“El, pergi ke warung dulu beli mi instan, garam, kecap, sama telur.”
Aku yang sedang asyik bermain bersama teman-temanku, langsung masuk ke dalam rumah begitu ibuku memanggilku. Seperti biasa, ia menyuruhku untuk pergi berbelanja ke warung langganannya.
“Uangnya, Ma?” tanyaku sambil mengulurkan lenganku.
“Bilang sama tante Rani ngutang dulu.”
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. Ini bukan satu dua kali aku diminta pergi untuk mengutang pada warung itu. Pemilik warung itu pun sudah kenal cukup lama dengan ibuku.
“Aku boleh minta snack juga?” tanyaku ragu-ragu. Meski sudah sering mengutang di sana, ini adalah kali pertama aku meminta makanan ringan juga.
“Iya.” Jawaban dari ibuku itu membuatku senang bukan main. Aku segera melangkahkan kedua kakiku untuk pergi ke warung milik tante Rani untuk membeli, tidak, maksudnya mengutang beberapa barang dagangan miliknya.
Teman-temanku yang tadi sedang asyik bermain sudah pergi entah ke mana. Kedua mataku hanya mendapati Gloria, tetanggaku, yang tengah duduk di depan rumahnya sambil mengipasi dirinya. Ia tampak kelelahan. Ia juga adalah teman yang biasa kuajak bermain.
“Glo, ayo!” ajakku.
“Ke mana?” Ia menatap bingung ke arahku.
“Ke warung tante Rani,” kataku sambil tersenyum.
Tidak ada bantahan yang keluar dari mulutnya. Ia menemaniku pergi ke warung tante Rani siang itu.
***
Hari-hari yang sama terus berlanjut. Aku sering pergi mengutang beberapa barang di warung tante Rani karena disuruh oleh ibuku. Tentu saja aku juga meminta beberapa makanan ringan yang akan kumakan bersama Gloria nantinya.
Lambat laun, aku mulai lebih berani lagi untuk mengutang pada warung tante Rani mengatasnamakan ibuku meskipun aku tidak meminta izin sama sekali sebelum melakukannya. Setelah berutang, aku akan pergi ke tempat biasa aku bermain bersama teman-temanku. Aku tentu tidak akan pulang sampai semua makanan itu habis karena tidak ingin ketahuan oleh ibuku.
“Di sini kamu rupanya!”
Aku tersentak begitu mendengar suara ibuku yang entah dari mana munculnya. Aku melirik ke arah makanan ringan yang kudapatkan dari warung tante Rani. Makanan itu masih banyak jumlahnya dan belum habis sama sekali.
Kuangkat wajahku menatap Gloria yang tampak sama terkejutnya denganku. Belum sempat aku berbalik ke arah sumber suara yang kuyakini adalah ibuku, aku merasakan cuping telingaku tiba-tiba ditarik dengan sangat keras.
“Benar-benar! Ambil semua makanan itu!” bentaknya.
Tanpa pikir panjang, aku segera mengambil semua makanan ringan termasuk yang sudah terbuka, kecuali yang dipegang Gloria. Setelahnya, aku mengikuti ibuku. Ia masih menarik cuping telingaku dengan sangat keras dan menyeretku pergi dari sana.
“Ibu tidak habis pikir denganmu. Bisa-bisanya kamu mengutang di warung tante Rani segala macam snack dan tidak mengatakan apa pun pada ibu. Kamu malah pergi dengan temanmu menghabiskan semua makanan itu. Adik kamu tidak kebagian sama sekali,” omel ibuku.
Aku yang masih sangat kecil saat itu tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh ibuku. Dalam pemahamanku, aku tidaklah salah karena sudah pernah menanyakan padanya tentang boleh tidaknya aku mengambil beberapa makanan ringan di warung tante Rani. Menurutku, ibuku hanya suka menyiksaku dengan cara yang jahat dan tidak pengertian sama sekali.
***
BRUK!!!
Ibuku akhirnya melepaskan tarikannya pada cuping telingaku setelah sampai di depan rumah kontrakan kami. Aku jatuh terduduk karena ia mendorong tubuhku sampai menabrak pintu kamarnya. Adikku yang sedang bermain sampai terkejut melihatku. Tapi perhatian beralih pada semua makanan ringan yang terhambur dari dalam pelukanku.
Ia mengambil makanan ringan yang bungkusnya telah terbuka dan beberapa isinya telah berhamburan di atas lantai. Satu per satu ia masukkan ke dalam mulutnya yang mungil.
“Kamu pikir adikmu juga tidak mau makan makanan ringan seperti itu? Berkali-kali kamu mengambil makanan ringan itu di warung tante Rani, tapi tidak satu pun kamu berikan sama adikmu. Benar-benar!”
Ibuku mengambil sapu yang berada tidak jauh darinya. Ia membalikkan sapu itu dan membuat gagangnya berada di bawah. Tidak perlu bertanya lagi, aku sudah tahu apa yang akan ia lakukan dengan sapu itu.
BUKK! BUKK! BUKK!
Aku tidak tahu sudah berapa banyak pukulan yang ia layangkan pada tubuh kecilku. Ia terus memukuliku tanpa henti sambil meluapkan semua kekesalannya. Meski aku meraung-raung berteriak meminta pengampunan, ia tak kunjung berhenti. Aku hanya bisa berharap di dalam hatiku sambil terus menangis, berharap akan ada seseorang yang menghentikannya memukuliku.
Hal yang paling membuatku kesal adalah adikku yang hanya menontonku terus dipukuli tanpa ekspresi takut sama sekali sambil menikmati tiap makanan ringan yang ia masukkan ke dalam mulutnya. Padahal posisinya denganku yang tengah dipukuli saat ini tidaklah jauh, malah sangat dekat.
“Awas kalau kamu ulangi lagi!” ancam ibuku sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arahku dan menatapku dengan sorot tajam.
Setelahnya, ia meletakkan sapu yang gagangnya sudah patah itu ke sudut ruangan. Gagang sapu itu sampai patah saking kerasnya pukulan yang ibuku layangkan padaku. Rasa marah, sakit hati dan benci menjadi satu di dalam rongga dadaku. Aku yang masih kecil saat itu benar-benar tidak mengerti dengan ibuku yang lakukan padaku. Di mataku, ia hanya suka menyiksaku yang masih kecil saat itu.
Aku tidak lagi berani meminta makanan ringan di warung tante Rani setelahnya. Aku benar-benar trauma. Bahkan aku tidak berani meminta pada ibuku meskipun ia menyuruhku pergi ke warung tante Rani. Menurut pemahamanku, aku nanti akan berakhir dipukuli sampai seluruh tubuhku memar. Masih sangat jelas di dalam ingatanku betapa menyakitkannya itu dan bagaimana kejamnya ibuku yang bahkan tidak berhenti meski gagang sapu yang ia gunakan untuk memukuliku telah patah.
Aku juga jadi canggung saat bertemu dengan teman-temanku yang lain terutama Gloria. Ia melihat bagaimana ibuku menyeretku pulang ke rumah sambil menarik cuping telingaku dengan keras. Terlalu memalukan rasanya jika harus berhadapan dengannya, apalagi aku sudah membanggakan diri bahwa ibuku membebaskanku untuk meminta berbagai makanan ringan di warung tante Rani tanpa harus membayarnya.