Seekor kupu-kupu cantik terperangkap.
Merah, kuning, hitam, warna sayapnya. Berkali-kali menuju sekuntum bunga. Berkali kaca menghadang. Dua pasang mata menguntitnya, dari sudut dinding dalam, di samping sebuah guci porselen besar.
"Tante Mer, ada kupu-kupu."
Bocah perempuan menunjuk dengan semangat berburu. Semangat alami yang tumbuh pada diri manusia, sesuai tahap perkembangan perilaku, berburu-bertanam-meramu.
"Kita tangkap yuk."
Bocah laki-laki merentak seperti seorang sprinter siap berlari. Ia melemparkan bola merah. Kucing belang menghambur mengejar bola bulu itu. Bola seperti sengaja berlari menghindari kucing.
"Aiiih...jangan ditangkap, kasihan kan? nanti kupu-kupunya mati."
Mery membuka lebar kaca nako, kemudian pintu. Tiba-tiba angin dingin menyusup, menyegarkan ruang tamu. Kupu-kupu terbang ke sandaran kursi sofa panjang.
"Semoga kupu-kupunya segera menemukan jalan keluar.” Seru Mery.
Gadis itu melirik ponakan perempuanya. Ia mengikatkan gorden ke sudut jendela. Sang gadis kecil terlihat sedikit merengut. Bocah lelaki menggaruk hidungnya. Seekor nyamuk tiba-tiba terbang menjauh.
Jerit dan sorak segera menyembur dari mulut para bocah. Di dapur seorang perempuan setengah baya mendongak. Ia menggeletakan pisau pengiris bawang. Tergesa ia meninggalkan dapur.
"Sssst...sssttt lewat situ, lewat situ!"
Tangan kecil Ara melambai, memberi isyarat pada Ari. Rak pajangan bergetar, tersenggol tubuh dua pemburu kecil itu. Sebuah potret nyaris terjun bebas, menggantung di bibir rak. Sontak Mery membelalak, menghampiri bocah-bocah itu. Bocah-bocah hanya sesaat memperhatikan rak itu, kemudian kembali fokus pada kupu-kupu.
"Awas hati-hati! Tunggu saja, sebentar lagi kupu-kupunya akan menemukan jalan keluar." Ucap Mery memeluk keduanya. Ciuman geram mendarat di ubun-ubun dua kembar berbeda jenis kelamin itu. Mata gadis itu tak jemu menatap kupu-kupu. Ari dan Ara berusaha melepaskan diri dari pelukan Mery.
"Seandainya bunga tak membutakan matanya, tentu ia menemukan celah di sela nako." Mery membatin.
Mata bulatnya melirik potret yang hampir jatuh. Ia segera memperbaiki letak potret itu. Perempuan berdaster biru muncul dari ruang keluarga. Kucing belang menggunggung bola merah ke bawah meja. Ari dan Ara menoleh pada nenek muda itu.
"Ada apa sih kok rame sekali?"
"Ada kupu-kupu cantik, nek. Kupu-kupu besaar." Teriak Ara, seraya menunjuk ke arah kupu-kupu. Mery melepaskan pelukannya. Ari dan Ara mengejar neneknya.
Ara meraih tangan neneknya. Sang nenek melirik kupu-kupu. Kupu-kupu sepertinya merasa malu, terbang ke atas rak buku. Hinggap di satu sudutnya, dekat sebuah jam dinding klasik. Jam yang masih memakai bandul sebagai mesin penggerak jarumnya.
"Eh iya......cantik sekali."
Sang nenek menjerit histeris. Hitam bola matanya mengerling pada Mery. Senyum mengembang di bibir puteri kesayangannya itu. Kemudian perempuan paruh baya itu, memungut boneka kain yang tergeletak di lantai, memajangnya di rak gantung. Sesaat kemudian menoleh pada cucu-cucunya.
"Nenek punya cerita. Siapa yang mau dengar?"
Sang Nenek menghenyakkan pantatnya di kursi rotan. Tangannya memberi isyarat agar si kembar mendekat. Kedua bocah menghambur memeluk neneknya. Kursi rotan sampai berderit, menahan dorongan tubuh kedua bocah itu.
"Apa ceritanya nek?"
Ara merenggut lengan baju Aminah. Wanita itu mengepit tubuh cucunya itu, dalam pelukannya.
“Iya, cerita apa nek?"
Ari mengalungkan kedua tanganya ke leher Aminah. Ara terus melambaikan tangan ke arah kupu-kupu. Mata bocah perempuan itu, tidak lepas-lepas memandang sang Kupu-Kupu.
"Jika ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah, itu menandakan, rumah itu akan kedatangan tamu."
"Benarkah?” Ari menukas.
Ia menoleh pada Mery yang mengelap meja. Di bawah meja, kucing belang dengan geram menampar bola bulu. Bola menghambur ke bawah kursi sofa. Kucing belang melompat menyusulnya. Kedua alis mata Mery terangkat, melihat sang Kucing.
"Benar." Jawab Aminah.
Ara naik kepangkuan wanita paruh baya itu.
"Bagaimana kalau kupu-kupunya banyak?"Ara menyeletuk.
