“Mana setorannya?” tanya pria gempal berambut keriting dengan nada agak tinggi.
“Sepi, Bang. Belum dapat penglaris,” kata Adib, si bocah asongan, dengan muka ditekuk, pandangan mengarah ke trotoar.
Adib menyeka keringat yang mulai membasahi keningnya sambil duduk di ujung trotoar. Matahari memang sedang terik-teriknya. Hari menjelang zuhur. Jalanan mulai ramai meski tak seramai biasanya. Dengan sedikit membungkuk, pria yang dipanggil ‘Bang’ itu memandangi sekujur badan Adib seolah menyelidik.
“Di saku bajumu itu apa?”
“Ini... sisa setoran kemarin, Bang Jack. Mau saya buat makan. Tadi....”
Belum selesai Adib bicara, Bang Jack merogoh uang di saku Adib yang hanya cukup untuk membeli nasi bungkus, lalu memasukkan ke saku celana jins birunya.
“Jangan, Bang! Jangan, saya belum makan Bang.” Adib berusaha mengambil uangnya dari tangan Bang Jack, namun preman itu menepisnya.
“Itu urusanmu. Yang jelas, siapa pun jualan atau ngamen di sekitar lampu merah ini, harus setor uang keamanan padaku,” kata Bang Jack sambil menarik kerah kaos putih bergaris hitam yang dikenakan Adib.
“Tapi, Bang...”
“Tidak ada tapi-tapi,” katanya sambil perlahan melepas cengkeramannya. “Kamu kan sudah tahu aturannya?”
“Iya, Bang,” Adib menunduk sambil memegangi barang dagangannya.
“Dan lagi...semenjak kematian bibimu, kamu akan nggak perlu bayar sewa rumah. Kamu kan sekarang tinggal gratis di ruang marbot masjid kampung itu,” kata Bang Jack yang kemudian ngeloyor meninggalkan Adib.
Adib terduduk lesu di tepi jalan sembari memperhatikan Bang Jack yang berjalan sambil memegangi rompi hijaunya. Ternyata Bang Jack menuju tiga orang lelaki pengamen yang ada di ujung lain jalan itu. Terlihat Bang Jack meminta sebatang rokok, menyalakannya lalu tertawa-tawa bersama mereka. Dipandanginya matahari sambil memicingkan ujung matanya. Tampak matahari itu seperti bundaran kecil warna putih kuning laksana telor ceplok yang siap ditelannya. Terdengar bunyi suara perutnya yang mulai keroncongan. Seolah teringat sesuatu, tiba-tiba Adib merogoh saku celana tiga perempatnya. Benar ada sepotong permen rasa kopi di sana. Alhamdulilah. Adib bersuara lirih. Dia bersyukur teringat ada permen di sakunya. Setidaknya permen itu bisa menunda rasa laparnya. Memang sih, di keranjang dagangan ada permen, tapi kalau dia mengambil nanti pasti dihitung pas setor barang ke majikannya. Ya, di dalam keranjang ada air mineral, minuman dingin, tahu, dan kacang. Dia tidak berani menyentuh atau mengambil sebelum dia rasa cukup untuk setoran. Adib menghela napas panjang, tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. Memang benar kata preman itu, dia harusnya bersyukur tidak perlu membantu mencari biaya uang sewa sepeninggal bibinya. Dia juga harus bersyukur bisa menumpang di ruang marbot untuk mengistirahatkan badannya di malam hari tanpa kedinginan oleh angin malam. Adib bangkit. Dia bersemangat lagi. Diperhatikannya lalu lintas. Terlihat hilir mudik kendaraan. Sekelebat dilihatnya pula satu dua anak berseragam SD dibonceng ayah atau ibunya naik sepeda motor. Ada juga beberapa anak yang tertawa-tawa di pinggir jalan sambal menunggu mobil angkutan kota alias angkot. Tak terasa air mata menetes di pipi Adib. Disekanya air mat aitu perlahan. Dadanya berkecamuk dan bergemuruh. Dia memendam sebuah keinginan: bisa sekolah seperti anak-anak itu. Sebuah keinginan yang teramat mewah baginya. Dipejamkan kedua matanya erat-erat. Dalam hati dia berdoa. Ya Allah, Engkau Mahatahu apa yang kuinginkan, dan aku yakin tak ada yang mustahil bagimu. Tak ada yang mustahil bagimu.