"Anggara!" Lelaki di sampingku mengulurkan tangan. Senyum terbit dari wajahnya.
"Eh, Nira." Aku membalas uluran tangannya. Akhirnya, setelah empat bulan kami berjumpa, sekarang mulai keluar kata pertama, meski hanya sebuah nama saja.
Setelahnya kami kembali diam. Aku sibuk mengagumi dirinya yang terlihat menggoda di mata. Sedangkan Anggara sibuk dengan buku yang ia baca. Sesekali terlihat tangannya membetulkan letak kacamata yang melorot, beberapa kali pula jarinya membalik halaman demi halaman buku yang ia pegang.
Hanya dengan ekor mata aku berani melihat lelaki itu. Jika menatap langsung, rasanya belum sanggup. Jadi ketika ada kesempatan untuk melihatnya lagi dan lagi, tak akan kulewatkan saat itu. Ada andong lewat misalnya, wajahku ikut bergerak sampai kendaraan yang ditarik dengan kuda tersebut menghilang di tikungan atau tertutup kendaraan lain, yang terpenting, saat itu netraku tidak perlu juling untuk melihat sosoknya hanya dari sudut mata saja.
"Bis saya sudah datang! Permisi duluan, ya, Mbak!" Anggara berdiri dari tempat duduknya.
"Hati-hati, Mas!" Seketika ingin sekali kubungkam mulut ini. Ia naik bus, harusnya yang kupesan untuk hati-hati sopirnya, bukan penumpangnya.
Stupid!
Tak lupa senyum kuberikan pada lelaki berkacamata itu ketika ia melangkah masuk ke dalam bus. Anggara membalas dengan lambaian tangan. Tubuhnya menghilang bersama kendaraan yang membawanya pulang, sedangkan aku, masih tetap di halte.
Aku memukul kening berkali-kali. Kenapa gugup sekali, sih! Padahal sudah direncanakan akan sesantai mungkin ketika saat ini tiba. Namun tetap saja, rasa tidak bisa berbohong. Hati tidak bisa diajak kompromi.
Setelah memastikan bus yang membawa Anggara dan separuh hatiku benar-benar hilang, aku mengambil ponsel dan mengetik sesuatu di layar android tersebut.
[Jemput, Des.]
Baru satu menit pesan tersebut terkirim, balasan masuk ke ponsel.
[Malas.]
Aku tertawa. Desi memang seperti itu, tapi dalam hitungan ke lima puluh, pasti gadis itu sudah berhenti di depan halte. Apa aku harus mulai menghitung dari sekarang? Ah, sepertinya tidak perlu. Toh nanti ia pasti datang juga.
Dua menit kemudian, motor matic berhenti di depan halte. Desi membuka helm dan melempar tatapan kesal. "Kamu mau sampai kapan kayak gini. Berasa penguntit tahu gak!"
Aku berdiri dari kursi, membersihkan debu yang mungkin saja menempel di pantat, setelahnya menghampiri sahabat satu-satunya di kota perantauan ini. "Kayak kamu gak pernah suka sama orang aja!" Helm yang ia sodorkan kuambil, lalu memakai di kepala.
"Tapi gak pernah kayak kamu, Ra. Kurang kerjaan banget. Kalau suka bilang! Bukan diem-dieman hanya duduk di sampingnya setiap hari!" Dia mencibir.
"Whatever! Yang penting aku bisa lihat senyumnya dan sekarang bertambah tahu namanya!"
"Gak waras kamu, Ra!"
Kami berboncengan membelah jalanan kota Jogja. Aku yang di belakang mengulum senyum ketika teringat dengan perkenalan aneh kami. Setelah enam minggu saling diam, lelaki itu mengajakku ngobrol dulu. Keren sekali.
Setelah hari ini, aku yakin jika hubungan ini akan berkembang semakin jauh lagi. Tidak masalah jika lambat, yang penting hasil akhirnya. Lagi pula, apa gunanya jika hanya aku yang mencintai dia, sedangkan dia tahu namaku saja tidak. Eh, sekarang sudah saling tahu.
Unik memang, bisa-bisanya jatuh cinta pada lelaki yang bahkan namanya saja baru diketahui belum ada satu jam yang lalu. Tapi kalau bicara hati, siapa yang bisa merencanakan, kan?
Begitu juga dengan kisah ini. Dengan tanpa diduga sebelumnya, hatiku terpaut pada lelaki berkacamata itu. Anggara.
