Tersesat Di Alam Gaib

Tersesat Di Alam Gaib

Gresya_Salsabila

0

 "Fon, Alfon! Bangun!"

 Teriakan yang disertai tepukan di bahu, menyadarkan Alfon dari lelapnya. Seperti orang linglung, dia menatap ke sekeliling, lantas mendapati Ariel dan Viko sedang duduk di sampingnya.

 "Bisa-bisanya kamu tidur di kamar mandi, Fon. Kami yang nunggu di mobil sampe jamuran tahu nggak," ujar Ariel setelah Alfon membuka mata dengan sempurna.

 "Tahu 'tuh, ngapain aja coba di kamar mandi. Jangan-jangan kencingnya sambil macem-macem ini, terus keenakan jadi ketiduran," timpal Viko dengan tawa renyahnya.

 Namun, Alfon tak kunjung menyahut. Ia belum bisa mencerna apa yang terjadi pada dirinya. Seingat Alfon, tadi niatnya ke kamar mandi hanya buang air. Akan tetapi, entah apa yang membuatnya terlelap sampai lupa dengan kejadian sebelum itu.

 Tanpa mengucap kata, Alfon berusaha bangkit dan duduk sejajar dengan kedua kawannya. Lalu, ia kembali menilik ke sekeliling. Rupanya ia tertidur di lantai, di sudut kamar mandi.

 "Eh, kamu jadi kayak orang linglung gini sih. Kesambet demit ya?" Ariel berseloroh sembari menjitak kepala Alfon.

 "Hus, omonganmu!" tegur Viko. Lalu, ia kembali menatap Alfon yang masih tampak bingung. "Udah ayo bangun, pamali lama-lama di kamar mandi!"

 Alfon tidak membantah, manut saja ketika Ariel dan Alfon mengajaknya berdiri dan pergi meninggalkan kamar mandi, yang bagi Alfon masih menyisakan tanda tanya besar.

 Setelah beberapa saat berjalan, ketiganya tiba di mobil. Roki, teman mereka sekaligus pemilik mobil, menyambut Alfon sambil berkacak pinggang.

 "Kamu dari mana aja sih, Fon? Kencing doang sampai seabad," gerutunya.

 "Ketiduran dia. Gila nggak sih?" Ariel lebih dulu menimpali, sedangkan Alfon hanya bersungut-sungut, agak kesal karena menjadi bahan olokan teman-temannya.

 Roki menggeleng-geleng sembari berdecak. "Di luar prediksi BMKG kamu, Fon."

 "Bacot mulu kalian! Udah ayo buruan pulang, keburu sore!" Masih dengan tampang kesalnya, Alfon bergegas melangkah dan masuk ke mobil. Lantas, mengambil tempat di bangku penumpang.

 Sambil tertawa-tawa, Ariel dan Viko menyusul. Ariel duduk di sebelah Alfon, sedangkan Viko duduk di depan, di samping Roki yang memegang kemudi.

 "Udah ini ya? Deal nggak ada yang ketinggalan?" seru Roki sembari menghidupkan mesin mobil.

 "Sip, udah aman." Viko menjawab serius.

 Namun, lain halnya dengan Ariel. Dia kembali melontarkan candaan dengan berkata, "Jiwamu nggak ketinggalan di toilet kan, Fon?"

 "Ngomong sekali lagi, aku timpuk pakai sendal!" sahut Alfon dengan mata yang mendelik.

 Akan tetapi, Ariel malah tertawa renyah. Pun dengan Viko dan Roki. Lagi-lagi, Alfon menjadi bahan candaan.

 Dengan diwarnai tawa dari para pengendaranya, Pajero hitam itu pun meluncur meninggalkan Puncak Semanggi—wisata puncak yang baru dibuka bulan lalu.

 Karena berada di ketinggian, Puncak Semanggi cukup jauh dari pemukiman. Walau di sana ramai pengunjung dan juga stand-stand penjual, tetapi untuk mencapai sana harus melewati hutan pinus yang panjangnya sampai berkilo-kilo.

 Kendati begitu, perjalanan tidak akan membosankan. Meski hanya hutan pinus, tetapi sangat sedap dipandang mata. Aura sejuk dan indahnya bisa membuat hati tenang dan nyaman.

 Alfon pun merasa demikian saat berangkat tadi. Akan tetapi, berbeda ketika perjalanan pulang kali ini. Dia merasa aneh karena perjalanan jauh lebih lama dari seharusnya.

 Tadi, mereka turun dari Puncak Semanggi sekitar jam dua siang. Seharusnya sebelum senja mereka sudah tiba di desa karena perjalanan di hutan kurang lebih tiga jam. Namun, sekarang senja sudah hampir berlalu, tetapi mereka masih menempuh tanjakan dan turunan, yang artinya masih sangat jauh dari pemukiman.

 "Hei, kalian merasa aneh nggak?" Alfon tak betah untuk bungkam. Dia bermaksud mendiskusikan apa yang ia rasa bersama kawan-kawannya.

 "Aneh gimana?" Ariel yang lebih dulu menyahut.

 "Kita dari tadi cuma muter-muter doang nggak sih? Dari jam dua loh kita turun, tapi sekarang masih di tengah-tengah begini. Ini kayak nggak wajar."

