“Rumah itu apa? Apakah hanya sebuah tempat tinggal yang di dalamnya dihuni sebuah keluarga saja? Atau hanya sebuah tempat persinggahan sementara sebelum pada akhirnya mereka tinggalkan satu per satu secara bergiliran?”
*****
Hari ini merupakan hari yang paling berat bagi Dilara Anggita. Terutama masalah pekerjaan di kantor. Hhhh... melelahkan. Lara kira, menjadi seorang pekerja kantoran tidak akan semelelahkan ini. Hari-hari yang akan dilewatinya pasti akan terasa menyenangkan. Datang ke kantor tepat waktu, duduk selama seharian penuh di depan komputer, bercengkrama dengan rekan kerjanya saat istirahat tiba, lalu pulang ke rumah dengan hati yang riang dan berharap esok hari akan lebih indah dari hari ini. Menyenangkan sekali bukan? Sayang, itu hanya dalam angan-angan Lara seorang. Nyatanya, realita jauh lebih keras daripada ekspektasi.
Setibanya di rumah nanti, Lara berharap bisa mengistirahatkan tubuh lelahnya dengan nyaman tanpa gangguan sana-sini lagi seperti biasanya. Tapi lagi-lagi, Lara nggak pernah belajar dari kejadian sebelumnya. Di mana keinginannya itu hanyalah angan-angannya saja. Nyatanya, setiba di rumahnya Lara langsung diberondong oleh celotehan-celotehan adik kecilnya yang heboh.
“Kak Lara... Kak Lara... tau nggak?? Aku tadi punya temen baru. Banyaaaak bangeeeet. Trus anak-anaknya pada asyik bangeeet. Aku seneng deh, main sama mereka!” sahut Nawa heboh, adik bungsunya yang baru berumur delapan tahun itu, begitu Lara membuka pagar rumah mereka.
Lara mau tak mau tersenyum mendengar celotehan adik bungsunya itu, sambil menuntun Nawa masuk ke rumah lalu duduk di ruang tamu, dia pun menjawab. “Oh ya? Jadi Nawa sekarang udah punya banyak temen baru ya? Seneng banget dong, jadi punya temen main banyak!”
Nawa mengangguk dengan antusias. “Seneng bangeeet!” dia tersenyum sambil memperlihatkan barisan giginya yang rapi. “Ternyata pindah sekolah dan pindah dari rumah itu nggak seburuk yang Nawa pikirkan selama ini. Nawa kira, Nawa jadi nggak bakalan bisa punya temen lagi kayak dulu. Nggak ada temen main, nggak ada yang bisa diajakin ngobrol banyak hal, main robot-robotan, dan Nawa ajakin makan seblak lagi hihihi...”
Lara tersenyum. “Tapi nyatanya nggak kan?”
“Iya. Malahan sekarang Nawa jadi punya temen banyak hehehe....”
“Bagus deh, kalau Nawa seneng. Kakak pun jadi ikut seneng dengernya. Mudah-mudahan, Nawa betah ya tinggal di sini. Rumah kita yang sekarang memang jauh lebih kecil dari rumah kita yang dulu. Tapi Kak Lara harap, Nawa bisa beradaptasi dengan baik di rumah kita yang sekarang ya. Apalagi sekarang udah punya banyak temen main juga kan? Jadi Nawa nggak usah sedih lagi karena ninggalin rumah kita yang dulu,” ujar Lara sambil mengusap-ngusap kepala adik kecilnya itu dengan sayang.
Nawa mengangguk. “Iya, Kak. Aku udah nggak sedih lagi kok, karena kita udah nggak tinggal di rumah lama. Cuma aku masih bingung aja, kenapa sih kita harus pindah dari rumah lama? Kenapa sekarang kita pindah ke rumah ini? Rumahnya emang nyaman bangeet, tapi dibandingkan yang dulu, rumah ini tu kecil bangeeet, Kak. Aku kira kita bakalan pindah ke rumah yang lebih bagus lagi dari rumah kita yang dulu. Tapi kenapa malah pindahnya ke rumah ini, Kak??” sahutnya beruntun, yang mau tidak mau membuat Lara menjadi mendadak sedih seketika saat mendengar perkataan-perkataan polos adik kecilnya itu. Dia jadi teringat alasan di balik kepindahannya dan keluarganya ke rumah ini.
“Nggak papa, Nawa. Untuk sementara kita tinggal di sini dulu ya, nanti kalau Kak Lara udah punya uang banyak kita bisa tinggal lagi di rumah yang lebih bagus lagi dari rumah kita yang dulu. Nawa doain Kak Lara ya, biar tetap sehat terus dan panjang umur. Biar bisa kumpulin uang banyak buat beli rumah bagus, sekolahin Nawa dan Kak Yara sampai jadi orang yang membanggakan, dan beli apa pun yang Nawa dan Kak Yara butuhkan.” Sebisa mungkin, Lara berusaha untuk tersenyum untuk menutupi kesedihannya itu saat menyelesaikan perkataannya.
Adiknya masih terlalu kecil untuk memahami kondisi keluarga mereka. Di samping itu, Lara berharap, adik kecilnya bisa tumbuh menjadi orang yang kuat dan membanggakan agar Lara bisa menunjukkan pada orang-orang yang menyakitinya. Bahwa tanpa kehadiran mereka pun, Lara bisa membimbing adik-adiknya menjadi orang hebat tanpa campur tangan mereka.
“Oke deh, Kak Lara. Kakak tenang aja, aku bakalan doain terus Kak Lara biar selalu sehat dan bisa punya uang banyak biar bisa beli rumah yang lebih bagus dari ini ya. Tapi Kakak harus inget loh, kalo udah jadi orang kaya nanti, jangan pelit-pelit sama aku ya. Kalo aku pengin beli lego yang banyak, Kak Lara harus beliin loh, nggak boleh pelit-pelit hehehe....”
Lara tertawa, sejenak melupakan kesedihannya. “Siap, adik kecilku. Yang penting, Nawa terus doain terus Kakak ya,”
“Siap, bos. Laksanakan!” ujar Nawa sambil memeragakan tangannya untuk hormat, yang membuat Lara lagi-lagi tertawa karena tingkahnya itu.[]