Takdir Luka

Takdir Luka

bymoon

4.5

Di sudut ruang sunyi temaram dengan hanya disinari lampu kemuning. Memperlihatkan dua gadis kecil dengan wajah hampir serupa, duduk meringkuk ketakutan kala kedua tangan dan kakinya mengeluarkan darah segar, akibat seutas tali yang menjerat kuat. Bahkan busana putih yang dikenakan keduanya kini sudah terkena noda darah.


Ruangan persegi yang tampak usang dan tak terawat itu, terlihat benar-benar tertutup seperti gudang dengan beberapa kardus besar dan balok kayu di beberapa sisi. Terdapat beberapa jendela kecil di dekat langit bangunan, terlihat kecil namun cukup untuk matahari menyelinapkan cahaya. Persis seperti bangunan terbengkalai.


"Kakak, aku mau pulang," Adik kecilnya mengeluh.


"Sakit!" Bahkan dia juga merintih kesakitan.


"Ssstttt!! Jangan nangis, tahan sedikit ya, sebentar lagi kita pulang kok. Papa sama Mama, pasti akan jemput kita."


Desisan suara cempreng itu berusaha menenangkan Adiknya untuk tetap diam. Meski sejatinya, dia sendiri juga merasakan hal yang sama. Sama-sama takut, menahan perih sekaligus sakit dari jeratan tali yang membuat pergelangan tangannya terluka. Keinginannya pun sama, ingin segera keluar dari tempat gelap ini.


Di sampingnya, gadis kecil itu mengangguk. Lantas, setelahnya ia menghela napas panjang untuk dadanya yang kian naik turun tak beraturan. Mengatur deru napasnya yang kian tersengal-sengal akibat terlalu banyak menangis.


Tetapi bukan memberinya sebuah kelegaan untuk bernapas, justru ketakutannya yang semakin menjadi-jadi membuat gadis kecil itu semakin terisak. Ia duduk memeluk lutut dan menengkulupkan wajahnya ke bawah, sekadar menyembunyikan suara yang tak bisa ia tutupi dengan telapak tangan, meskipun terikat erat dari depan.


Namun nihil, usahanya itu gagal. Sesegukannya itu terdengar hingga keluar ruangan. Mengusik ketenangan seorang wanita yang tengah sibuk mencari cara untuk mengakhiri hidupnya.


Kontan, sorot matanya berlari ke arah pintu yang berjarak sepuluh langkah kaki darinya terduduk. Napasnya memburu, dengan tatapan nyalang tajam penuh emosi.


Dengan rahang yang sudah mengeras, wanita itu bangkit sembari menyambar cepat gunting di atas meja. Lalu mengayunkan kaki untuk mendekati sebuah ruangan gelap dengan pintu tertutup rapat.


High heel yang dikenakannya menciptakan bunyi teratur yang menggema di sepanjang lorong dengan cahaya remang, setiap ketukannya terdengar begitu mengintimidasi seolah mengancam keselamatan.


Wanita berbalut pakaian satin berwarna merah menyala itu semakin melebarkan langkah kakinya, membuat dua gadis yang ada di dalam sana semakin ketakutan dengan tubuhnya yang gemetar hebat sekaligus degup jantungnya yang bertalu kian keras. Bahkan untuk sekadar bergerak sedikit saja, mereka terlalu takut melakukannya. Seolah keselamatan mereka sedang berada di ambang kematian.


"Kak."


"Ssstttt."


Kreeek.


Dalam hitungan detik kertap pintu bangunan itu berhasil membuat bulu kuduk merinding dengan derit yang mencekam. Sejurus kemudian, tampaklah seorang wanita yang muncul dari balik pintu dengan rahang yang sudah mengeras dan raut wajah yang terlihat begitu gusar, karena letupan emosi.


Terdengar kesiap lirih dari kedua sang gadis. Namun tak lama mereka langsung bungkam begitu menyeret tubuh masing-masing untuk saling mendekat, untuk melindungi satu sama lain.


Gadis kecil berpipi 𝘤𝘶𝘣𝘣𝘺 itu mencengkeram ujung pakaiannya dengan kuat. Wajahnya menegang, selaras dengan napas yang kian memberat, naik turun tak teratur akibat ketakutan besar yang telah melingkupinya. Bahkan pelipisnya juga sudah basah akan keringat dingin.


Tak berbeda jauh dengan sang Kakak yang memiliki ketakutan sama besarnya. Namun, sebisa mungkin ia tahan air mata yang sudah mengumpul di kelopak mata dengan napas tercekat, agar tak membuat Adik kecilnya semakin panik ketika melihat sebuah seringai mentah yang begitu menakutkan terbit di wajah wanita itu.