 Alih-alih menanggapi dengan serius, Ariel malah terbahak-bahak, membuat Alfon kembali bersungut-sungut.

 "Sekali aja nggak bisa apa serius gitu?" Alfon berkata dengan nada jengkelnya.

 "Justru kamu itu yang nggak serius, Fon. Ngelindur apa gimana sih? Kita kan turun jam empat tadi, mana ada jam dua. Jam tujuh nanti kita baru sampai bawah," ucap Ariel. Sontak membuat Alfon mengernyit bingung.

 Sialnya, Viko dan Roki juga membenarkan ucapan Ariel.

 "Tapi ... kita jam dua turun tadi. Beneran. Aku sempat lihat HP kok." Alfon mencoba meyakinkan kawan-kawannya, karena seingat dia memang jam dua mereka turun.

 Namun, tak ada satu pun dari mereka yang percaya. Masing-masing ngotot bahwa mereka turun jam empat.

 Karena tak ada pendukung, akhirnya Alfon mengalah. Dia diam dan merenungi keanehan tersebut seorang diri.

 "Ya sudahlah, tunggu sampai jam tujuh nanti," batin Alfon sambil menatap layar ponsel, yang kini sudah menunjukkan angka 18.00.

 Satu menit, dua menit, sampai puluhan menit berlalu, mobil masih saja melintasi tanjakan dan turunan. Belum ada tanda-tanda dataran lurus yang akan membawa mereka menuju pemukiman. Bahkan jika dilihat—meski remang dan hanya mengandalkan sorot lampu mobil, Alfon mendapati tempat yang sama berulang kali. Ia yakin memang ada yang tidak beres dengan perjalanan mereka.

 "Udah jam tujuh, tapi kita masih naik turun di sini. Padahal, dengan tiba di jalan datar dan lurus aja masih butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di desa. Kalian masih ngerasa ini wajar?" celetuk Alfon. Kesabarannya hampir habis karena sejak tadi tak ada yang menggubris.

 "Aku memang berkendara pelan, Fon. Sekalian menikmati perjalanan. Belum tahu kapan lagi kita bisa ke sini. Tunggu aja lah, bentar lagi juga sampai," jawab Roki, masih sama seperti jawaban beberapa saat yang lalu.

 "Tahu tuh, udah kayak cewek aja si Alfon, cerewet," sahut Viko.

 "Apa sih yang kamu takutkan, Fon? Lihat tuh di luar, banyak mobil dan motor! Masa suasana ramai kayak gini nyalimu masih ciut juga? Ish, payah!" Ariel turut menimpali, malah sambil tertawa mengejek.

 Alfon pun diam. Dia tak mau bicara lagi meski dalam hati berkecamuk hebat. Kendaraan di luar sana itu cukup aneh—jika dipikir dengan logika. Puncak Semanggi ditutup pukul 17.00, lantas kendaraan yang berpapasan dengan mereka itu mau ke mana? Kecuali jika yang berjalan searah, mungkin mereka juga terlambat turun. Namun, ini malah lebih banyak yang berpapasan.

 Memang benar, di puncak sana ada banyak penjual yang menginap. Namun, jika Puncak Semanggi tutup, otomatis mereka juga tutup, kan? Mau dikata itu adalah mereka yang mengantar dagangan, ya mustahil. Mau berapa banyak barang memangnya, sejak tadi papasan mobil nyaris tak ada hentinya. Kalau dihitung pasti sudah ratusan, kalau tidak ribu malahan.

 "Kalian masih merasa ini wajar?" Alfon kembali bersuara ketika jam di ponsel sudah menunjukkan angka 21.00, dan mobil tetap melintasi tanjakan-turunan. Seperti berputar-putar saja.

 "Dia mulai lagi," sahut Roki, yang kemudian ditanggapi tawa oleh Ariel dan Viko.

 Alfon mendengkus. Dalam hatinya sangat dongkol karena kawan-kawannya masih saja santai. Apa mereka memang sebodoh itu?

 Belum sempat Alfon bicara lagi, tiba-tiba ada notifikasi masuk di ponselnya. Pemberitahuan siaran langsung oleh akun Rokie Rokie, yang tak lain adalah akun sosial media Roki.

 "Loh, dia live di rumah?" batin Alfon sambil melirik Roki. Namun, lelaki itu fokus mengemudi, tak ada tanda-tanda memainkan ponsel.

 Karena penasaran, Alfon bergegas membuka notifikasi tersebut. Lantas, ia langsung tercengang. Yang tampak di layar bukanlah sosok Roki yang sedang mengemudi mobil, melainkan Roki yang sedang duduk di sofa dengan wajah sendu—berulang kali menarik napas panjang dan tak jua bicara sampai beberapa detik berlalu—seperti menanggung beban.

 Namun, bukan ekspresi Roki yang membuat Alfon mematung seketika, melainkan latar tempat yang tampak di sana. Alfon hafal betul dengan sofa beserta dinding yang terlihat, itu adalah kamar Roki.

 "Roki live di rumah, lalu dia?" batin Alfon. Matanya menatap tegang pada Roki yang sedang mengemudi.


Bersambung...