup jauh, Hyejin kesulitan untuk melihat hal yang saat ini tengah kupamerkan kepadanya. Kukeluarkan tiga bungkus Jjang Ramyeon, botol minyak truffle yang isinya hampir habis, juga setengah lusin telur.
“Kau benar-benar punya segalanya!”
Dengan energi yang entah datang dari mana, Hyejin membawa tubuhnya yang mungil ke dapurku yang tidak kalah mungilnya. Dia mendorongku untuk menunggu saja di atas ranjang—satu-satunya ruang yang tersisa untuk kududuki. Aku tidak dibiarkan membantu olehnya. Hyejin melakukan semuanya sendiri dan kurang dari dua puluh menit, Truffle Jjang Ramyeon buatannya yang pernah menjadi pembicaraan di seluruh penjuru negeri ini telah tersaji di hadapanku.
“Kau punya sesuatu yang segar untuk diminum?”
Aku mengeluarkan soda dari lemari pendingin kecil yang letaknya di kaki ranjang. Ukuran kamarku yang terlalu kecil ini membuat peletakan barang bisa jadi di mana saja selama ada ruang kosong yang tersisa.
“Siksa haseyo,” ucap Hyejin seraya memberiku sepasang sumpit.
“Komapseumnida!”
Aku tidak membiarkan diriku menghabiskan makanan enak ini sendirian. Kupaksa Hyejin untuk ikut makan bersamaku sekalipun dia bersikeras mengaku bahwa dirinya sudah kenyang. Pada akhirnya dia mengalah dan ikut menyuapkan mi berbalut minyak jamur truffle dengan lahap. Aku sudah sering menontonnya makan di televisi dan merasa tergugah selera, tetapi menyaksikannya langsung di depan mataku saat ini ternyata jauh lebih menggoda—ah, maksudku menggugah selera.
Aku berdeham beberapa kali dan Hyejin langsung mendorong cangkir sodaku yang masih berisi setengah. Kutenggak semuanya sampah habis lalu aku pun menemukan bola mata Hyejin yang menatapku dengan sorot yang tak mampu kujelaskan melalui kata-kata.
“Kenapa? Ada noda di wajahku?”
Hyejin terkekeh dengan suaranya yang berat. “Tidak, bukan itu. Melihatmu minum seperti tadi aku jadi membayangkan seperti apa rasanya tinggal di negara asalmu. Itu karena kulitmu cantik sekali.”
“Kulitku cantik? Gosong begini....”
“Tidak. Itu sangat cantik! Lihat kulitku, terlalu gelap untuk berada di tengah teman-temanku, tapi tidak cukup gelap untuk dibilang cantik seperti milikmu.”
Aku terkekeh mendengar penjelasannya. “Tunggu sampai kau merasakan sendiri seperti apa tinggal di negara asalku.”
Mata Hyejin mengerjap beberapa kali, dia lantas memangku dagunya dengan telapak tangan. “Seperti apa rasanya? Ceritakan kepadaku.”
Aku terkekeh dibuatnya. “Tidak ada yang istimewa dari kehidupanku, Hyejin-ssi. Aku hanya remaja biasa yang lahir dan tumbuh besar di negara yang dilintasi garis khatulistiwa. Panas. Segalanya panas. Semua orang sudah terbiasa dengan situasi panas dan kacau sehingga kalau ada satu hari saja yang tenang dan damai, akan langsung timbul kecurigaan. Pasti ada hal yang tidak beres yang akan terjadi.”
“Kedengarannya menyenangkan,” balas Hyejin dengan senyum lebar di wajahnya. “Dan kau bilang tetanggamu selalu menyebalkan. Apa mereka juga meninggalkan sampah yang tidak disortir di depan rumah mereka karena mengira akan ada petugas kebersihan yang melakukan untuknya?”
Aku tertawa pelan, lalu menggeleng. “Tidak. Lebih dari itu. Tetangga pertama pernah dengan sengaja mencari gara-gara dengan ibu ketika ayah tiriku tidak berada di rumah. Pria menyebalkan itu menuduh ibuku perempuan rendahan karena hamil di luar nikah selama bekerja di luar negeri. Kepala lingkungan malah mendukung pendapat pria itu dan mereka mengusir keluarga kami bahkan tanpa menunggu ayah pulang.”
“Berengsek!”
Aku mengangguk setuju. “Memang berengsek. Dan itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan tetanggaku yang selanjutnya. Keluarga mereka punya usaha organ tunggal dan memutar demo lagu sepanjang waktu. Aku sampai merasa iri pada adik tiriku yang tuli sejak lahir.”
“Mereka keteraluan, tapi kaulah yang paling tidak masuk akal. Untuk apa sampai iri pada kondisi adikmu seperti itu?” Meski berkata begitu, Hyejin tidak bisa menyingkirkan senyum dari wajahnya.
“Tunggu sampai kau bertemu dengannya,” sahutku dengan senyum yang sama lebarnya.
“Jadi, apakah aku masih termasuk dalam kategori tetangga menyebalkan?”
Aku menggeleng cepat dna Hyejin tertawa seraya berdiri. Melihat seorang bintang besar yang sedang berkutat dengan sepatunya di pintu depanku, membuatku tak bisa menahan diri lebih lama. Aku maju selangkah dan mendorong keluar ucapan yang kutahan sedari tadi.
“Kuharap ini bukan terakhir kalinya kita makan bersama.” Setelah mengucapkan itu, aku langsung menggigit bibirku sendiri keras-keras. “Sebagai teman, maksudku, sekarang kita berteman, kan?”
“Oh, levelku naik dengan cepat hanya dengan seporsi Truffle Jjang Ramyeon, ya? Dari tetangga menyebalkan menjadi teman. Aku penasaran akan naik sejauh apa kalau aku masak untukmu sekali lagi.”
“Aku tidak keberatan diberi makan olehmu lagi,” ucapku. “Dan aku juga penasaran akan sejauh apa levelmu meningkat setelahnya.”
Hyejin pun tersipu. “Kau teman mengobrol yang menyenangkan, Yong-ssi. Jaljayo.”
SELESAI
***