Tara Palladium

Tara Palladium

Naoemi

4.9

         Ini mimpi.

    Benda penuh binar mewah itu berhasil terpasang; tersemat tanpa bersalah di jari manis tangan kiri ku.

      Mataku bergetar. Aku masih berharap ini mimpi. Mimpi buruk yang akan membuatku terkejut dan kembali bangun saat malam hari.

       “Sekarang gantian kamu, Nduk.”

   Sedikit terlonjak aku menoleh. Ibuku menyerahkan satu benda mirip dengan yang baru saja aku pakai. Cincin. Lagi-lagi aku bergetar; kali ini kedua tanganku.

       Sungguh aku ragu. Tenggorokan ku yang kering beberapa kali berusaha meneguk ludah, menekan sesak yang semakin memberat.

  Aku mengambil cincin itu. Dengan keberanian yang tersisa aku mendongak menatap laki-laki yang juga balas menatap. Perlahan, cincin itu telah berhasil ku sematkan.

       Meskipun laki-laki ini sempat menjengit—mungkin karena kaget dengan suhu tanganku; dingin—, akhirnya dia mengulas senyum.

      “Alhamdulillah....”

    “Alhamdulillah, Bapak Ibu sekalian, tukar cincin sudah dilaksanakan. Selanjutnya ada baiknya acara kita lanjutkan dengan membicarakan tanggal nikahnya.”

      “Sebentar, Pak. Foto-foto dulu.”

   Seorang ibu-ibu berperawakan pendek maju sembari membawa ponsel. Akibatnya, kini beberapa orang mengikuti; mengarahkan ponsel bahkan dengan flashnya, duh.

   Menyadari jika ini adalah sesi dokumentasi, kami, maksutnya aku dan laki-laki di samping ku mau tidak mau merapatkan diri. Berusaha berpose dengan layak.

      “Lihat sini, Zha!”

      “Eh, sini juga dong, Fa.”

     Bibirku bergetar; tersenyum tetapi ingin menangis di saat bersamaan.

      Mata ku menelisik setiap orang dari ujung ke ujung. Sekali lagi, aku masih menginginkan ini hanya mimpi.

   Ramai dan penuh binar bahagia. Tak terkecuali dengan bayangan yang ditangkap oleh ekor mataku. Ibuku tersenyum, tulus sekali.

       Aku ingin menangis.

   “Sudah, ayo duduk Bapak Ibu. Sembari dimulai kembali, silakan nikmati makanannya,” suara itu lagi.

     Sedikit lega, aku menuju tempat duduk ku, merapikan kebaya, dan mendudukkan diri.

    Di sini, ada aku beserta keluarga tepat di sisi kanan dan kiri. Sedangkan di depan ku ada dia—laki-laki itu—juga dengan keluarganya. Kami duduk lesehan. 

   Cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak ingin, maksutku, belum siap bertemu pandang dengannya, lagi.

     Dari jarak lima meter aku melihat anggota lain; bibi, paman, hingga sepupu. Aku tidak tahu jika akan sebanyak ini.

      Obrolan terus berlanjut. Jujur, aku sengaja menuli. Hanya sibuk dengan pikiran dan terus meremat jemari.

    “Nduk, itu dengerin. Habis ini kan butuh jawaban kamu.”

       Ibuku berbisik supaya aku kembali fokus.

   “Begini Bapak Amram, sebelumnya saya sudah berdiskusi dengan putra saya. Kebetulan anak-anak kita masih menempuh bangku kuliah, jadi untuk pernikahan sebaiknya kita laksanakan setelah lulus saja.”

   Lega. Tubuhku meluruh lemas, namun rasanya ringan sekali. Syukurlah, masih dua tahun lagi. Masih lama, batinku.

   “Bukankan lebih cepat lebih baik, Pak. Apalagi mereka ini sudah terikat, ada baiknya dipercepat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” timpal Bapak ku.

      Rasa-rasanya jantungku berhenti. Dadaku tertekan ingin melawan atau menerima.

       Hening.

     Aku yakin semuanya setuju dengan usulan Bapakku. Baiklah, aku akan menikah—menjadi milik orang lain dan semakin dikekang.

    Diskusi masih berlanjut, begitu pula aku memilih untuk melamun; melanjutkan perang pikiran dan batin. Aku sudah tidak mendengar apa pun.

      “Nduk, Nduk, itu dijawab.”

  Aku linglung dan berusaha mencari jawaban dari mata Ibuku.

       Apa?

      Mereka bertanya apa?

    “Pernikahan kamu bakal dimajuin setelah kamu KKN. Cepet bilang ‘iya’,” ucap Bapak dari samping lainnya. Kulihat wajahnya serius dan tampak memerintah

  Aku menurut. Oh, sial, akhirnya kami bertemu pandang juga.

      “Sa-saya setuju, Pak.”

     Suaraku parau. Namun, saat itu pula aku menangkap senyum tulus nan bahagia terbit. Bukan dari laki-laki itu, tetapi dari Ibu.

       Baiklah. Akan ku coba, demi Ibu.

   Acara kembali seperti semula. Mereka kembali berbincang, mengobrol, dan berdiskusi yang bahkan aku tak ingin tahu. 

 Sungguh tak peduli. Aku kembali menyibukkan diri. Hingga kecerobohan mengakibatkan jari telunjuk ku mengeluarkan darah karena bermain dengan payet di baju.

        Ini nyata.

     Mataku memanas menyadari bahwa cincin di jemari ku memiliki pasangan. Sepasang cincin dari palladium yang mengikat sejak satu jam yang lalu.