Cafe Lorenza
Tempat di mana gadis berambut hitam sebahu menghabiskan waktu dari pagi hingga malam hari. Jingga namanya. Nama unik yang juga membuat hidupnya terasa kacau, melelahkan, bahkan ia selalu hapal kapan ia merasa terkucilkan.
Dan sekarang tempat itu menjadi satu-satunya cara ia dapat bertahan hidup. Adik perempuan lucu berusia 10 tahun juga senyuman seorang wanita yang selalu menguatkannya.
Baru satu langkah dia memasuki cafe itu, tatapan sinis dua orang telah menyambutnya dengan sangat hangat. Mereka berbisik satu sama lain kemudian dua orang lainnya menatap pemandangan itu seperti hal yang biasa. "Enak yah tuan putri baru datang jam segini!" Sindir salah satu dari kedua orang itu.
"Ini baru jam 06.30 loh," Sahut Jingga yang masih menggenggam tas berwarna coklat berisi bekal dan air minum yang ia bawa.
"Harusnya lo itu datang jam 5 pagi. Biar bisa beres-beres." Balas salah satu yang sedari tadi masih terdiam.
Ini adalah suasana yang selalu Jingga rasakan setiap saat.
Tempat yang terasa menjadi kutukan baginya, bahkan sekarang semuanya semakin terasa memuakan, dia tahu betul mereka tidak ingin dirinya ada di sana.
"Untuk kamu Lina dan kamu Rahma Kalian itu maunya apa sih? Kayanya aku engga ada salah deh sama kalian," pekik Jingga.
"Mau kita?" Jawab Lina lebih dulu di susul tawa di antara mereka berdua. "Mau kita itu, lo keluar dari sini. Terutama gue, dendam gue ke lo itu engga akan pernah selesai." Sambung Lina dengan tatapan kebencian.
"Dendam? Maksud kamu?" Tanya gadis berkulit sawo matang itu dengan perasaan yang tidak menentu.
Mata gadis berambut sepundak itu, melirik ke arah Lina sekilas, sepertinya ia juga tidak tahu perihal dendam itu. Matanya seolah menuntut jawaban dari wanita di sebelahnya.
"Gue engga akan biarin lo hidup tenang!" Lina menarik sudut bibirnya.
Prakkkkkk
Salah satu gelas terhempas ke lantai dengan sempurna, mengubahnya menjadi kepingan-kepingan kaca yang seolah siap melukai siapapun saat itu juga "Ambil!" Teriak Lina!"
"Gue bilang ambil!" Tangan Lina mendorong tubuh Jingga hingga gadis itu hampir saja terjatuh jika saja ia tidak bersiap sebelumnya. Wajahnya memanas, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya terkepal kuat dalam keadaan air mata yang tertahan. Gadis itu menatap lurus wajah gadis berperilaku bengis yang selama ini membuat hidupnya tidak tenang. Tangannya meraih sebuah gelas berisi air dan Byurrrrrr....
Air itu tepat mengenai wajah Lina. Wanita itu tersentak, mendapat perlakuan yang tidak pernah dia duga sebelumnya. "Engga semua orang bisa selamanya kamu injek-injek Lin."
"Gue akan bilang sama kakak gue. Supaya lo secepatnya di pecat dari cafe ini. Liat aja!" Ancam Lina merasa tidak terima atas apa yang Jingga lakukan. Sedangkan Rahma yang melihat itu juga tersentak ia mencoba membantu sahabatnya. Mereka berdua memang tidak ada bedanya.
Jingga meletakan sebuah amplop berwarna putih berukuran cukup besar di atas meja berwarna coklat di hadapan mereka. "ini surat pengunduran diri!"
Ada kilatan kemarahan, sekaligus rasa terkejut yang menyanggah diri Lina, dia tidak pernah menyangka sekalipun seorang Jingga berani meninggalkan pekerjaannya sedangkan dia tahu benar, gadis itu adalah tulang punggung keluarga. Di belakang Lina, ada dua orang bernama Yunita dan Alan. Mereka berdua selalu menjadi saksi dari setiap perlakuan yang dua orang itu lakukan
"Ga, jangan pergi!" Teriak Yunita.
"Maaf aku harus pergi!" balas Jingga dengan senyuman yang terasa getir. Melihat wajah itu semakin membuat hatinya terasa perih, tidak ada persahabatan jika sudah menyangkut kebutuhan.
"Kita masih butuh lo di sini, Ga." Sambung Alan. Lelaki itu melangkah mengejar Jingga yang juga melangkah cepat menuju pintu keluar.
"Butuh? Butuh hiburan maksud kalian?" Jingga tertawa kencang, terhadap dirinya sendiri. Wajahnya semakin memanas, sungguh dia tidak pernah bermimpi untuk menangis di hadapan orang-orang bengis itu. Dengan cukup kuat ia tetap melanjutkan langkahnya menuju pintu berwarna putih itu, setelah sesak yang menyanggah dirinya semakin tidak terkendali. Sebelum akhirnya ia melangkah keluar, berbalik sesaat dan menatap dua orang itu, seseorang yang selama ini ia percaya. Benar, tidak pernah ada yang bisa menjamin seberapa baik dan buruknya seseorang kita hanya bisa menunggu sampai kenyataan itu datang.
"Setelah kalian melihat semua ini sekian lama, kalian cuma diam. Bukankah pekerjaan ini lebih penting buat kamu Lan?" Tatapan Jingga tertuju kepada Alan seseorang yang sebenarnya berarti di hidupnya. "Bukankah Dito pemilik cafe ini yang tidak lain kakak dari Lina itu lebih penting buat kamu Yun?" Tatapan Jingga juga teralih ke arah Yunita.
"Persahabatan ini terlalu menyakitkan! Tolong selesaikan sandiwara kalian." Jingga melanjutkan langkahnya di susul Alan yang berbalik untuk meraih tas dan kunci motornya.
"Lan kalau lo keluar dari Cafe ini sekarang, gue pastiin lo akan kehilangan pekerjaan." Ancam Lina mencoba menghentikan langkah Alan.
Namun lelaki itu hanya terdiam dan meneruskan langkahnya.