Sang nenek melotot kaget. Telunjuknya mengetok-ngetok keningnya. Seringai senang menghias wajah Mery. Kemudian ia memetik daun bonsai yang layu, memasukkan ke kedalam kantong kresek berisi sampah.
"Tentunya tamu nya juga buaanyaaak." Tukas Ari, seraya mengembangkan tanggannya, sebagai isyarat.
"Ha..cucu-cucu nenek memang pintar."
Aminah meraih tubuh Ari dan Ara. Memeluk mereka erat. Kemudian ia bangkit dan menuntun mereka masuk ke ruang keluarga.
"Yuk..makan dulu!" serunya. Dua bocah berlari mendahului.
Kucing belang masih gigih mengejar bola bulu. Si Kupu-kupu sepertinya sekarang bisa bernafas lega. Ia mengepakkan sayapnya, melayang ke jendela kaca. Ia merayap mendekati Nako. Sejenak berhenti seolah sedang berfikir, harus menempuh jalan yang mana. Angin datang seperti menuntunnya melewati sela nako. Kupu-kupu berhasil melewati rintangan. Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman. Kucing belang berlari ke teras. Kening Mery mengerut.
"Siapakah yang datang?" Gadis itu membatin.
Mery mengintip dari balik gorden. Seorang pemuda bertopi biru menutup pintu mobil. Pemuda itu celingukan sebentar. Sebuah senyuman terbit di sudut bibir Mery.
"Ouh uda Fery!" Ia membatin.
Mery melangkah tergesa menuju pintu. Kucing belang sekarang ada di taman, menerkam belalang coklat. Fery meletakan sepatu hitamnya di rak yang ada di pojokan kanan teras.
"Tumben pagi-pagi sudah datang?" Tanya Mery menyerobot.
Sebuah senyum menyempil dari sudut bibir Fery. Ia merapikan kemeja biru lengan panjangnya. Meraba kepala pena yang tersembul di saku kemeja.
"Aih kau Fery. Lama tak kemari!" Fery tersentak kaget, menoleh.
Aminah histeris, tiba-tiba datang dari pintu samping, langsung menyerobot memeluk Fery. Fery terlihat gelapan. Si kembar saling bertatapan heran. Alis mata kedua bocah itu terangkat. Kedua bocah itu melirik pada tantenya. Mery mejawab isyarat kedua keponakannya itu dengan sebuah senyuman.
"Ini tamu yang di kabari kupu-kupu tadi nek?"
Ari menyentak tangan Aminah. Ara memeluk kaki neneknya. Mery menghampiri ibunya, dan berdiri disamping Ari.
"Ini namanya om Fery ."
Mery mengucek rambut Ari. Bocah itu meronta. Fery segera berjongkok menyalami kedua bocah itu. Fery dan sang nenek sejenak terlibat percakapan hangat. Mery hanya menonton dari sebelah tiang teras, seraya mengelus bunga Asoka Merah. Sesaat kemudian, bocah-bocah melarikan diri ke ruang keluarga. Sang Nenek melengos ke arah dua anak balita yang berlari itu.
"Etek tinggal dulu. Kau ngobrol lah dengan, adikmu." Aminah mengerlingkan mata pada Mery, kemudian bergegas mengejar cucunya.
Di halaman sang kupu-kupu seperti gemas memeluk mawar. Angin pun seolah memandu Sang Bunga berdansa dengan kupu-kupu. Kucing belang meletakkan belalang buruannya ke lantai teras. Belalang coklat segera melompat ke rumpun Bakung. Si Belang sontak melompat, mengejarnya lagi.
"Pasti soal uni Rinai, kan?" Seru Mery seraya merapikan taplak meja. Fery mengangkat alis matanya, sejenak melirik ke ruang dalam. Kemudian sederet giginya terlihat karena tersenyum.
"Sudah tahu masih nanya."
"Terus mau nanya tentang apanya?"
Fery melirik lagi ke ruang keluarga. Mery manyun. Fery mendekati Mery.
"Apakah Rinai mempunyai kekasih?" Ia berbisik. Mata Mery membelalak, senyumpun kembali mengembang di sudut bibirnya.
"Setahuku sudah punya tunangan." Serunya.
"Oh ya?"
Mulut Fery menganga. Tubuhnya lemas seketika. Semangat yang semula menyala, kini padam tak berasap. Keringat dingin keluar dari wajahnya. Kucing hitam tiba-tiba berdiri di depan pintu. Celingukan mengawasi isi rumah.
"Kapan Rinai bertunangan?" seru Fery. Suaranya bergetar, antara terdengar dan tidak. Mery menatap seperti mencari-cari sesuatu di bola mata sepupunya itu.
"Kabarnya sekitar enam tahun lalu!"
Kucing hitam tiba-tiba meloncat. Fery terlonjak. Kotak kue nyaris terpental. Mery reflek meraih kotak kue itu. Ia melemparkan kemoceng ke arah kucing. Sementara Fery merasa jantungnya berhenti berdetak. Badannya panas dingin. Telinganya mendengar suara musik. Musik dari sebuah angkot . Suara Victor Hutabarat lantang menyindirnya.
