“Aku membencimu! Sangat. Aku bersumpah enggak akan nangis kalau kamu mati!” ucapnya sambil menatap selembar foto yang bagian kepalanya sudah ia lubangi. Di hadapannya ada sebuah ponsel yang menyala, menampilkan foto satu keluarga bahagia di salah satu sosial media yang banyak digunakan saat ini.
Dua anak perempuan kecil yang terlihat begitu terawat dan disayangi, satu wanita yang dipeluk seorang pria yang sangat ia kenali.
“Papa…,” ucapnya lirih sambil melirik ke arah ponselnya. “Semua gara-gara kamu, bajingan!”
***
“Jilat!” titah pria yang duduk dengan arogan sambil memegang sabuk kulit kesayangannya. Gadis di hadapannya terentak, matanya berembun.
“Pa…,”
“Papa bilang jilat, Mel!”
“Tapi, Pa-” Ucapannya terputus saat Elvin berdiri dan menendang kursi plastik dengan kasar. “A- aku jilat, aku jilat.”
Alara berjongkok, sepersekian detik tubuhnya membungkuk sambil menjulurkan lidah ia menjilat sabun cair yang tumpah di atas lantai yang tidak dikeramik itu.
Gadis yang baru memasuki sekolah menengah pertama itu menutup rapat mulutnya agar tidak muntah, ia takut Papanya akan semakin marah dan memberi hukuman yang lebih aneh daripada ini.
“Enak?” Alara menggeleng pelan sebagai jawaban. “Makanya kalau punya tangan jangan lancang. Siapa yang suruh kamu pakai sabun mandi Papa, hah?”
“Makanya kamu kalau punya anak dijaga, ajarin dia biar nggak lancang pakai barang-barangku.” Kali ini Elvin menunjuk ke arah istrinya yang sejak tadi meneteskan air matanya.
“Tapi, Pa, aku nggak pakai sabun Papa,” sanggah Alara, ia mengedip beberapa kali agar tidak meneteskan air mata. Rasa pahit juga pedas dalam rongga mulutnya berusaha ia abaikan.
Bagaimana pun ia benar-benar tidak memakai sabun atau benda apa pun milik sang papa tapi kenapa harus dirinya yang tertuduh bahkan mendapat hukuman seperti in?
“Terus gimana bisa bekas balsem dan minyak angin ada di sini, hah?” bentak Elvin, ia paling tidak suka dengan orang yang salah tapi malah membela diri seolah tidak bersalah saja.
Putri pertamanya terdiam, membuat Elvin mengembangkan senyumnya. Ia tahu pasti memang anak ini yang lancang memakai barangnya.
Sedangkan diamnya Alara, ia akhirnya tahu kalau yang memakai sabun Papanya adalah dua adik lelakinya yang sejak tadi meringkuk di dekat Mamanya, ya ia sudah mengingatnya.
Sepulang dari gereja, mereka semua kehujanan. Alara yang lebih dahulu memasuki kamar mandi untuk membasuh diri sekaligus berganti pakaian, dilanjutkan dua adik kecilnya baru sang Mama. Lalu, Elvin pulang dan duaaar masalah itu pun terjadi.
“Kamu memang anak pembawa sial!” bentak Elvin sambil mengayunkan sabuk di tangan kanannya.
“Ampun, Paaa!”
*
“Ampun, Paaa!” teriak Alara, matanya berpendar ke seluruh penjuru kamarnya. Keringat membasahi pelipis juga bajunya.
Mimpi itu lagi, gumamnya. Ia mengusap wajahnya kasar. Sudah 12 tahun dan semua kejadian itu masih pekat dalam ingatan dan terus menjadi mimpi buruknya. Kejadian di mana ia dipaksa menjilat sabun yang tumpah karena dibanting papanya.
Kejadian di mana ia seperti tidak dianggap seperti manusia. Berbagai cacian ia dengarkan dari bibir pria yang seharusnya menjadi cinta pertamanya.
Alara menoleh, menatap ke arah jam yang ada di sebelah nakasnya. Masih jam 2 pagi tapi matanya sudah enggan diajak untuk memejam kembali, mimpi buruk tentang pengalamannya saat masih sekolah dasar itu merusak moodnya yang setiap hari tidak pernah baik.
“Hehe, dasar cengeng,” umpatnya saat merasakan air matanya mulai luruh. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu turun, menatap pantulan dirinya di cermin.
Pukul aja kacanya.
Nggak sakit kok, malah bikin sakit kamu hilang.
Ayo pukul aja, pake kepala lebih enak biar nggak sakit lagi kepalanya.
“Berisik!” teriaknya sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ia berjongkok, menatap pecahan piring yang tadi pagi tidak sempat dia buang.
“Kamu tuh cuma anak pembawa sial.”
“Kalau tahu kamu cuma bakal jadi anak yang nggak berguna, pas kamu lahir udah mama matiin kamu.”
“Papa heran kenapa bisa punya anak sial kayak kamu.”
“Kenapa kamu nggak mati aja?”
“Mati! Mati! MATI!”
Tiga goresan, dan gadis yang seolah tidak merasakan sakit itu masih terus menggores pergelangan tangannya dengan pecahan piring.
“Aku emang pantas mati kan?” ucapnya entah pada siapa sambil masih membuat goresan yang baru lagi. “Kenapa aku harus lahir kalau emang aku cuma dianggep bawa sial?”
“Aku … aku emang bawa sial ya?”
“Iya, kamu memang bawa sial. Kenapa kamu nggak sadar juga kalau nggak ada yang menginginkan kehidupan kamu di sini?”
“Enggak, kamu nggak bawa sial. Kamu cewe terbaik yang pernah aku temuin, Ra.”
Suara itu tumpang tindih dengan ucapan Abimanyu -kekasihnya. Alara kembali menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan suara-suara yang semakin berisik di dalam kepalanya.
“Jangan sakitin diri kamu sendiri lagi, Ra. Aku sakit liat kamu kayak gini.”
“Kakak emang pantes dipukul, Papa. Nggak berguna sih.”
“Ara pacar aku yang terbaik. Aku sayang banget sama Alara Wijaya eh salah Nyonya Abimanyu.”
Alara tersenyum saat mengingat ucapan sang kekasih yang menyebutnya sebagai Nyonya Abimanyu. Perlahan ia menoleh menatap figura yang membingkai foto dirinya dan Abimanyu.
“Aku harus tidur lagi, besok mau kencan sama Abi,” ucapnya riang seolah luka di pergelangan tangannya bukanlah hal yang menyakitkan. Alara berdiri, mengusap foto dirinya dan Abi lalu membaringkan tubuhnya kembali sebelum beberapa menit kemudian ia kembali bangun.
“Lupa belum siapin baju buat pergi bareng sama Ayang aku,” ucapnya sambil menepuk dahinya. “Aw, sakit.”
“Oh iya lupa belom diobatin, besok aja deh biar Abi yang ngobatin hehe.”