"Sayang, anak baik," ucap sang wanita pelan begitu dia berjongkok di hadapan sang gadis sembari menjatuhkan gunting dari tangannya. Sehingga menciptakan dentuman yang semakin mencekam. Lalu di detik setelahnya, telapak tangan dan jari jemari lentik wanita itu terangkat hanya untuk membelai rahang sang gadis kecil.


"Temani aku pergi dari dunia ini, Nak. Jadi kamu nggak perlu lagi buang-buang air mata yang sangat berharga ini," Wanita berwajah tirus itu mengusap pipi gadis kecil yang sudah banjir akan air mata. Namun tak ada jawaban, justru perilakunya itu semakin membuat sang gadis gemetar hebat, takut. Sekuat tenaga ia tahan isakannya agar tak mudah lolos begitu saja.


“Jangan sentuk Adik aku!”


Kemudian, ultimatum dari satu gadis besar dengan keringat dingin dan tubuh gemetar itu berhasil menarik atensi sang wanita yang tengah menyunggingkan sebuah senyum masam di hadapan Adiknya—terlihat tenang, namun mampu membuatnya merasa ketakutan.


Lantas sebuah tawa keras kemudian terdengar lantang di ruangan itu. Namun sejurus kemudian wajah wanita itu langsung berubah, menjadi garang yang menyeramkan. Tatapannya yang nyalang, dan begitu mengintimidasi.


Wajahnya perlahan mendekat. Lantas tanpa aba-aba, wanita itu mendorong kuat gadis besar hingga dia terpelanting menghantam tembok membuat kedua gadis itu sontak menjerit dan mengaduh.


"Argghhhh! Aku sangat benci anak sepertimu! Pembangkang! Sialan! Aku akan membiarkanmu hidup agar kamu bisa merasakan pahitnya dunia. Hahaha," Kontras, setelah wanita itu berteriak seperti monster lalu ia terbahak tanpa rasa dosa. Seperti orang dengan gangguan mental, mengabaikan fakta bahwa kedua gadis di ruangan itu tengah ketakutan dengan air mata yang terus terjun berduyun-duyun membasahi pipi.


"Kakak."


Namun tangisan histeris gadis kecil itu, kembali menarik atensi sang wanita untuk menoleh dengan tatapan yang tak kalah tajam. 


Tapi, sama sekali tak menarik minat gadis kecil itu untuk menghentikan tangisannya. Justru isakannya semakin menderu, mengabaikan gelengan kepala sebagai sebuah kode penuh arti dari sang Kakak yang memintanya untuk segera diam dan berhenti menangis. Sebab sang Kakak paham, bahwa tangisan Adiknya itu hanya akan membuat sang wanita semakin murka.


"Arrgghh!! Dasar anak sialan, kamu!"


Dan benar saja. Tepat saat gadis besar itu berhenti menggeleng, berganti dengan jarinya telunjuknya yang menempel pada bibir untuk mengisyaratkan saudara perempuannya agar lekas diam. Wanita itu berteriak, emosi. Lalu dengan cepat dia meraih gunting yang tergelatak di ubin lantai. Dengan emosi yang sudah berada di ujung tanduk, dan nyaris meledak wanita itu menghujamkan benda tajam berkilat tersebut di perut sang gadis kecil hingga berkali-kali tanpa mampu dihentikan.



"NAIRA."


Gadis itu menjerit seiring dengan kedua kelopak mata yang terbuka cepat. Iris matanya yang indah menatap nyalang pada langit langit kamarnya yang tinggi. Bahkan dadanya naik turun seiring dengan deru napasnya yang memburu dan keringat dingin yang membasahi pelipis.


Lagi-lagi, mimpi dari kejadian penculikan itu selalu menghantuinya setiap kali Naraya memejamkan mata. Kini di ruangan gelap yang hanya ada pendar cahaya dari lampu tidur, Naraya terisak. Hatinya luar biasa perih setiap kali mengingat kejadian memilukan itu.


Sembilan tahun telah berlalu, namun tak sedikitpun ia bisa melupakan akan bayang-bayang sekujur tubuh Naira yang bersimbah darah pada masa-masa itu.


Naraya menekan ulu hati yang mendadak terasa nyeri seiring dengan air matanya yang terus jatuh membasahi pipi. Entah jam berapa sekarang, Naraya tak peduli. Ia hanya ingin menghilangkan rasa sakit yang menusuk hatinya saat ini. Meski kenyataannya rasa sakit itu tidak pernah hilang dan membekas dengan ketidakberdayaannya.


Mata sembabnya menatap keluar balkon melalui jendela yang tertutup oleh gorden tipis. Samar-samar, di luar langit masih gelap gulita tanpa sepotong pun bintang dan bulan.


Tetapi dari lantai atas, dari ruang kamarnya suara derit pintu gerbang utama terdengar samar dari luar ruangan. Tak lama disusul dengan deru mobil yang semakin lama terdengar semakin menjauh. Naraya yakin itu adalah Papa Haris yang akan pergi keluar kota karena urusan bisnis.