" Lemas terasa seluruh tubuhku
Melihat tanda di jari manismu
Tanda ikatan tak boleh diganggu
Gugurlah lah dalam cita-citaku !"
Lama juga ia termangu. Mery pun sepertinya ikut menikmati lagu itu. Seorang penumpang turun. Angkot warna pink itu segera berlalu. Hening kembali menyapa ruang tamu.
"Tapi....!"
"Tapi apa?" Fery menyela. Secepat gerakan kucing belang menerkam belalang.
"Enam tahun lalu ada seorang pendaki, hilang di Singgalang. Pernah dengar?"
Kening Fery mengkerut. Matanya menyipit.
"Pernah!"
"Nah.....!"
"Nah apanya?"
"Eiit! Heiiiii". Mery menjerit. Fery terlonjak kaget, mengangkat kedua kakinya.
Kucing hitam tiba-tiba melintas lagi, kucing belang geram memburu. Mereka menghambur ke halaman. Mery melemparkan bantal di tangannya ke arah dua hewan itu. Diam sesaat.
"Pendaki yang hilang itu lah tunangan uni Rinai!" Seru Mery seraya mengambil kembali bantal yang hinggap di rak sepatu. Wajah Fery cerah seketika. Api semangat kini kembali menyala. Harapan kembali mampir di hatinya. Mery kembali duduk di hadapan sepupunya, melipat kaki kirinya ke atas sofa.
"Terus sekarang Rinai bagaimana ?"
"Kabarnya uni Rinai sudah di jodohkan dengan direktur rumah sakit."
Fery terhenyak, tersandar di sofanya. Mery seperti tak peduli, melenggok ke dapur. Fery hanya menatap langkah Mery dengan tatapan kosong. Keringat dingin kembali menyembur dari pori-pori di sekujur tubuhnya.
"Minum dulu."
Tiba-tiba Mery muncul seperti hantu, hadir dalam senyap. Gadis itu menyodorkan secangkir teh. Cepat pemuda itu meraih cangkir itu. Mery menatap tajam sepupunya yang meneguk teh hangat, disertai senyum aneh. Alis mata Fery naik sebelah melihat Mery tersenyum.
"Tapi uni Rinai selalu menolak di jodohkan!"
"Ah apa?"
Fery tersedak seperti hendak melempar cangkir ke atas meja. Mery melotot genit. Sebagian teh tumpah ke dada Fery. Pemuda itu buru-buru meletakkan cangkirnya ke meja. Mery menyodorkan tisu.
"Apa alasan Rinai menolak dijodohkan?" seru Fery seraya mengelap bajunya dengan tisu.
"Kurang tahu juga!"
"Berarti ada juga tahunya meski sedikit!"
Mery tertawa kecil. Kucing belang nongol di depan pintu.
"Uni Rinai belum bisa melupakan tunangannya."
Mery meraih kucing belang.
"Kasihan." Suara Fery pelan.
Mery mengelus kucing belang. Si Belang menatap Fery sinis.
"Uni Rinai pernah juga nanya-nanya soal da Fery kok ."
Kucing hitam muncul lagi. Kucing belang mengeram, menggeletang. Mery berusaha menahan.
" Benarkah?"
Mata Fery berbinar penuh cahaya.
"Yang penting rajin-rajinlah datang ke Apotek!"
"Tentu !"
"Tapi!"
"Meooong!"
Kucing hitam melompat ke atas meja. Gelas-gelas hampir jatuh, sontak Mery dan Fery meraih gelas. Si Belang pun berhasil lepas dari pelukan Mery, lari ke pojokan. Kucing hitam mengejarnya.
'Heiiii..husssss!"
Mery menyapukan kemoceng. Kucing hitam melompat ke halaman. Mery memburunya, wajahnya berubah merah padam.
"Tapi... apa?"
Fery setengah berteriak ke arah pintu, seraya merapikan meja. Mery kembali ke tempat duduknya, dengan wajah yang masih kusut. Kucing hitam memanjat pohon rambutan.
"Datangnya ke Apotek jangan melenggang kangkung!" Seru Mery ketus.
"Maksudnya?"
"Bawa gorengan kek, nasi bungkus kek, apa sajalah!"
"Untuk Rinai?" Fery menatap tajam mata Mery.
"Ya untuk aku dong!"
Mery tertawa keras. Aminah yang menguping dari balik pintu kamar tersenyum. Fery mengacungkan tinjunya pada Mery.
***
Sepanjang jalan, senyuman terus bercokol di bibir Fery. Iwan Fals melantunkan lagu dengan suara seraknya melakui Tape mobil. Jari jemari Fery mengetuk-ngetuk setir, ikut irama lagu. Kepalanya bergoyang, sambal sesekali ikut menayikan lagu itu.
"Mata indah bola pingpong
Masihkah kau kosong?
Bolehkah aku membelai
Hidungmu yang aduhai?
Engkau baik
Engkau cantik
Kau wanita
Aku puja"
Di sebuah tikungan, tiba-tiba sebuah Avanza hitam menyalip. Fery terperangah. Kakinya cepat menekan rem.