Beberapa menit setelahnya, motor matic Desi terparkir di depan kamar kosan yang kami sewa. Aku terlebih dulu masuk ke dalam dan mengempaskan tubuh ke kasur busa berukuran 175X200 cm. Bayangan senyum Anggara kembali hadir, tanpa disengaja bibir ini ikut melengkung. “Aku jatuh cinta woy!” seruku sambil memeluk guling.
Desi yang baru masuk menatap sebal, ia meletakkan kunci motor di atas meja kecil samping kasur, lalu menyusul berbaring di sebelahku.
Kami berdua diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Desi entah memikirkan apa, sedangkan aku tentu saja tentang Anggara. Memang siapa lagi? Hanya Anggara yang beberapa bulan ini selalu menjadi objek lamunan.
Bunyi jarum jam satu-satunya pengisi sunyi di dalam kamar. Sesekali deru kendaraan dari luar kosan ikut meramaikan suasana. Kosan yang kami sewa berada di pinggiran Jogja, selatan Candi Prambanan. Hanya butuh lima menit untuk sampai ke tempat sejarah itu, tapi sekitar dua puluh menit untuk sampai ke pusat kota.
Desi bangun dari posisinya, ia duduk dan menatap kosong ke tembok di depan.
“Kamu sehat, Des?” Aku mengguncang lengannya.
Gadis itu menoleh, lalu mengendikkan bahu dan menggeleng. “Aku baru tahu kalau dia punya pacar!” ujarnya.
“Siapa?”
“Dian! Tadi dia bilang kalau hanya ingin temenan sama aku, tidak untuk jadi pacar!”
Waw! Dian yang kutahu sangat perhatian dengan Desi. Tidak jarang dua sejoli itu melewati malam Minggu bersama. Bahkan beberapa kali Dian mengantar sahabatku pulang, tapi apa katanya tadi? Lelaki itu sudah punya pacar? Sejak kapan? Kenapa baru bilang sekarang?
“Gak apa-apa, sih! Hanya saja kenapa dulu memberi harapan kalau akhirnya hanya membuat luka.”
“Sabar, ya, Des!” Aku menepuk pundaknya lembut.
“Aman. Aku baik-baik saja.” Ia tersenyum. “Kamu hati-hati, ya. Aku aja yang sudah sedekat ini bisa kecolongan, apa lagi kamu yang baru tahu namanya!”
Deg.
Kenapa saat aku lagi di puncak bahagia Desi justru mematahkan itu dengan kelimatnya yang ... benar. Ya, ia yang kenal dan dekat bahkan bisa dibilang seperti pacaran saja hanya dianggap teman, lalu apa kabar denganku? Baru tahu namanya sudah berandai-andai kalau hubungan ini pasti akan berlanjut berakhir happy.
Apa memang harus seperti ini dalam mencintai? Hanya satu yang berkorban perasaan sedangkan yang satunya tinggal menerima tanpa memikirkan timbal baliknya.
“Ya udah, kalau kamu mau ngelanjutin gak apa-apa, tapi aku sudah ngingetin di awal. Jangan sampai kejadian yang sama juga kamu rasakan. Sumpah, rasanya gak sesimple yang dilihat! Sakit, Ra!” Desi menyeka sudut matanya. Ia berdiri meninggalkan ranjang dan mengambil handuk.
Aku masih tetap memikirkan kalimat yang Desi ucapkan. Siapkah jika nanti akhirnya sakit hati? Seperti yang Desi alami saat ini. “Kamu mau ke mana? Tumben mandi!” Aku membuang pikiran negatif yang tiba-tiba datang tanpa diundang.
Desi membalikkan badan, lalu nyengir memamerkan deretan giginya yang rapi. “Main sama Dian!”
What the?
“Heh. Katanya sudah punya pacar, kok masih keluar sama kamu?”
“Memang kenapa? Keluar berdua gak harus menjadi pasangan, kan? Teman emang gak boleh keluar bareng?”
Aku memandangnya kesal. Setelah tadi curhat sedemikian mengenaskan, sekarang masih mau pergi bareng? Benar-benar tidak bisa ditebak jalan pikiran cewek itu.
“Ra, aku hanya tahu mencintai. Urusan dia tidak membalas atau hanya mengaggapku teman, itu urusannya, yang penting dia tidak meminta aku untuk berhenti mencintainya.”
Aku menarik satu sudut bibir. “Bucin!”
“Emang kamu gak? Ya mending aku berani ngungkapin, daripada kamu! Gak ada perkembangan yang berarti.”
“Aku sudah tahu namanya!”
“Tapi tidak hatinya!”